Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

IPK Rendah Bukan Berarti Bodoh

18 Februari 2023   09:30 Diperbarui: 27 Februari 2023   14:47 1305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah rata-rata nilai yang diperoleh sejak awal perkuliahan hingga lulus.

Namun, IPK bisa dilihat setiap semester sebagai gambaran bagaimana IPK akhir nantinya.

Nilai ini bisa naik atau turun tergantung pada IP yang diperoleh selama 1 semester dan bisa dijadikan peringatan jika nilainya turun di salah 1 semester.

IPK yang tinggi menjadi incaran para mahasiswa, kalau tidak 3,50 ke atas atau sekalian 4,00 apabila ambisius.

Tidak jarang, mahasiswa yang ambisius sangat gigih belajar, bahkan terlihat dari gaya bicara yang sulit dipahami oleh pemilik IPK medioker atau di bawah dalam perkuliahan.

Indeks prestasi inilah yang menjadi sesuatu yang dipuja, dipuji, atau dihina oleh keluarga atau lapangan kerja.

Sebab, ada keluarga yang merasa terhormat apabila IPK anak atau anggota keluarganya di atas nilai 3,00 atau 3,50.

Nilai IPK yang tinggi ini menjadi incaran HRD berbagai lapangan pekerjaan karena lulusan ini dianggap cerdas.

Sedangkan lamaran pekerjaan cenderung ditolak apabila IPK yang dimilikinya kurang dari 3,00 karena dianggap tidak kompeten.

Dari lingkup kecil, keluarga menilai pemilik IPK rendah dicap bodoh secara mutlak dan menganggap lulusan ini tidak serius untuk belajar.

Penilaian IPK terbatas

Perlu untuk diingat, IPK diukur hanya berdasarkan mata kuliah terkait dengan program studi yang mahasiswa ambil.

IPK yang rendah bukan berarti bodoh secara menyeluruh, dia sebenarnya cerdas, tetapi tidak bisa diukur oleh kampusnya.

Misalnya, seseorang memiliki IPK yang rendah di Kedokteran, tetapi dia sangat cerdas menanggapi isu sosial atau lingkungan.

Sayangnya, tidak ada indikator untuk menilai kecerdasan di luar bidangnya dan tidak bisa menjadi poin plus yang menyelamatkan IPK.

Sebab, sistem perkuliahan di Indonesia termasuk terbatas dalam artian sudah masuk penjurusan dan penilaian di luar bidang kuliah tersebut tidak akan diakui.

Oleh karena itu, kultur IPK tinggi berarti cerdas secara mutlak atau sebaliknya mengakar kuat di sebagian besar pola pikir masyarakat Indonesia.

Paradigma yang salah

Paradigma yang salah ini sudah mengakar di keluarga, tetangga, dan lingkungan sosial yang lebih luas.

Misal, jika IPK seseorang buruk, pasti sudah diceramahi, dikata-katai beban keluarga, atau malah dibanding-bandingkan dengan anak orang.

Padahal, mereka tidak memahami penilaian untuk IPK hanyalah dari mata kuliah terkait dengan program studi yang diambil.

IPK rendah bukan berarti bodoh, dia cerdas di bidang lain, tetapi ada kondisi yang membuatnya terpaksa berkuliah di salah satu program studi tersebut.

Hal yang terpenting bukan nilai IPK, melainkan bagaimana pola berpikirnya, dia cerdas tetapi tidak untuk program studinya.

Lantas, apakah IPK rendah bisa dikatakan bodoh, sementara yang terpenting adalah ilmu yang diamalkan atau etika yang baik?

Kultur paradigma kecerdasan diukur dari IPK bukan hanya mengakar di lingkungan sosial, sekarang juga menjalar di lapangan pekerjaan.

Para fresh graduate dengan IPK medioker atau kalangan bawah akan termarjinalkan oleh pemilik lapangan pekerjaan.

Mereka menganggap IPK tidak sesuai persyaratan akan menghambat kinerja karena stigma pemilik IPK rendah adalah bodoh.

Padahal, bekal yang dibutuhkan dalam pekerjaan adalah pengalaman atau kemauan kuat dalam bekerja.

Tidak selamanya teori yang dipelajari di bangku perkuliahan dapat untuk dipakai atau berjalan seluruhnya.

Ada yang harus diselesaikan dengan improvisasi karena teori yang digunakan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Biasanya, para senior menggunakan insting dan pengalaman untuk menyelesaikan masalah alih-alih teori akademis.

Maka dari itu, muncul istilah akademisi yang fokus pada teori dan praktisi yang pengalamannya dijadikan acuan dalam bekerja.

Kembali ke masalah IPK, ini sangat berbanding terbalik dengan syarat lowongan kerja "memiliki pengalaman kerja".

Syarat tersebut hanya mencari yang sudah berpengalaman meski syarat ini juga menyebalkan, bukan memiliki segudang teori.

Terlebih lagi lapangan pekerjaannya umum, sangat tidak logis jika menggunakan syarat IPK pada lowongannya.

Sebagai contoh, lowongan menjadi jurnalis dengan "IPK minimal 3,00 di setiap jurusan", padahal yang ideal adalah yang berpengalaman atau berminat.

Kasihan jika ada yang berkuliah di Program Studi Teknik Sipil harus menguburkan mimpi menjadi jurnalis karena IPK-nya 2,50, misalnya.

Mengubah paradigma

Indonesia masih dikuasai oleh generasi boomer yang sebagian besar masih menganggap nilai adalah di atas segalanya.

Padahal, tidak selamanya mahasiswa tersebut memiliki kecerdasan yang rendah dan yang terpenting adalah etika dan memiliki kemauan kuat untuk bekerja.

Kuliah di perguruan tinggi hanya mengembangkan pola pikir meski dicampur dengan aspek akademik.

Selebihnya, lapangan yang menempanya menjadi apa dan bagaimana, bukan stigma yang berdasarkan pada IPK.

Para generasi milenial, X, hingga Z yang membantu meyakinkan mereka bahwa nilai bukan segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun