Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Samudera Kesadaran : Dari Kapitalisme Menuju "Abundance Ecology"

13 Desember 2020   10:10 Diperbarui: 18 Agustus 2024   08:26 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://aravind.org/


"Life is not about accumulation, is about contribution"

"Saya akan berikan produk dan/atau jasa saya pada Anda, dan saya percaya semesta ini punya mekanisme keseimbangan untuk membayar saya tidak harus lewat Anda”. 

Makna dari kalimat inilah yang menjadi ruh dari Rumah Sakit Mata Gratis, Aravind Eye Hospital yang didirikan oleh Dr. Govindappa Venkataswamy dan telah merawat lebih dari 32 juta pasien dan memilik 14 cabang besar di India. Inilah yang disebut sebagai "abundance mentality", apa yang kita punya ini sudah lebih dari cukup, kita perlu mensyukuri ini dengan cara terus berkontribusi. 

Abundance mentality inilah yang sepanjang pengamatan saya menjadi "ruh" dari banyak bisnis besar lain seperti Google, Al Rajhi Bank, Microsoft, Merck, Disney, TOMs Shoes, Zappos, NuSkin, Lego, Rolex, Netflix. Yang menarik abundance mentality ini juga berjalan di sektor UKM di Indonesia. Sebut saja Aditya Prayoga pemilik Rumah Makan Gratis Ciangsana, yang menyediakan makan dan minum gratis untuk 100-an orang setiap harinya tanpa syarat.

Dulu, waktu kuliah di fakultas ekonomi dan bisnis diajarkan "saya akan berikan produk dan/atau jasa saya jika Anda juga memberikan sesuatu (atau uang) buat saya". Ini sering disebut prinsip win-win. Kenyataannya dalam praktek bisnis, prinsip win-win ini kurang berlaku, kita harus memenangkan orang lain terlebih dulu untuk bisa meng"goal"kan propose kita atau bisnis kita. Apalagi bila menggunakan prinsip win-lose akan sulit terjadi sinergi bisnis. 

Ketika kita merugikan orang lain dalam berbisnis, hakekatnya kita merugikan bisnis kita sendiri. Ketika kita menipu orang lain dalam berbisnis, hakekatnya kita sedang menghancurkan bisnis kita sendiri. Karena hakekatnya alam semesta adalah satu jiwa (entanglement) dan selalu punya cara menyeimbangkan dirinya.

Fakta sekarang yang kita lihat, kapitalisme telah memprovokasi banyak keserakahan, kejahatan, korupsi, persaingan tidak sehat dan berbagai bentuk destruksi di masyarakat, karenanya terjadi ketidakseimbangan masyarakat kepada tingkat yang sangat membahayakan. Dalam kapitalisme, uang menjadi langka, karena kalau tidak langka akan terjadi inflasi. Sistem ini akan selalu menghasilkan terlalu banyak orang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan paling dasar bagi diri mereka dan keluarga mereka. Dalam kapitalisme, banyak sekali diciptakan kekurangan buatan. Contohnya melalui spekulasi harga hasil pertanian. Petani dipaksa bahkan dibayar untuk tidak menanam hasil pertanian tertentu agar dapat mempertahankan harganya atau bahkan menaikkannya. Dalam kapitalisme, kita selalu hidup dengan kelangkaan. Dalam kelangkaan, selalu tidak cukup ada sumber daya untuk semua orang. 

Di sisi lain penghuni masyarakat terus terpapar ribuan iklan setiap hari. Masyarakat dibombardir budaya konsumsi yang berusaha meyakinkan bahwa hidup kita belum cukup jika belum mengkonsumsi produk atau jasa tertentu. Karena kelangkaan dan perilaku pasar seperti ini banyak perilaku menyimpang, seperti keserakahan, kejahatan, korupsi dan persaingan tidak sehat dan berbagai bentuk destruksi di masyarakat.

Untuk menghentikan berbagai bentuk destruksi di masyarakat tersebut, kita harus merubah paradigma berpikir masyarakat menuju pada abundance ecology. Dari paradigma berpikir kelangkaan yang sudah usang kepada paradigma berpikir keberlimpahan. From scarcity paradigm to abundance paradigm.  Abundance ecology semakin banyak memberikan bukti bahwa kita bisa berkelimpahan secara ekonomi tanpa perlu bertindak serakah, jahat, korup, bersaing tidak sehat dan melakukan berbagai bentuk distruksi di masyarakat.  

Referensi:
Pavithra K. Mehta, Infinite Vision: How Aravind Became the World's Greatest Business Case for Compassion, Berrett-Koehler Publishers; 1st edition (November 7, 2011)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun