Kita terlalu sering membandingkan diri sendiri ketika mendengar atau melihat kesuksesan orang lain dalam meraih sebuah pencapaian.
Begitu mengetahui mudahnya seseorang mendapatkan atau bisa melakukan, kita sering bilang "Kalau orang lain bisa, saya harus bisa juga!"
Terdengar berapi-api, bukan? Kata-kata tersebut adalah mantra untuk menghipnotis diri sendiri agar bisa seperti mereka.
Ada sifat ambisius yang terkandung di dalam mantra tadi dan selalu berharap agar batasan dalam diri kita bisa terlampaui.
Namun, tahukah kita, bahwa setiap manusia diciptakan berbeda-beda dengan ambang batas kemampuan yang berbeda juga?
Batasan dalam diri inilah yang dianggap oleh sang pemilik sebagai penghambat impian atau malah menjadi bahan cacian orang lain.
Misal, kita mengakui kelemahan dan batasan diri, bukannya dimengerti, kita malah dicemooh sebagai orang yang lemah.
Padahal, tidak semua orang bisa menghadapi ujian kehidupan dengan bobot yang sama dengan orang lain.
Beban kehidupan dengan berat yang sama, belum tentu semua orang bisa, untuk menanggungnya.
Ada orang yang sangat tangguh dengan beban hidup yang besar, tetapi tidak sedikit pula yang terkena beban sedikit saja sudah angkat tangan.
Toxic positivity
Terlalu menyemangati diri agar memiliki kemampuan yang setara dengan orang lain justru menjadi toxic positivity.
Ini sangat buruk bagi kesehatan mental karena melanggar batasan diri yang sudah maksimal tersebut.
Perlu untuk kita ingat bahwa tidak semua perjuangan atau usaha akan membuahkan hasil yang maksimal.
Ada juga orang yang berusaha mati-matian, tetapi hanya dapat capeknya saja karena gagal total hasilnya.
Nah, jika sudah nekat melampaui batasan diri sendiri dan berujung pada kegagalan, akan ada rasa depresi yang parah dan berujung pada bunuh diri.
Toxic positivity inilah yang memabukkan seseorang agar terus berusaha tanpa mengedepankan kesadaran diri akan kelemahannya.
Padahal, batasan diri seperti rasa lelah dan bosan adalah alarm bagi seseorang kalau usaha mengejar sesuatu itu akan berujung kegagalan dan sia-sia.
Ingat dengan kisah Titanic? Itu adalah contoh pengabaian alarm tersebut dan selalu berpikir bahwa kapalnya sangat kuat.
Namun, Tuhan berkehendak lain, Titanic gagal menghindari karang es dan menabraknya hingga karam.
Kesadaran akan batasan adalah pelajaran yang dapat kita ambil dari tragedi tenggelamnya kapal tersebut.
Menyerah tidak selamanya buruk
Karena kultur toxic positivity inilah, menyerah dianggap sebagai pengecut atau tidak memiliki semangat untuk meraih sesuatu.
Padahal, rasa menyerah adalah kode dari alam untuk seseorang agar sadar diri, bisa jadi impian yang dikejar tidak akan terwujud.
Tidak selamanya menyerah adalah hal yang buruk, ada saatnya menyerah lebih baik daripada menyesal karena tenaga dan materi terbuang untuk kegagalan.
Lingkungan sosial sangat perlu untu memaklumi batasan seseorang daripada harus mengeluarkan kata-kata caci-maki.
Memang, berjuang itu perlu, tetapi kesehatan mental jauh lebih utama agar bisa tetap berjuang meski berganti jalan impian.
Sudah saatnya untuk meninggalkan kultur ingin sama dengan orang lain, tetapi mengakui kelemahan diri.
Masyarakat perlu memahami akan kelemahan orang lain dan tidak patut menghakimi atau menganggap lemah seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H