Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Manusia pembelajar. Pemimpin bisnis. Membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

5 Proses Memaafkan yang Membebaskan

1 Juli 2021   17:00 Diperbarui: 21 Agustus 2024   14:26 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Adakah orang yang kita putus hubungan baiknya? Adakah orang yang kalau kita ingat, ada rasa gak enak ? Adakah orang yang kita anggap sebagai penyebab kesialan, kerugian bahkan penderitaan hidup kita? Adakah kejadian dengan seseorang yang terus menerus kita sesali? Adakah orang yang cenderung hanya kita lihat sisi buruknya saja? Adakah orang yang kita harap untuk mengalami penderitaan dalam hidupnya ? Bila seluruhnya atau sebagian atau satu saja dari pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya ada, artinya jiwa kita masih sakit dan teridentifikasi bahwa kita belum bisa memaafkan. 

Identifikasi ini dan mengakui bahwa jiwa kita masih sakit adalah langkah pertama agar kita bisa memaafkan. Memaafkan harus spesifik, karena kita tidak bisa memaafkan sesuatu yang tidak terjadi pada kita. Ini disebut juga uncovering phase, mencoba memahami dan mengungkap rasa "sakit" yang dialami.

Memaafkan (forgiveness) bukan berarti mengabaikan, melupakan, melepaskan dari pertanggungjawaban hukum jika ada atau bahkan menyangkal keseriusan perlakuan buruk orang lain terhadap kita atau menganggap kesalahan yang terjadi itu tidak apa-apa. Itu namanya excusing. Memafkan bukan berarti melupakan masa lalu yang pahit dan melupakan kesalahan yang telah terjadi. Itu namanya forgetting. Memaafkan adalah keputusan untuk mereset dan menformat ulang belenggu sakit hati, luka, rasa gak enak, penyesalan dan kebencian ke dalam bingkai baru yang bisa membebaskan diri kita dari belenggu tersebut dan membawa ke kondisi hati yang lebih baik secara konsisten. Jadi salah satu tanda memaafkan adalah muatan emosinya sudah runtuh, baik itu masih mengingatnya atau sudah melupakannya . Kalau kita masih ingat dia yang kita benci, terbayang-bayang dan terus-menerus memikirkannya sampai menempati posisi di hati jauh lebih tinggi dari orang yang kita cintai... artinya kita belum memaafkan, kita terpenjara dan belum terbebaskan. Forgiveness is not an occasional act, it is a constant attitude. 

Contohnya kita ingat di masa lalu kita disakiti dan/atau dirugikan oleh pasangan atau saudara atau teman. Setiap teringat hal itu hati kita terluka. Untuk memaafkan kita bisa menjadikan kejadian tersebut dalam bingkai pesan Yang Maha Kuasa dan alam semesta tentang pelajaran hidup berharga. Alam semesta ini diciptakan Yang Maha Kuasa dalam keseimbangan. Apa yang kita tabur itulah yang kita tuai. Apa yang kita berikan itulah yang kita terima. Ada semacam neraca keseimbangan di alam semesta ini. Hukum ini tidak bisa dimanipulasi, direkayasa atau di "kadali". Bila kita sekarang menuai sakit hati dan kerugian, bisa jadi di masa lalu kita telah manabur perkataan dan/atau perbuatan yang menyebabkan orang lain sakit hati dan rugi. Alam semesta sedang menyeimbangkan dirinya pada diri kita, hingga akun saldo kita yang negatif menjadi nol. 

Bisa jadi Yang Maha Kuasa sedang memurnikan keikhlasan niat kita atau alam semesta sedang mengarahkan fokus hidup kita. Kita sedang diingatkan agar tidak terjerumus dalam jurang kesesatan dan penderitaan. Yang Maha Kuasa sedang menolkan ego kita. Alam semesta sedang menghancurkan kesombongan kita. Yang Maha Kuasa sedang mendidik diri kita lebih baik. Menjadi manusia yang hadir dan mampu membina hubungan cinta atau bisnis dengan bijaksana, menjadi pasangan/saudara/teman yang aktif saling menyembuhkan dan saling membahagiakan terus-menerus. Tidakkah kita menyadari semua kejadian di alam semesta ini walaupun menyakitkan adalah guru yang real? Sayangnya kita lebih banyak menyukai guru yang theory, karena lebih nyaman. Padahal semua kejadian di alam semesta ini adalah sekolah kehidupan yang sebenarnya. Sebenarnya kita sedang memasuki kurikulum alam semesta dan pelajaran real tentang "memaafkan".

Mengapa sih kita harus memaafkan? Sebab ketika belum bisa memaafkan lenyap perasaan nyaman. Ketika tidak ada perasaan nyaman maka jiwa kita, badan kita akan terbebani dan rentan untuk sakit baik secara psikis maupun fisik. Kita sering menganggap bahwa memaafkan selalu terkait orang lain, padahal memaafkan selalu terkait dengan diri sendiri. Forgiveness is not something we do for other people, we do it for ourselves to get well and to move on. Ini seperti kita memegang bara api dan berharap orang yang belum kita maafkan terbakar. Justru ketika kita tidak memaafkan sebenarnya kita membakar diri kita sendiri. Tanpa memaafkan, itu seperti membangun ikatan yang kuat dengan bayangan orang yang kita benci dan menyeretnya kemanapun kita pergi. Coba renungkan, bila kita tidak memaafkan, yang jadi korban siapa? Yang sakit dan menderita akhirnya siapa? 

Memaafkan itu gunanya buat kita sendiri, bukan buat orang lain. Bila kita bisa memaafkan dan tidak melakukan kezhaliman maka kebaikan akan dicatat dalam sistem memori kita. Ada  rekaman pengampunan, memaafkan, welas asih dan kebijaksanaan di sistem memori kita. Akun neraca keseimbangan kehidupan me"nol"kan diri dan ditutup. Ini adalah tentang pertukaran energi. Jika energi kita dalam neraca keseimbangan kehidupan positif dengan memaafkan, maka di masa depan sistem keseimbangan ini akan memberi kita begitu banyak kebaikan dalam situasi yang berbeda. Nasib akan berubah, menjadi lebih bahagia dan penuh kebaikan. Fred Luskin dalam penelitiannya menyampaikan bahwa ketika seseorang memendam amarah dan kebencian, tubuhnya mengeluarkan hormon kortisol  dan adrenalin yakni hormon yang membuat cemas dan stress. Amarah yang luar biasa beresiko dengan penyakit jantung dan kematian. Sebaliknya memaafkan menyehatkan mental dan membahagiakan hati, menenangkan hidup dan lebih membuat kita terhubung dengan sekitar.

Menyadari untung dan ruginya memaafkan. Menyadari bahwa memaafkan itu gunanya buat kita sendiri, bukan buat orang lain adalah langkah kedua agar kita bisa memaafkan. Ini disebut juga decision phase, mulai mempertimbangkan konsekuensi positif-negatifnya, untung-ruginya.

Ego base, gengsi, khawatir terlihat lemah atau bodoh sering membuat memaafkan itu jadi berat dan sulit. Beberapa di antara kita punya kata hati "Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan setelah apa yang sudah dia perbuat begitu menyakitkan? Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan ketika bekas lukanya masih terasa sampai sekarang? Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan, orang dianya gak kapok, masih terus aja begitu, bahkan semakin menjadi-jadi ? Enak aja dimaafkan, orang dia-nya minta maaf atau sadar aja juga enggak ! Pernahkah kita menyadari bila kita punya kata hati, berpikir dan merasa seperti ini, itu artinya kita "salfok" (salah fokus). Kita fokus pada hal yang salah. Setiap orang seperti antena-antena yang memancarkan apa kata hatinya, memancarkan apa yang dipikirkan, memancarkan apa yang dirasa dan memancarkan apa yang difokuskan. Sesungguhnya apa yang kita pancarkan ke alam akan dipantulkan kembali ke kita. Pernahkan kita menyadari bila dalam pikiran dan emosi yang kita fokuskan dan pancarkan adalah musuh maka yang kita terima adalah musuh. We are attracted what we are. Salah fokus ini membuat hidup kita stuck, tidak beranjak naik level dan hanya mengundang pola kejadian menyakitkan yang sama berulang-ulang. Mau sampai kapan kita berputar dalam lingkaran penderitaan yang berulang-ulang seperti ini?

Lalu kemana seharusnya fikiran dan emosi kita fokuskan? Fokus ke dalam bukan keluar. Fokus kepada hal yang ada di dalam diri sendiri ! Fokus kepada hal yang ada di dalam diri sendiri sama artinya dengan fokus kepada Tuhan. Fokus kepada Diri Yang Agung. Bukankah Tuhan jauh lebih dekat dari urat nadi kita? Bukankah kita manusia sejatinya adalah pancaran dari Diri Yang Agung?

Menata kembali niat kita, memurnikan kembali keikhlasan kita, mengarahkan kembali pada hidup yang benar. Diri hanya memancarkan vibrasi, frekuensi dan energi yang murni seperti keikhlasan, kasih sayang, rasa syukur dan pengabdian. Mengendalikan ego kita. Mereset kembali keangkuhan dan kesombongan kita. Selalu berupaya mengambil hikmah dan pelajaran berharga agar kapasitas diri kita naik level dan bisa melewati masalah tersebut. Selalu berupaya menyikapi dengan baik, tidak terjebak oleh emosi negatif dan marah yang tidak terkendali serta terus-menerus memperbaiki diri. Hal yang perlu kita sadari dan perhitungkan, seringkali dampaknya pikiran negatif dan emosi marah jauh lebih besar daripada kesalahan itu sendiri, yang bisa jadi sangat sepele. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun