Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Light of "Sholat" (Bagian Kelima, Habis)

30 Oktober 2022   17:17 Diperbarui: 26 November 2023   10:30 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Kebahagiaan adalah side effect karena flow menjalani jalan hidup penuh kesadaran (assalmu), keselarasan (aslama) dan optimalisasi diri (istaslama). Kebahagiaan bukan tujuan, kebahagiaan adalah proses perjalanan yang dialami seumur hidup kita. Kebahagiaan bukan dicari, namun dialami. Kebahagiaan seperti udara, kita tidak perlu mencari atau mengejarnya, cukup dialami dan dinikmati dalam setiap tarikan dan hembusan nafas kita. Dalam penelitian Brett Q Ford atas orang yang mencari kebahagiaan justru paradoks mengalami sabaliknya yakni ketidakbahagiaan. Ketika setiap moment dalam hidup kita dapat kita jalani secara natural (flow) dengan kesadaran , keselarasan dan optimalisasi diri  maka sebenarnya kita sudah berada di jalan hidup/way of life (ad-din) yang benar. Mihaly Csikszentmihalyi Ph.D, seorang Profesor Psikologi dan Manajemen Terkemuka di Claremont Graduate University dalam Flow : The Psychology of Optimal Experience menyampaikan bahwa kondisi flow adalah rahasia kebahagiaan. Jalan hidup kesadaran (assalmu), keselarasan (aslama) dan optimalisasi diri (istaslama) ini esensi jalan spiritual apapun. 

Manusia hidup awalnya berjumpa dengan dirinya (kesadaran/assalmu). Menyadari diri sejatinya. Menyadari Sang Sejati. Menyadari bahwa alam semesta dan segala isinya termasuk diri kita manusia adalah percikan yang Sang Sejati. Kita hidup berasal dariNya. Jati diri kita sebenarnya adalah Sang Sejati yang memiliki sifat utama penuh keberlimpahan (abundance/ar rohman) dan penuh cinta (love/ar rohim). Jati diri kita adalah makhluk kebahagiaan. Selanjutnya di alam semesta ini ada hukum-hukum semesta yang mempengaruhi kehidupan detik demi detik di semua tingkatan yang memberi petunjuk apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan. Kita perlu menyelaraskan dengannya (keselarasan/aslama). Menyelaraskan diri dengan sifat dasar alam semesta penuh keberlimpahan (abundance/ar rohman) dan penuh cinta (love/ar rohim). Menyelaraskan dengan Sang Sejati. Menyelaraskan dengan kebahagiaan sejati. Segala hal yang tidak selaras dengan keberlimpahan dan cinta adalah penderitaan. Hingga akhirnya kita harus melepaskan semua keterbatasan, melepaskan semua kemelekatan terhadap ego, keinginan dan segala, melepaskan semua ikatan pada pernik-pernik duniawi yang fana dan fatamorgana (optimalisasi diri/istaslama). Terbang tinggi kepada Sang Sejati mengakses kekuatan yang tidak terbatas, abadi dan sejati. Mengoptimalkan diri terus menerus memanifestasikan sayap keberlimpahan (abundance/ar rohman) dan cinta (love/ar rohim) pada kehidupan. 

 Jalan spiritual ini seperti cara kerja otak dan nafas dengan penjelasan sebagai berikut :

Pertama, kita heningkan diri menghirup nafas dengan kesadaran (assalmu). Untuk jeda. Untuk memberi ruang. Untuk mengumpulkan kesadaran. Untuk memilih. Untuk menghadapi moment berikutnya. Kita tidak bisa beraktivitas dengan baik jika panik. Kecemasan menutup pusat kreatif otak manusia. Ketika kita tidak tenang, apa pun yang coba kita lakukan menjadi deretan kesalahan yang bertumpuk. Jika kita tenang, kita dapat melihat dengan sudut pandang yang lebih tinggi, menemukan solusi untuk masalah yang harus kita atasi dan dapat mulai beraktivitas dengan lancar. Untuk tenang, kita perlu menarik napas dalam-dalam dan membawa pikiran pulang ke tubuh kita. Memahami segala sesuatu dengan kejernihan serta bisa menyaksikan yang baik dan benar.

Kedua, masuk dan keluarnya nafas adalah hukum semesta sebagai makhluk hidup yang tidak bisa dicegah. Kita hanya bisa tunduk berada dalam keselarasan (aslama) melakukan proses nafas secara teratur baik disadari atau tidak disadari. Semakin kita menyadari setiap tarikan dan hembusan nafas, semakin kita sadar, semakin kita mengalami kemurnian diri, merasakan kemurnian kasih dan sayang/abundance and love/rohmaan rohiim, merasakan sumber kemurnian kasih dan sayang/abundance and love/rohmaan rohiim tersebut dan memahami keterhubungan kita kepada yang sejati di dalam diri kita. Ketidakselarasan nafas menunjukkan kondisi jiwa yang tidak bahagia, tidak sesuai fitrahnya, merupakan penderitaan bahkan bisa menyebabkan kerusakan/kematian. Betapa berharga nilai tarikan dan hembusan nafas ini. Kita bisa memiliki dan merangkul harta, jabatan, ilmu, pasangan, popularitas setinggi langit, namun dihadapan nafas semua itu sama sekali tidak berharga. Bila tarikan dan hembusan nafas kita sudah tidak selaras atau bahkan merupakan nafas terakhir, apakah masih bernilai semua harta, jabatan, ilmu dan popularitas yang kita miliki? 

Ketiga, kita pasrahkan keterbatasan diri dengan menghembuskan nafas. Mengakses kekuatan yang tidak terbatas dan mengalami optimalisasi diri (istaslama). Melepaskan semua beban hidup dunia fana fatamorgana. Serahkan semua kepada Sang Sejati yang Maha Abadi. Hidup tidak hanya soal mengumpulkan namun hidup adalah juga soal melepaskan. Tidak semua terserah kita.  "Tangan kita relatif pendek". Kita tidak mungkin bisa mengontrol semuanya berada dalam kendali kita menjadi seperti yang kita mau. Kita memang memiliki kebebasan memilih (free choice). Namun free choice kita tersebut juga bersinggungan dengan free choice yang lain. Kita bebas melakukan apa saja, namun kita tidak bebas dengan segala konsekuensinya.  Penjajah hidup kita sejatinya ada ego, keinginan dan hawa nafsu kita. Kemerdekaan hidup dan optimalisasi diri kita sejatinya bila kita lepas dari kemelekatan terhadap ego keinginan dan hawa nafsu. Memutus kausalitas, mengosongkan diri dari tuhan-tuhan (gods) lain selain "Diri yang Tinggi", satu eksistensi sejati, sumber segala realitas, dan absolute. 

Coba jeda dari aktivitas dan menyadari nafas sebentar ! Apa yang kita cari dalam hidup ini? Dibalik semua harta, jabatan, ilmu dan popularitas kita, sejatinya kita mencari kesadaran (assalmu), keselarasan (aslama) dan optimalisasi diri (istaslama). Mengalami purifikasi hidup hingga hidup dalam keselamatan, kedamaian, ketenangan, kenikmatan, ketertiban, kebaikan, kebahagiaan dan kebermaknaan hidup (salam). Apapun jalan hidup kita, mau career path, berbisnis, menentukan pasangan hidup, menentukan jalur pendidikan, pilihan investasi, bersosialisasi, gaya hidup, kita akan mengikuti jalan assalmu, aslama, istaslama dan salam. Suka tidak suka, mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, sukarela atau terpaksa, theis atau atheis, manusia akan menempuh jalan tersebut. Kita belajar, kita bermain, kita bekerja, kita berbisnis, kita berinvestasi, kita bersosialisasi, kita melakukan aktivitas apapun baik bersifat individual maupun sosial ujung-ujungnya adalah mengalami kesadaran (assalmu), keselarasan (aslama) dan optimalisasi diri (istaslama) serta menuju kepada keselamatan, kedamaian kenikmatan, kebaikan, kebahagiaan dan kebermaknaan hidup (salam). Semua obat hati dan healing terletak dalam purifikasi hidup kita dengan kesadaran, keselarasan dan optimalisasi diri. 

Allah satu kata untuk segala kesempurnaan hidup, kebaikan hidup, cita-cita hidup, healing, success, happiness and greatness yang sejati/hakiki, tidak fana dan bisa diandalkan. Tidak ada bentuk kata jamak dari Allah. Allah bukan tuhan laki-laki (god) dan bukan pula tuhan perempuan (goddes). Lafadz Allah tersusun huruf alif, lam dan ha. Bila huruf alif dihilangkan maka lafadz Allah menjadi Lillah (murni, utuh, semua karena Allah). Bila huruf lam dihilangkan maka lafadz Allah menjadi Hu (dhomir/kata ganti untuk "Diri yang Tinggi", satu eksistensi sejati, sumber segala realitas dan absolute. Hu (Dia) adalah sang sejati/hakiki (absolute), laisa kamitslihi/tan keno kinoyo ngopo/infinity/tidak dibatasi (defined) oleh ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta tidak bisa dikurung dalam kategori apapun. Setiap detik, setiap saat kita bernafas dengan Hu. Hu adalah nama yang paling suci untuk satu yang sejati, sumber segala realitas dan absolute. Hu adalah nama kuno untuk Tuhan Sejati. Hu telah digunakan selama ribuan tahun sebagai doa suci untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran Tuhan. Hu adalah kunci untuk membuka hati terhadap kehadiran kasih sayang Tuhan/keberlimpahan dan cinta Ilahi dalam hidup kita serta mengangkat kita secara spiritual dalam kedamaian batin, penyembuhan, dan pencerahan. Hu adalah suara di balik semua suara, terjalin ke dalam bahasa kehidupan. Hu adalah suara semilir angin, suara rintik air hujan yang turun, riak gelombang laut, suara kobaran api dan suara reruntuhan tanah . Hu terdengar dalam tangisan, tawa dan seluruh hiruk pikuk duniawi. Hu adalah suara alam semesta. Hu adalah suara Tuhan. Itu adalah kata yang dapat digunakan orang di mana saja untuk menyapa "Diri yang Tinggi", satu yang sejati, sumber segala realitas, wujud sempurna dan absolute.

Bila diringkas, semua jalan hidup (ad-din) tersebut adalah jalan Islam. (QS 3 : 19, 85). Pertanyaannya adalah apakah kita sudah mengikuti jalan Islam secara kaffah (totalitas/sadar penuh hadir utuh)?  Sekali lagi apakah kita sudah mengikuti jalan Islam secara kaffah (flow/benar-benar dinikmati, disadari dan bermakna)? Jangan-jangan kita tidak bisa menikmati hidup secara sadar penuh hadir utuh di setiap moment. Jangan-jangan kita tidak menyadari siapa diri kita? Darimana kita berasal? Mau kemana kita hidup? Jangan-jangan kita sudah tersesat dalam kehampaan hidup dan menjalani hidup yang tidak bermakna. Jangan-jangan hidup kita tidak selaras dengan hukum-hukum semesta baik yang bersifat kauniah (hukum alam) maupun qouliyah (wahyu). Jangan-jangan hidup kita masih belum merdeka, masih diperbudak oleh ego, keinginan dan hawa nafsu serta belum bisa melepaskan kemelekatan darinya. Semua rasul-rasul dan nabi-nabi mulai Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW serta orang-orang saleh, jalan hidup (ad-din) nya adalah jalan hidup (ad-din) Islam secara kaffah (QS 21 : 109; QS 12 : 101; QS 3 : 52). 

Dan sholat adalah tiang penyangga utama dalam jalan hidup (ad-din) Islam secara kaffah tersebut. Karena itu yang membedakan antara orang yang menempuh jalan hidup (ad-din) Islam dan orang yang tidak menempuh/menutup (kafara/kufur) terhadap jalan hidup (ad-din) Islam adalah sholat. [HR. Muslim No. 82; HR. Tirmidzi No. 2621, 2622; HR An-Nasa'i No. 464]. Ekspresi sholat adalah ekspresi ketenangan/keheningan/perdamaian/kesadaran (assalmu), ketundukan/kepatuhan/ketaatan/keselarasan (aslama) dan penyerahan keterbatasan diri/optimalisasi diri  (istaslama). Ekspresi sholat adalah ekspresi jalan hidup Islam secara kaffah (totalitas/flow). Ekspresi tenang/hening/damai/sadar (assalmu) tercermin dalam posisi berdiri/tree pose (qiyyam). Ekspresi penghormatan/ketundukan/kepatuhan/keselarasan (aslama) tercermin dalam posisi the half forward bend pose (ruku'). Ekspresi penyerahan diri, pelepasan keterbatasan diri, optimalisasi diri (istaslama) tercermin dalam posisi sujud (sijdah). Ekspresi keselamatan, kenikmatan, kesadaran, kebaikan, kebahagiaan dan kebermaknaan hidup  tercermin dalam semua posisi dalam sholat puncaknya di posisi salam. 

Soft opening sholat di awali dengan mensucikan seluruh pikiran, energi, emosi dan tubuh dengan membasuh seluruh diri/mandi (ghaslu) dan membasuh sebagian diri (wudhu). Wajib mandi bila masih ada hadas (kotoran pikiran, kotoran energi, kotoran emosi dan kotoran tubuh) yang besar. Cukup wudhu untuk membersihkan hadas (kotoran pikiran, kotoran energi, kotoran emosi dan kotoran tubuh) yang kecil. Grand opening sholat dilakukan dengan niat, yakni melakukan perjalanan jiwa (soul journey), melalui diri, perjalanan ke dalam, menuju diri sendiri, menuju Allah. Bersamaan dengan niat sholat tersebut, melakukan takbiratul ihram (takbir = Allahu Akbar). Disebut takbiratul ihram karena dengan adanya takbir ini, jalan spiritual shalat mulai dibuka dan diharamkan segala aktivitas selain aktivitas shalat. Mengecilkan ego state diri, memasuki area suci Allah dan melebur pada kebesaran Allah. "Melepaskan" kemelekatan terhadap ego, keinginan, hawa nafsu dan segala pernak-pernik serta hiruk pikuk duniawi. Menjalani pendakian spiritual. Mengakses Allah, "Diri yang Tinggi", sumber segala realitas, wujud sempurna dan absolute, yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Dalam menempuh jalan perdamaian/ketenangan/keheningan/kesadaran (assalmu), perlu menata niat dan mengecilkan ego state diri hingga berada dalam kondisi "nol". Kondisi "nol" ini kita jaga di sepanjang dinamika hidup kita. Sama seperti halnya sholat, kita mengecilkan ego state diri hingga berada dalam kondisi "nol" dan kita jaga di sepanjang sholat kita. Karena itu peralihan gerakan utama sholat mulai dari posisi berdiri (qiyyam), posisi the half forward bend pose (ruku') dan posisi sujud (sijdah) diiringi dengan takbir "Allahu Akbar". Tenang/damai/hening (assalmu) tersebut di ekspresikan dengan posisi berdiri. Dalam posisi berdiri (qiyyam) ini pokok aktivitas (rukun) yang dilakukan adalah niat, takbiratul ihram dan membaca Surat Al Fatihah [HR. Al Bukhari No. 756, HR. Muslim No. 394]. 

Surat Al Fatihah dibaca dengan tenang (tuma'ninah) untuk mendengarkan "Suara Tuhan", menyaksikan tanda-tanda (ayat-ayat) Nya di alam semesta. Surat Al Fatihah dibaca sebagai pilar-pilar yang menjaga pikiran dan perasaan kita melompat kesana kemari (monkey mind/feeling). Ayat pertama Surat Al Fatihah membawa kita kepada ikhlas yang bermakna al-khuluus min as-syawaa'ib, murni/jernih tidak terkontaminasi dengan sesuatu dari luar. Menyerahkan segalanya kepada Allah. Sejatinya yang wujud dalam segalanya hanyalah Allah. Allah yang memancarkan ar-rahman dan ar-rahiim, yang memancarkan kasih dan sayang, yang memancarkan keberlimpahan (abundance) dan cinta (love). Ayat kedua Surat Al Fatihah membawa kita kepada syukur yang bermakna "membuka/menerima/fulfilment" yang merupakan lawan dari kata kafara artinya "menutup/menuntut/hampa". Syukur artinya mengakui/membuka diri atas adanya nikmat. Syukur juga berarti menerima/berterimakasih/merasa fulfilment atas segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah. Sejatinya syukur adalah fulfilment dengan Allah, fulfilment dengan ar-rahman dan ar-rahiim, fulfilment dengan kasih dan sayang, fulfilment dengan keberlimpahan (abundance) dan cinta (love) serta mendayagunakan segala karunia hidup untuk Allah. Ayat ketiga Surat Al Fatihah membawa kita kepada ar-rahman dan ar-rahiim, kasih dan sayang, keberlimpahan (abundance) dan cinta (love). Jangan ada di hati kecuali Allah. Jangan ada di hati kebencian dan scarcity mental. Jangan ada di hati kecuali ar-rahman dan ar-rahiim, kasih dan sayang serta keberlimpahan (abundance) dan cinta (love).  Sejatinya  ar-rahman dan ar-rahiim adalah terus memancarkan Allah. Terus memancarkan kasih dan sayang. Terus memancarkan keberlimpahan (abundance) dan cinta (love). Ayat keempat Surat Al Fatihah membawa kita kepada kepemimpinan yang bermakna set Allah in our heart and organize life around it. Mengendalikan nafas, pikiran, energi, emosi dan tubuh kita di sini dan pada hari ini (present moment) sepenuhnya karena Allah, bersama Allah dan untuk Allah.

Ibarat sebuah pohon, ayat pertama sampai ayat keempat adalah akarnya. Ayat kelima dan keenam adalah tiang/batang pohonnya. Ayat ketujuh adalah daun dan buahnya. Ayat kelima Surat Al Fatihah membawa kita kepada pengabdian yang bermakna pikiran, energi, emosi dan tubuh totalitas tenggelam (flow) mencapai batas maksimalnya untuk melakukan/memberikan sesuatu yang bernilai dan jauh lebih besar dari diri sendiri. Kita bisa mengabdi kepada harta, jabatan, ilmu, popularitas, guru, organisasi, pemerintah atau perusahaan, bangsa dan negara serta umat manusia. Namun mana sasaran pengabdian yang lebih besar, lebih abadi, lebih hakiki dan lebih bisa diandalkan selain daripada Allah? Ayat keenam Surat Al Fatihah membawa kita kepada pembelajaran yang bermakna senantiasa memperbaiki diri (continuous improvement) dan memperbarui diri selaras dengan alam semesta (long life learning). Pembelajaran menyempurnakan akar (beliefs and values set) kita. Pembelajaran menyempurnakan pengabdian kita. Ayat ketujuh Surat Al Fatihah membawa kita kepada kenikmatan, kesadaran dan kebermaknaan hidup. Ini adalah puncak (buah dan daun) dari aktivitas pengabdian dan pembelajaran yang didasari ikhlas, syukur, kasih sayang dan kepemimpinan.  

Dalam menempuh jalan penghormatan/ketundukan/kepatuhan/ketaatan/keselarasan (aslama), perlu keseimbangan. Keseimbangan ini bisa dicapai dengan kepemimpinan (leadership) yang baik. Yakni menempa diri, mengoptimalkan potensi dan mengerahkan segala daya upaya untuk memberikan penghormatan/ketundukan/kepatuhan/ketaatan kepada Allah dan memberikan kebaikan (blessing others/great value/subhaana robbiyal adziim) ke semesta alam. Sama seperti halnya sholat, penghormatan/ketundukan/kepatuhan/ketaatan/keselarasan (aslama) tersebut di ekspresikan dengan posisi the half forward bend pose (ruku'). Dalam posisi ruku' ini pokok (rukun) yang dilakukan adalah menundukkan diri dalam posisi the half forward bend dengan tenang (tuma'ninah) dan berdiri peralihan antara the half forward bend pose (ruku') dan posisi sujud (sijdah) untuk keseimbangan (i'tidal) dengan tenang (tuma'ninah). Inti vibrasi, frekuensi dan energi yang dipancarkan dalam mengekspresikan penghormatan/ketundukan/kepatuhan/ketaatan/keselarasan (aslama) ini adalah tasbih, tahmid dan takbir (i'am sorry, forgive me, thank you, i love you)

Dalam menempuh jalan penyerahan keterbatasan diri, optimalisasi diri (istaslama), diperlukan penyucian diri (detoxification), tidak menyalahkan segala sesuatu di luar diri namun mengambil tanggung jawab sepenuhnya. Melakukan pertaubatan, menjalani hidup yang baik dan benar. Membersihkan diri dari kemiskinan (scarcity) dan kebencian (hatred) serta memancarkan keberlimpahan (abundance) dan cinta (love) kepada sesama makluk di seluruh penjuru alam semesta. Sama seperti halnya sholat, penyerahan diri (istaslama) tersebut di ekspresikan dengan sujud (sijdah). Dalam posisi sujud (sijdah) ini, pokok (rukun) yang dilakukan adalah sujud dua kali dalam satu putaran/rokaat (rak'ah) dengan tenang (tuma'ninah) dan duduk pembuka di antara dua sujud (iftirasy) dengan tenang (tuma'ninah). Inti vibrasi, frekuensi dan energi yang dipancarkan dalam mengekspresikan penyerahan diri (istaslama) ini adalah tasbih, tahmid dan takbir serta istighfar. Di posisi sujud (sijdah) ini adalah posisi yang paling dekat dengan Allah. Puncak pelepasan kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu ada di posisi sujud (sijdah) dimana kita menundukkan dan menyerahkan ego, keinginan dan hawa nafsu di dalam diri serendah-rendahnya hingga berada dalam kondisi medan titik nol (zero quantum field). Diri rasanya sangat kecil hingga fana/sirna. Kita menjadi no thing, no body, no one, no time, no where. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Kita bukan apa-apa. Kita bukanlah tubuh kita. Kita bukan siapa-siapa. Kita bukanlah nama kita. Kita bukanlah pekerjaan/karir kita. Kita bukanlah bisnis kita. Kita bukanlah status dan jabatan kita. Kita bukanlah kekayaan kita. Kita sejatinya tidak ada. Kita tidak tahu apa-apa. Kapanpun dan dimanapun. Semua nama, ilmu, pekerjaan/karir, bisnis, pasangan, status, jabatan, kekayaan, kekuatan yang kita bangga-banggakan dan kita melekat dengannya, kayak nggak ada harganya. Semua kayak nggak ada artinya. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah nggak ada. Flow, masuk di medan kuantum, dimana ruang dan waktu sudah tidak eksis lagi. Lepas dari dualitas merisaukan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Lepas dari takut (khouf) dan sedih (huzn). Kita mengalami fana, kita lebur di dalam satu yang sejati, sumber segala realitas dan absolute. Kesadaran jiwa kita naik di level energi sangat tinggi (subhaana robbiyal a'la), ekspansi menjadi everything, everybody, everyone, everytime, everywhere. Menyatu dengan segalanya dan mengakses sumber segala realitas (one consciousness). Mengalami ekstasi pencerahan, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan serta hidayah seakan terus menyirami tubuh dan jiwa kita. Lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn). 

Sejatinya Allah, "Diri yang Tinggi", satu eksistensi sejati, sumber segala realitas dan absolute, tidak perlu kita cari kemana-mana. Dia ada di dalam diri kita sendiri. Sebenarnya semua di alam semesta ini adalah perwujudan Allah. Alam adalah ungkapan empirisNya yang berbeda dalam segala hal. Artinya Dia immanent sekaligus transendent. KeberadaanNya tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiranNya di situ. Inilah pusat energi kita yang perlu kita rawat dengan sholat. Sejatinya true of our self diri kita adalah percikan Tuhan. Sejatinya kita adalah kesadaran dan energi yang memiliki sifat asli/alami Tuhan yaitu kemurnian, keikhlasan, kedamaian, kepenuhan, kekuatan, penuh kasih sayang, penuh keberlimpahan dan cinta,  keseimbangan dan kebahagiaan. Sholat adalah technology of wellbeing untuk mengungkap kembali sifat asli dan alami diri kita dalam setiap aktivitas dan interaksi di kehidupan. Sholat mendongkrak pusaran energi kita dari pusaran energi rendah (force) ke pusaran energi tinggi (power). Sholat mempurifikasi hidup kita lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn) serta segala derivatifnya. Mengalami ekstasi pencerahan, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan, pengabdian dan hidayah yang seakan terus menyirami, membersihkan dan mempurifikasi tubuh dan jiwa kita. Sholat adalah ritual ibadah "pilar penyangga" yang menjaga pancaran energi murni dan tinggi dari Tuhan tersebut dalam setiap aktivitas dan interaksi dalam kehidupan.

Bila sholat tersebut 3 rokaat (rak'ah) atau 4 rokaat (rak'ah), setiap menyelesaikan 2 rokaat (rak'ah) atau 2 putaran diselingi dengan duduk soft closing (tasyahud/tahiyat awal). Bila sholat tersebut 2 rokaat (rak'ah) setelah menyelesaikan 2 rokaat (rak'ah) langsung ditutup dengan duduk penutup (tawaruk) sebagai soft closing (tasyahud/tahiyat akhir). Inti vibrasi, frekuensi dan energi yang dipancarkan dalam tasyahud/tahiyat adalah loving God, blessing others serta kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Kesaksian bahwa tidak ada tujuan selain Allah. Posisi tasyahud/tahiyat adalah posisi persaksian. Menyaksikan bahwa tidak ada yang lebih pantas untuk diprioritaskan selain Dia yang Sejati. Kesaksian bahwa tidak ada yang lebih dicintai selain Dia yang Hakiki. Kesaksian bahwa semua yang dilihat, didengar, dirasa dalam panca indera maupun hati hanya Dia, Satu Eksistensi Sejati. Selanjutnya kesaksian bahwa Nabi Muhammad SAW /Nur Muhammad/Kesadaran Murni adalah utusanNya yang memiliki vibrasi, frekuensi yang sangat tinggi dan energi yang sangat kuat. Dan kita perlu menyetel vibrasi, frekuensi dan energi kita selaras dengannya untuk bisa mengaksesNya. Grand closing dari sholat di akhiri dengan gerakan dan ucapan keselamatan, kenikmatan, kesadaran, kebajikan, kebahagiaan dan kebermaknaan hidup dengan menoleh dengan tenang (tuma'ninah) ke kanan satu kali dan menoleh ke kiri satu kali serta menebarkannya ke seluruh penjuru alam semesta (salam/blessing others). Puncak spiritual bukanlah memperoleh kesaktian. Puncak spiritual bukanlah bertemu makhluk yang aneh-aneh. Puncak spiritual bukanlah mengalami pemandangan yang aneh-aneh. Puncak spiritual adalah diri kita terlahir kembali menjadi true of our self diri kita, yaitu daya Tuhan/citra Allah yang memiliki sifat utama welas asih, pengasih dan penyayang, ar-rohman (abundance) dan ar-rohiim (love) serta terus menjaga pancaran energi murni dan tinggi dari Tuhan tersebut dalam setiap aktivitas dan interaksi kehidupan, memberi kemanfaatan/kebaikan bagi sesama/alam semesta (salam/blessing others).

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail (701-774 H), Tafsir Alquran al-Adziim, Dar Alamiah. QS 1 : 7; QS 13 : 15; QS 41 : 11; QS 3 : 83; QS 21 : 109; QS 12 : 101; QS 3 : 52; QS 3 : 19, 85; QS 13 : 15; QS 41 : 11; QS 3 : 83. 

Ford, B. Q. & Mauss, I. B. (2014). The paradoxical effects of pursuing positive emotion: When and why wanting to feel happy backfires. In J. Gruber and J. Moskowitz (Eds.) Positive Emotion: Integrating the Light Sides and Dark Sides (pp. 363-381). Oxford University Press

An-Nawawi, Yahya bin Syarf , Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Dar Ibnu Hazm, 1433 H. 

Al Albani, Muhammad Nasiruddeen.,The Prophet's Prayer As Though You See It, CreateSpace Independent Publishing Platform (September 26, 2017)

Csikszentmihalyi Ph.D, Mihaly., Flow: The Psychology of Optimal Experience, Harper Perennial Modern Classics; 1st edition (July 1, 2008)

Al-Musyaiqih, Prof. Dr. Khalid bin 'Ali, Al-Mukhtashar fi Al-'Aqidah, Maktabah Ar-Rusyd, 1433 H.

Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad, "An Exposition of the Hearts: Makashifat-ul-Quloob" (Ihya Ulm al-Dn), Scribe Digital (January 19, 2014)

Seligman, Martin Elias Pete, Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York: Free Press, 2004

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, Dar Al-Imam Ahmad, 1426 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun