Saat SD, saya terobsesi untuk memiliki nilai bagus dan ranking pertama dalam sekelas, waktu itu masih mengenal sistem ranking.
Waktu SD saya terlalu banyak tersita untuk belajar, padahal seusia saya seharusnya masih bisa mengimbangi waktu dengan hobinya.
Saat itu, saya menganggap mendapatkan nilai bagus dan ranking yang tinggi memiliki kepuasan tersendiri yang saat itu masih mengenal sistem ranking.
Selama SD, saya 2 sampai 3 kali meraih posisi puncak klasemen akademik kelas, meski pada Kelas 5 pernah anjlok.
Bukan ranking pertama, saya juga terobsesi dengan nilai sempurna untuk UN yang saat itu menjadi penilaian akhir kelulusan SD.
Saya akhirnya lulus SD dengan mendapatkan predikat peraih nilai UN tertinggi dalam satu sekolah saat itu.
Begitu SMP, ambisiusitas itu masih terjaga, juga masih dalam euforia nilai tinggi UN SD sehingga menggenjot motivasi belajar.
Namun, semangat itu mulai naik-turun begitu Kelas VIII dan IX SMP, mungkin sekolah saya saat itu bisa dikatakan favorit meskipun swasta.
Saingan saya agak lebih sering didaftarkan pada lomba olimpiade mata pelajaran dibandingkan dengan saya sendiri.
Sebisa mungkin saya untuk menyemangati diri, suatu hari nanti saya akan bisa menyambung tren 'positif' itu.
Hingga pada akhirnya, saya lagi-lagi menjadi peraih nilai UN tertinggi di satu SMP kala itu, menyambung tren 'positif' sejak SD.
Sayangnya, saya mulai merasakan tanda-tanda kehabisan energi untuk mengejar ranking satu begitu masuk SMA yang saingannya banyak yang pintar.
Mungkin saya salah sekolah saat itu, orang tua saya menyekolahkan saya di sekolah tersebut yang mengunggulkan prestasi akademik.
Terlalu jauh untuk berharap agar bisa ranking 1 apalagi dapat nilai UN tertinggi, saat itu berubah pikiran menjadi pokoknya lulus saja sudah bisa membuat saya bernafas lega.
Beruntungnya, setidaknya saya masih bisa mengikuti pelajaran SMA tersebut dan tidak ada lagi sistem ranking begitu saya masuk SMA.
Namun, saya mendapatkan kemajuan di kesehatan mental, saya tidak ambisius lagi dan mulai membuka diri dengan kegiatan teman di luar sekolah.
Begitu Kelas XII, saya mulai tidak bisa bersemangat untuk belajar karena terlalu sering latihan soal UN yang nilai ujiannya tidak terlalu besar menentukan kelulusan.
Lulus SMA pun saya tidak terlalu unggul, nilai saya tidak terlalu banyak yang nilainya 90 ke atas, setidaknya masih di atas nilai minimal.
Kuliah? Ini sudah benar-benar kehabisan energi meskipun digenjot dengan cerita motivasi atau ungkapan semangat dari orang-orang di sekeliling saya.
Kalau waktu SD dan SMP belajarnya sepanjang waktu dan SMA belajarnya saat akhir materi menjelang ujian, saya tidak belajar terlalu semangat saat kuliah.
Bahkan, nilai C+ di hampir kebanyakan mata kuliah saja bagi saya sudah lebih dari cukup meski IPK tidak sampai 3,00.
Jika diulang kembali, itu sama saja dengan saya bunuh diri, mengulang mata kuliah yang tidak pernah bisa pahami.
Dan, IPK saya tidak sampai 3,00, bagi saya harus bisa disyukuri karena setidaknya bisa mengikuti kuliah meski tidak pernah bisa memahaminya.
Ambisiusitas menguas energi
Benar, ambisius di awal seperti mobil yang dipacu lebih laju di awal perjalanan, tetapi mesin-mesinnya rusak di tengah perjalanan.
Bahkan, mesin mobil bisa panas dan radiator bisa tidak mengatasi, walhasil mobil terbakar dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Kerusakan mesin mobil tersebut terjadi karena terlalu sering untuk dipacu tanpa dikasih waktu untuk istirahat.
Begitu juga dengan manusia, jika terlalu ambisius tanpa memedulikan kesehatan mental seperti kebahagiaan akan berdampak buruk.
Bukannya menghasilkan prestasi atau impian tercapai, orang tersebut malah mengalami burnout parah hingga mengalami sakit fisik.
Bahkan, ambisiusitas rawan menimbulkan depresi bahkan bunuh diri jika impian tersebut tidak akan terwujud.
Memang, kesehatan mental jauh lebih penting daripada nilai-nilai akademik atau prestasi selama menempuh pendidikan.
Namun, kultur Indonesia terlalu memuja nilai dan tingkat pendidikan sehingga semua generasi terbebani oleh nilai akademik.
Selain itu, pengamalan terhadap ilmu yang didapatkan jauh lebih berharga daripada nilai rapor atau situs sistem informasi akademik mahasiswa.
Untuk apa nilai tinggi jika tidak dibarengi dengan etika? Untuk apa pula nilai tinggi jika tidak memiliki kesehatan mental yang baik?
Sudahi sikap ambisius itu, tidak apa-apa jika tidak bisa mencapai hasil maksimal karena memiliki keterbatasan kemampuan.
Jangan lupa untuk bahagia karena kesehatan mental jauh lebih mahal ketimbang nilai dan prestasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H