Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Berdoa yang Benar (Bagian 4)

31 Juli 2023   08:01 Diperbarui: 2 Agustus 2023   04:56 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita semua ingin bahagia. Banyak dari kita berdoa, berbisnis dan bekerja keras, melakukan ini itu hari demi hari yang kesemuanya itu untuk mencari dan/atau mengejar kebahagiaan yang tidak ada ujungnya tanpa menyadari harga yang harus dikurbankan justru kebahagiaan kita, kesehatan kita bahkan keluarga kita. Banyak kita terjebak dalam hedonic treadmill. Motif yang mendorong kita adalah mencari dan/atau mengejar kebahagiaan. Seolah ada suatu kondisi kehidupan yang mau kita tuju. Seolah ada sesuatu yang perlu kita tambahkan ke diri kita. Seolah semua kondisi kehidupan yang mau kita tuju dan sesuatu yang perlu kita tambahkan ke diri kita itu bisa mengubah hidup kita jadi bahagia. Dalam penelitian Brett Q Ford atas orang yang mengejar kebahagiaan justru paradoks mengalami sabaliknya yakni ketidakbahagiaan. Dan mindset yang betul adalah kebahagiaan bukan dicari dan/atau dikejar, kebahagiaan adalah bonus/side effect karena kita mengalami proses hidup itu sendiri (being) dengan nikmat, sadar dan bermakna di sini kini (present moment). Begitupun juga dengan doa, mindset yang betul adalah doa itu ekspresi kebahagiaan kita. Jadi berdoa itu bukan mencari dan/atau mengejar perwujudan doa. Perwujudan doa hanyalah bonus/side effect karena kita mengalami sudah memiliki/menjadi (being) di sini kini (present moment).

Fitrahnya hidup manusia sudah lengkap, sempurna dan bahagia, namun kita sering tidak menyadarinya. Apapun yang kita butuhkan dalam kehidupan sudah lengkap, sempurna di sini kini dan sejatinya kita tinggal berbahagia. Namun kita sering menghalangi kebahagiaan datang atau terwujudnya doa dengan kemelekatan diri kita terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu. Kita sering membanding-bandingkan. Kita sering menuntut. Kita sering tidak pernah cukup. Kita sulit melepaskan atau merelakan apa yang seharusnya bukan milik kita, bukan untuk kita. Kita juga sering menutup manifestasi doa dan hadirnya kebahagiaan dengan kotoran-kotoran jiwa kita seperti luka-luka batin, sampah-sampah emosi, limiting beliefs, prasangka buruk dan pikiran negatif. Kita bahkan sering meng-cancel realisasi doa-doa kita dengan self image buruk yang kita asumsikan dan limiting beliefs yang kita yakini. 

Alam semesta, termasuk manusia di dalamnya fitrahnya adalah makhluk keberlimpahan dan cinta. Penderitaan sejatinya hanya sedang tidur/off dari kebahagiaan. Atau bisa jadi ego, keinginan dan hawa nafsu kita sedang membenarkan penderitaan dalam hidup kita dan tidak berusaha sungguh-sungguh untuk bahagia. Kemiskinan sejatinya hanya sedang tidur/off dari keberlimpahan. Atau bisa jadi ego, keinginan dan hawa nafsu kita sedang membenarkan kemiskinan dalam hidup kita dan tidak tidak berusaha sungguh-sungguh untuk hidup berkelimpahan. Kebencian sejatinya hanya sedang tidur/off dari kasih sayang dan cinta. Atau bisa jadi ego, keinginan dan hawa nafsu kita sedang membenarkan kebencian dan tidak tidak berusaha sungguh-sungguh untuk hidup dengan kasih sayang dan cinta. Hidup dengan derita atau bahagia, hidup dengan kemiskinan atau keberlimpahan, hidup dengan kebencian atau kasih sayang dan cinta, semua tanggung jawab kita sendiri. Menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan bahkan menyalahkan Tuhan atas derita, miskin dan kebencian kita sebenarnya hanya semakin membenarkan derita, miskin dan kebencian itu dalam hidup kita. Everything, everyone is you push out. Kehendak dan kuasa Tuhan terhadap manusia untuk menjadi baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena kesadaran dan pilihan bebas (free choice) inilah terletak ketinggian martabat manusia.

Pengalaman kebahagiaan itu seperti mengalami udara, hanya bisa disadari seiring inhale dan exhale nafas kita. Mengalami udara tidak bisa dijadikan tujuan hidup seolah ada suatu kondisi kehidupan mengalami udara yang mau kita tuju. Mengalami udara tidak perlu kita tambahkan ke diri kita seolah ada sesuatu yang perlu kita tambahkan ke diri kita. Sama sekali tidak diperlukan tujuan atau diperlukan tambahan di masa depan untuk mengalami udara. Kebahagiaan itu di sini kini (here and now). Begitupun dalam berdoa, berdoa adalah ekspresi kebahagiaan kita, pengalaman berdoa itu sudah merupakan anugerah kebahagiaan yang hanya perlu kita sadari seperti kita menyadari nafas kita. Perwujudan doa tidak bisa dijadikan tujuan hidup. Ambisi atas terwujudnya doa di masa depan hanya akan membuat jarak antara kita dan perwujudan doa tersebut. Sama sekali tidak diperlukan jarak di masa depan untuk pengalaman kebahagiaan dalam berdoa. Perwujudan doa itu di sini kini (here and now). Daniel Kahneman, psikolog yang mendapatkan Nobel di bidang behavioral economics tahun 2002, menyampaikan bahwa manusia adalah dividu (divide) yang terbagi menjadi "diri yang mengalami" dan "diri yang mengingat masa lalu/membayangkan masa depan". Yang mengalami bahagia adalah "diri yang mengalami" bukan "diri yang mengingat masa lalu/membayangkan masa depan". Atau dengan kata lain pintu masuk kebahagiaan atau pintu masuk terwujudnya doa itu dengan menyadari hidup kita di present moment.

Keinginan yang didasari ego dan hawa nafsu sama sekali bukan dasar dalam berdoa. Keinginan itu justru menyiratkan suatu jarak atau kondisi belum memiliki. Vibes yang terpancar justru kekurangan/scarcity. Doa itu pancaran bahwa kita sudah memiliki keberlimpahan dan cinta. Sejatinya jika kita sudah memilikinya, kita tidak perlu menginginkan sesuatu. Inilah arti sebenarnya dari "melepaskan" kemelekatan terhadap keinginan dalam berdoa. Nabi Sulaiman AS seorang Nabi dan Raja memberikan teladan kepada kita bahwa berdoa itu adalah ekspresi keberlimpahan dan cinta. Walaupun Nabi Sulaiman AS memiliki banyak sekali kekayaan dan memiliki kekuasaan yang besar, tidak sama sekali Beliau berdoa minta banyak kekayaan dan kekuasaan besar. Doa Nabi Sulaiman AS tersebut diabadikan dalam Al Quran sebagai berikut :

Dia (Nabi Sulaiman AS) berdoa, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku serta untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. Masukkanlah aku dengan keberlimpahan dan cinta (rahmat)Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang baik (sholeh)." (QS 27 : 19).

Doa adalah ekspresi kebahagiaan. Pintu masuk bagi perwujudan doa adalah dengan menyadarinya di present moment. Keinginan justru menyiratkan suatu jarak atau kondisi belum memiliki. Vibrasi, frekuensi dan energi yang terpancar justru kekurangan (scarcity). Vibrasi, frekuensi dan energi kekurangan (scarcity) tersebut justru jadi halangan (hijab) untuk mengalami perwujudan doa. Perwujudan doa itu hanya ketika kita terkondisi dengan moment di sini kini, tidak ada jalan lain untuk itu. Doa bukanlah jurus-jurus untuk meraih apa yang kita inginkan yang didasari ego dan hawa nafsu. Tekad dan niat yang besar sering disalahartikan untuk meraih sesuatu di masa depan. Padahal yang benar adalah tekad dan niat yang besar adalah untuk menyadari hidup kita di present moment. Termasuk dalam berdoa, tekad dan niat yang besar kita arahkan bukan dari luar ke dalam tapi dari dalam keluar untuk menyadari terwujudnya doa di present moment. Hidup kita sudah lengkap, sempurna dan bahagia. Kita tinggal memanifestasikannya di permukaan. Deep down. Just being. We are human being. Semua dipermukaan hanya tarian/permainan bagi terwujudnya apa yang sudah terwujud, lengkap, sempurna di dalam diri kita.

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 27 : 19)

Ford, B. Q. & Mauss, I. B. (2014). The Paradoxical Effects of Pursuing Positive Emotion: When and Why Wanting to Feel Happy Backfires. In J. Gruber and J. Moskowitz (Eds.). Positive Emotion: Integrating the Light Sides and Dark Sides (pp. 363-381). Oxford University Press

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun