Kertas terguyur hujan. Terpanggang dibawah terik matahari. Kertas menjadi keriput. Berubah warnah. Putih, memudar kecoklatan. Itulah yang terjadi dengan pengemis jalanan. Mental mereka adalah mental kerja keras yang sama dengan kertas. Penyamaan terlalu tragis, sebab kertas bisa hancur akibat terkena guyuran hujan. Namun dalam diri pengamin yang terpandang bukanlah sekedar uang kertas. Mereka sadar bahwa diri mereka memiliki keterbatasan yang tinggi. Mereka menyadari bahwa kebutuhan mereka (para pengemis) bukan sekedar makan, melainkan ada kebutuhan yang terus mendesak. Akibat dari kebutuhan-kebutuhan tersebut, mereka turun ke jalan, menadahkan tangannya, mulutnya diukir, agar tampak memelas. Hasil dari proses pengukir mulutnya sendiri tidak begitu banyak “jika hanya satu hari” mereka tahu bahwa sehari bukan sebuah kerja yang konsisten, melainkanbutuh kontinyuitas yang tinggi untuk mendapatkan yang lebih.
Perhitungan sangat sempurna dilakukan oleh para pengemis, pengamin dan yang sesamanya terhadap uang receh (uang kecil-kecil) yang terkadang kurang menjadi perhatian orang besar. Namun tak habis pikir, bahwa uang receh tersebut justru menjadi uang fondasi dari uang besar. Banyak pedagang yang juga mengumpulkan laba dari yang paling kecil, dari yang terkadang kurang teranggap sebagai laba, yaitu dari 200-2000. Begitu pula dengan pengemis yang mampu membaca potensi jalanan, terutama lampu merah.
Jika dalam waktu 90 detik (waktu lampu merah) mampu menghasilkan 500/90 detik. Dalam sehari, pengemis dapat menghasilkan lebih dari 10000 ribu. Mereka sadar, mereka tak mencari yang besar dan banyak, karena mereka menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan yang tak mampu mereka lepaskan. Kesadaran yang melekat dalam diri pengemis menjadi pijakan mental untuk berubah, untuk bergerak keluar dari kekurangan yang terus mengungkung diri mereka.
Mereka belajar dari sejarah bahwa banyak pengemis sukses dengan modal melas. Sejarah tanpak sembunyi untuk melihat bahwa pengemis bukan pekerjaan yang ideal, bukan profesi yang layak untuk dipertahankan, namun pada saat yang bersamaan, pengemis semakin lahir dengan liar.
Dari kesadaran sebagai pijakan mental. Mereka berani menginjak harga diri mereka yang mereka sadari “tak layak” untuk disadari. Kesadaran untuk menginjak harga dirinya dengan mengukir wajah mereka merupakan mental emas yang patut diacungi jempol “terbalik”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H