Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Manusia pembelajar. Pemimpin bisnis. Membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Keluarga Surga = Pondasi Bangsa

31 Oktober 2022   07:05 Diperbarui: 8 Januari 2023   07:37 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjuangan membangun peradaban adalah membangun manusia. Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa investasi dalam sumber daya manusia dan mengoptimalkan sumberdaya alam sendiri dengan sains dan teknologi merupakan kontributor yang paling signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sebagaimana dinyatakan Paul M. Romer, yang menerima Penghargaan Nobel pada tahun 2018 untuk kontribusnya atas endogenous growth theory.  Pria dan wanita dalam ikatan pernikahan adalah kekuatan inti dalam membangun manusia. Pria dan wanita yang saling mencintai adalah bentuk keseimbangan alam untuk berbagi tugas, saling melengkapi, saling menguatkan, saling menyempurnakan. Pria, wanita dan anak-anak adalah pancaran dari sifat Jalaliyah Allah (The Father of God/Maskulin) dan  sifat Jamaliyah Allah (The Mother of God/Feminim). Namun seringkali wanita dicintai secara duniawi yang disetarakan dengan harta dan tahta. Dijadikan budak seks dan pelampiasan hawa nafsu pria. Makna cinta dan seks sering jadi sempit sebagai ego memiliki dan pelampiasan hajat seonggok daging. Padahal kecenderungan cinta dan seks adalah energi penciptaan Allah. Cinta dan seks adalah sesuatu yang suci dan agung. Cinta dan seks yang dijalani dengan etika, moral dan kesadaran tinggi adalah dorongan energi penciptaan Ilahiah ke arah yang baik dan mulia. Tanpa cinta dan seks akan hilang generasi, hilang peradaban. 

Menarik fakta akan punahnya penduduk di Korea Selatan dimana tren kehidupan pemuda dan pemudinya yang menghindari pernikahan bahkan pasangan yang sudah menikahpun menghindari punya anak dengan berbagai alasan, terutama tingginya biaya hidup dan tidak mau repot mengurus anak. Tahun 2015, Korea selatan menghapus undang-undang tentang larangan seks bebas. Tahun 2021, Korea Selatan menghapus undang-undang tentang larangan aborsi. Tingkat fertilitas di Korea Selatan negatif. Artinya jumlah penduduk Korea selatan berkurang terus. Tahun 2020 saja, di Korea Selatan yang lahir 200 ribuan bayi namun yang meninggal 300 ribuan penduduk. Jumlah penduduk paling banyak di Korea Selatan adalah usia 40 tahun ke atas, sisa-sisa peninggalan orang dulu. Sedangkan usia muda dan anak-anak sangat sedikit. Banyak gedung sekolah di Korea Selatan kosong karena tidak ada atau menurunnya jumlah anak-anak di daerah tersebut. Walaupun secara ekonomi tampak ada kebangkitan ekonomi di Korea selatan, namun menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Health Statistics 2021, penduduk Korea Selatan paling tidak bahagia di dunia dan tingkat bunuh diri pun di Korea Selatan juga tertinggi di dunia. Mental illness merajalela hampir di seluruh bagian Korea Selatan.

Cinta dan seks yang suci dan agung hanya bisa di jalani dalam ikatan yang suci dan agung juga. Ikatan cinta yang suci dan agung itu adalah pernikahan. Pernikahan adalah ikatan yang tidak hanya suci dan agung namun juga sangat kuat (mitsaqon ghalidzon). Pernikahan tidak hanya menyatukan pria dan wanita, namun juga menyatukan keluarga besar bahkan menyatukan suku atau bangsa. Pernikahan yang suci dan agung adalah dasar cinta dan seks yang dijalani dengan etika, moral dan kesadaran tinggi. Dengan pernikahan, cinta dan seks bukan sekedar teridentifikasi sebagai transaksi tubuh fisik di luar, namun melibatkan pikiran, energi, emosi, tubuh, komitmen jangka panjang dan tanggungjawab besar. Tentu saja jauh lebih suci dan agung serta membawa dampak kebahagiaan jauh lebih besar dan bermakna baik secara biologis, psikologis maupun sosial, bila benar menjalaninya. 

Rata-rata kegagalan dalam pernikahan hanya sekitar 12%, itupun bukan karena sistem pernikahan yang salah namun lebih karena behavior yang harus banyak diperbaiki. Ratusan jurnal penelitian ilmiah mengungkapkan bahwa pernikahan yang suci dan agung berdampak signifikan kepada kehidupan individu dan sosial masyarakat lebih baik dari sisi panjangnya usia hidup, dari sisi kesehatan mental, dari sisi kesehatan finansial, dan dari sisi indeks kebahagiaan. Ratusan jurnal penelitian ilmiah juga mengungkapkan tidak hanya suami istri yang merasakan dampaknya bahkan anak-anak yang dibesarkan di dalam pernikahan jauh lebih berpotensi panjang umur, sehat mental, memiliki masa depan yang lebih baik dan indeks kebahagiaannya juga meningkat. Sebagian besar anak-anak yang besar di luar pernikahan lebih mungkin jatuh ke dalam kemiskinan, kurang berhasil dalam karir, menjadi korban pelecehan anak, gagal di sekolah, menggunakan obat-obatan terlarang, memulai aktivitas seksual dini, mengalami perceraian dalam rumah tangganya kelak, berpotensi besar melakukan bunuh diri, sakit fisik, melakukan kejahatan dan masuk penjara.

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail  (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 4 : 3; QS 73 : 1; QS 96 : 1-5)

Romer, David (2011). Endogenous Growth. Advanced Macroeconomics (Fourth ed.). New York: McGraw-Hill

https://www.oecd.org/

https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20220302115902-33-319514/ottoke-korea-no-1-negara-dengan-tingkat-bunuh-diri-tertinggi

Scott, Shelby B., Galena K. Rhoades, Scott M. Stanley, Elizabeth S. Allen, and Howard J. Markman , Reasons for Divorce and Recollections of Premarital Intervention: Implications for Improving Relationship Education, Couple Family Psychol. 2013 Jun; 2(2): 131--145 

https://www.city-journal.org/

https://bjs.ojp.gov/data-collection/ncvs

Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman, "Ar Rahiq Al Makhtum" Darussalam, 1421 H/2001 M

Evelyn Schneider-Mark, Pineal Gland - A 360 Analysis : Review on How to Desclae, Purify, Detoxify and Activated the Third Eye, Expertengruppe Verlag, 11 Juli 2020

Ford, B. Q. & Mauss, I. B. (2014). The paradoxical effects of pursuing positive emotion: When and why wanting to feel happy backfires. In J. Gruber and J. Moskowitz (Eds.) Positive Emotion: Integrating the Light Sides and Dark Sides (pp. 363-381). Oxford University Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun