Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Manusia pembelajar. Pemimpin bisnis. Membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

5 Proses Memaafkan yang Membebaskan

1 Juli 2021   17:00 Diperbarui: 21 Agustus 2024   14:26 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri, yang selalu kita bawa kemanapun berada. Musuh terbesar kita adalah ego, keinginan dan hawa nafsu kita yang tidak bisa dikendalikan. Ketika kita sulit memaafkan, pernahkah kita menyadari bahwa kita juga pernah dimaafkan. Ketika kita sulit mengerti, pernahkah kita menyadari bahwa kita juga pernah dimengerti. Ketika kita sering tidak bisa terima, pernahkah kita menyadari bahwa kita sering diterima apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, dengan segala kebaikan dan keburukan kita. Pernahkah kita menyadari jangan-jangan kita ini sebenarnya orang yang sering menyakiti orang lain. Jangan-jangan kita ini sebenarnya orang yang sering melukai orang lain. Jangan-jangan kita ini sebenarnya yang bebal, terus mengulangi kesalahan-kesalahan, dan terus aja begitu tidak berubah. Seringkali orang yang kita nilai telah menyakiti kita hanya pembawa pesan yang dikirimkan oleh Yang Maha Kuasa untuk memberitahukan siapa kita. Ketika kita merubah belief, values, pikiran, perasaan, tindakan dan habits kita maka dunia akan mengkonfirmasi perubahan.

Pernahkah kita menyadari bahwa sebenarnya kita juga ikut berkontribusi atas terjadinya kebencian, pertengkaran dan permusuhan tersebut disadari atau tidak disadari. Kesalahan terjadi oleh kita, dia, mereka, kita semua. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya alam semesta ini diciptakan Yang Maha Kuasa dalam keseimbangan. Apa yang kita tabur itulah yang kita tuai. Apa yang kita berikan itulah yang kita terima. Ada semacam neraca keseimbangan di alam semesta ini. Hukum ini tidak bisa dimanipulasi, direkayasa atau di "kadali". Bila kita sekarang menuai sakit hati dan kerugian, bisa jadi di masa lalu kita telah manabur perkataan dan/atau perbuatan yang menyebabkan orang lain sakit hati dan rugi. Alam semesta sedang menyeimbangkan dirinya pada diri kita, hingga akun saldo kita yang negatif menjadi nol. Bertanggung jawab sepenuhnya atas kejadian apapun yang diri kita alami.

Ketika ada orang yang menyakiti hati kita, ketika ada orang yang melukai hati kita, sejatinya yang menyakiti dan melukai hati kita adalah diri kita sendiri. Sejatinya tidak ada satupun orang yang bisa menyakiti dan melukai hati kita bila hati kita tidak mengijinkan diri kita sakit dan terluka. Satu-satunya cara untuk menyingkirkan apa yang kita sebut "musuh" atau orang yang melukai kita atau orang yang merugikan kita adalah memaafkannya. Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang pernah memimpin bangsanya keluar dari Perang Saudara Amerika, mempertahankan persatuan bangsa, dan menghapuskan perbudakan menyampaikan bahwa "the best way to destroy an enemy is to make him a friend." Itu dimulai dari kesediaan diri kita untuk memaafkan.

Memperbaiki fokus bukan ke orang lain tapi fokus ke hal yang baik dari diri sendiri adalah langkah ketiga agar kita bisa memaafkan. Ini disebut juga work phase, yakni mengubah sudut pandang dan fokus diri.

Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, punya sisi baik dan punya sisi gelap. Seburuk-buruk orang pasti masih punya hati yang baik juga dan sebaik-baik orang pasti bukan malaikat yang tidak pernah salah. Itu fakta ! Tugas kita adalah memberikan stimulus atas kelebihannya, memberikan stimulus atas kebaikannya sehingga kelebihan dan kebaikannya semakin lama semakin membesar kemudian kekurangan dan sisi gelap sudah tidak relevan lagi. Seringkali orang berbuat buruk bukan karena orang tersebut buruk tapi karena terpaksa berbuat buruk, tidak tahu atau tidak sadar (khilaf). Coba melihat orang dengan kacamata welas asih. Kita bisa mencoba mengklarifikasi dan memahami apa yang melatar belakangi orang berbuat buruk. Seringkali orang-orang yang berbuat buruk adalah orang yang layak kita tolong untuk bisa lepas dari keburukannya. Orang berbuat buruk, sebenarnya ia melawan hati nuraninya. Orang berbuat buruk, sejatinya sangat tersiksa dan menderita.

Kemudian yang perlu kita sadari lagi orang bukanlah benda mati yang tetap. Orang adalah sasaran bergerak yang terus berubah setiap saat. Seringkali orang tidak bisa memaafkan kesalahan orang 1 tahun yang lalu atau 10 tahun yang lalu, padahal orang tersebut sudah bertaubat, sudah insaf dan sudah berubah jadi jauh lebih baik. Bukankah itu sudah masa lalu? Kita masih terpaku kepada memori masa lalu. Ini seperti kita mencari alamat rumah di Jakarta tahun 2022 menggunakan peta Jakarta tahun 1897, jelas tidak match. Perkara orang tersebut berubah atau tidak, itu bukan urusan kita. Itu urusan orang tersebut dengan konsekuensi tanggungjawabnya kepada Yang Maha Kuasa. Mereka punya lingkaran keseimbangannya sendiri. Kalau mereka salah mereka pasti dihukum koq. Pasti ada balasannya. Kita saja yang tidak tau dan menyadarinya. Jadi jangan kuatir ! 

Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang kita sendiri. Bukan tentang orang lain. Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang lingkaran keseimbangan kita sendiri. Orang lain punya lingkaran keseimbangannya masing-masing. Setiap kejadian yang kita alami sejatinya kita sendiri yang meng-attract. Sesuai dengan beliefs kita, sesuai dengan values kita. Sejatinya kita sendiri disadari atau tidak disadari yang men-set up dinamika kehidupan kita. Lakukan apa yang menjadi bagian kita, selebihnya biarlah Yang Maha Kuasa dan mekanisme alam semesta yang bekerja. Sekali lagi orang lain yang kita anggap menyakiti kita seringkali adalah "duta" yang dikirimkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyadarkan kita, untuk membuat kita lebih kuat, untuk membuat kita lebih baik.

Sejatinya Yang Maha Kuasa, "Diri yang Tinggi", sumber segala realitas, wujud sempurna dan absolute, tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, Dia ada di dalam diri setiap manusia. Dia ada di dalam diri kita, ada di dalam dirinya, ada di dalam diri mereka semua.  Sebenarnya semua di alam semesta ini adalah perwujudan Tuhan. Alam adalah ungkapan empirisNya yang berbeda dalam segala hal. Artinya Dia immanent sekaligus transendent. KeberadaanNya tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiranNya di situ. Setiap diri, setiap manifestasi adalah daya Tuhan. Dan itu satu kesatuan (entanglement). Ketika kita menyakiti daya Tuhan yang lain sebenarnya sama saja kita menyakiti diri sendiri. Sama seperti salah satu anggota badan kita tersakiti maka seluruh badan kita ikut sakit. Sudah benarkah kita, sehingga tidak coba komunikasi, klarifikasi dan memahami orang? Sudah sucikah kita, sehingga layak untuk tidak memaafkan orang? Sedangkan Yang Maha Kuasa saja sangat pemaaf kepada kita walaupun dosa dan kesalahan kita sebesar bumi dan langit. Bukankah kita juga masih butuh maafNya? Dalam perjalanan hidup bukankah kita masih butuh dimengerti dan dimaafkan orang lain?

Langkah memaafkan keempat, kita perlu memisahkan antara orang dan perbuatan. No body perfect. Tak satupun orang di dunia ini yang sempurna. Dan orang adalah sasaran bergerak yang bisa berubah setiap saat. Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang lingkaran keseimbangan kita sendiri. Orang lain punya lingkaran keseimbangannya masing-masing. Ini disebut juga deepening phase, menyadari bahwa orang termasuk diri kita juga butuh dimaafkan.

Buat apa kita rusak pikiran dan perasaan kita dengan getaran, frekuensi dan energi negatif dengan tidak memaafkan? Buat apa menyiksa diri dengan dendam?  Apalagi melakukan balas dendam. Balas dendam sejatinya menyakiti diri sendiri. Banyak orang berpikir balas dendam adalah kebebasan, padahal itu adalah penjara total. Bila kita memutuskan balas dendam, itu seperti sedang menandatangani sumpah darah untuk menghubungkan cerita hidup kita dengan orang yang kita benci atau musuh sepanjang sisa hidup kita. Membalas dendam seringkali hanya menyebabkan berpindahnya penderitaan ke penderitaan yang lain yang tiada habisnya. Buat apa kita habiskan waktu, materi dan energi untuk terpuruk dengan sakit hati yang tidak perlu.  Sayang bila tujuan mulia kita dinodai dengan getaran, frekuensi dan energi negatif. Sayang bila pengabdian kita, cinta kita dikotori kebencian dan tidak ada sikap saling memaafkan. Sayang dengan kesehatan kita, sayang dengan kebahagiaan kita, sayang dengan keberlimpahan hidup kita bila harus menderita karena tidak bisa memaafkan.

Beberapa cara untuk bisa melepaskan dari belenggu tidak bisa memaafkan adalah dengan terus-menerus memperbaiki diri agar lebih bahagia, agar lebih sukses, agar diri lebih bermanfaat dan bermakna. Katarsis bisa dilakukan dengan mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan-lahan dengan sadar penuh hadir utuh, melakukan olahraga, kontemplasi, sholat, meditasi, menulis gratitude journal, berdialog mencurahkan hati terhadap Yang Maha Kuasa, dzikir (membangun kesadaran diri terus menerus), mengembangkan diri, membangun bisnis, bekerja secara optimal, piknik, melakukan hobi positif serta bersilaturrahmi dengan komunitas yang lebih kondusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun