Kita bukan orang yang pertama hidup di dunia ini. Kita juga bukan orang yang pertama mengalami kematian. Kita tidak pernah mengetahui apa yang mungkin akan terjadi esok atau nanti. Tapi kita tahu satu hal, bahwa kita pasti akan mati. Kita perlu menyadarinya (memento mori). Tidak peduli sekuat, sekaya, se-secure apapun kita, semua sama di hadapan kematian yang pasti datang kapan saja. Namun meskipun kematian adalah satu hal yang sangat jelas dan pasti (haqqul yaqin), tidak semua orang sanggup dan siap menghadapinya. Alam semesta ini memiliki kesadaran kehidupan maupun kesadaran kematian. Kapan waktunya harus hidup dan kapan waktunya harus mati. Entah karena kekuatan yang diperlukan tubuh tidak bisa lagi memperpanjang kehidupan atau karena kehidupan memang memutuskan harus pergi. Bukankah banyak sekali keputusan diri kita tidak ditentukan oleh pemikiran kita? Bukankah kehidupan dan kematian sering terjadi begitu saja?
Selama kita hidup kita akan melakukan segalanya untuk melestarikannya karena kita menghormati dan mencintai kehidupan. Dan begitupun juga ketika siapapun diantara kita mati kita juga sepatutnya menghormati dan mencintai kematian itu. Manusiawi bila kita ingin terus mengalami drama kehidupan ini tiada akhir, karena kita memilik ego, keinginan dan hawa nafsu. Namun suka atau tidak suka alam semesta ini terus memurnikan diri menuju pada kesejatian dirinya, tidak ingin terjebak dalam pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan, berproses dalam siklus hidup dan mati.
Sesungguhnya kematian sudah dimulai saat hidup dimulai. Saat menghirup nafas kita hidup, saat menghembuskan nafas kita mati. Ego, keinginan dan hawa nafsu kita berharap bisa hidup terus selamanya. Namun saat nafas yang kita hembuskan adalah nafas terakhir dan tidak bisa menghirup nafas lagi, betapa rapuhnya kita manusia. Masihkah ego, keinginan dan hawa nafsu kita sanggup melawan kematian? Hidup dan mati adalah satu paket. Seperti halnya besar kecil, tinggi rendah, banyak sedikit. Ini sifat dasar relativitas dunia.
Hal terpenting yang perlu kita lakukan adalah mempersiapkan kematian dengan elegant. Yang paling utama diperlukan adalah melampaui tubuh dengan segala pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan. Melepaskan kemelekatan terhadap harta, tahta dan popularitas serta petualangan dengan pernik-pernik dunia fisik fana yang tiada habisnya. Diri kita terlahir kembali melampaui pemikiran dan akumulasi berjuta memori yang kita kumpulkan. Jiwa kita naik di level energi tinggi yang penuh dengan keikhlasan, gratitude, keberlimpahan, cinta, sukacita, keseimbangan, kedamaian dan pencerahan sebelum ajal menjemput. Masuk ke dalam present moment, here and now, tidak sibuk meratapi masa lalu atau mengkhawatirkan masa depan. Menjalani hidup dengan nikmat, sadar dan bermakna di setiap moment. Bagi yang tidak bisa merasakan kenikmatan, kesadaran dan kebermaknaan hidup di level alam dimensi rendah di dunia ini, sungguh akan sulit merasakan kebahagiaan di level alam berdimensi lebih tinggi di akhirat. (QS 3 : 102)
Menyadari akan kematian mampu mendorong kita untuk menggunakan waktu sebaik mungkin, sehingga hidup kita lebih pleasant, engage (sadar penuh hadir utuh) dan meaningfull serta menikmati setiap moment di sini, sekarang juga. Coba bayangkan... jika hari ini adalah hari terakhir hidup kita. Kita akan dipaksa bertanya, "Hidup seperti apa yang akan aku jalani ? Bagaimana aku bisa menjalani hidup lebih baik ? Apa dan siapa yang paling berarti dan bermakna dalam hidupku ? Kebaikan apa yang akan aku buat, berikan dan katakan hari ini?". Kita segera menyadari hidup ini adalah hadiah (gift), menyukuri anugerah hidup, mengendalikan diri dan tidak lagi menunda-nunda melakukan hal yang prioritas. Tidak sibuk mempermasalahkan hal-hal receh, remeh dan bukan prioritas. Sibuk dengan hal-hal yang tidak bermakna adalah distraksi terbesar dalam kehidupan yang agung (great).
Marcus Aurelius Antoninus, Lucius Annaeus Seneca, Nabi Muhammad SAW menyampaikan untuk hidup seakan hari ini hari terakhir kita, dan jadikan ini momentum untuk menentukan apa yang kita pikirkan, rasakan, lakukan dan fokuskan energi. Seorang laki-laki dari kaum Anshar datang kepada Nabi Muhammad SAW, dan mengucapkan salam kepada Beliau, lalu dia bertanya: “Wahai, Rasul Allah. Manakah di antara orang-orang beriman yang paling utama?” Beliau menjawab,”Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” Dia bertanya lagi: “Manakah di antara orang-orang beriman yang paling cerdik?” Beliau menjawab,”Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling bagus persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdik.” [HR Ibnu Majah, no. 4.259. Lihat Ash Shahihah, no. 1.384].
Pada akhirnya ketika ajal menjemput, kita bukan apa yang kita miliki dan kuasai. Kita adalah kumpulan cerita hidup. Sudahkah kita torehkan cerita hidup yang baik, benar, indah dan bermakna? (QS 23 : 100)
Referensi :
Ibn Katsir, Ismail (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah {QS 3 : 185; QS 50 : 19; QS 23 : 100; QS 63: 9-11; QS 21 : 35; QS 4 : 78; QS 62 : 8; QS 56 : 60, 83-87; QS 3 : 102)
Singer, Michael A., The Untethered Soul: The Journey Beyond Yourself, New Harbinger Publications/ Noetic Books; 1st edition (October 3, 2007
Seneca, Lucius Annaeus(Author), Moses Hadas (Translator, Introduction) . Stoic Philosophy of Seneca: Essays and Letters, W. W. Norton & Company (September 17, 1968)