Jauh sebelum Holland Bakery, Sari Roti atau roti tawar yang ada dimini market dipasarkan secara masif, saya sudah mengenal makanan ini, setidaknya sejak bermukim di Parikesit Balikpapan.
Saat itu awal tahun 70-an, setiap sore mobil colt warna biru dengan bak tertutup, dari pabrik roti Komperta (Komplek Pertamina) Karanganyar, berkeliling membagi-bagikan roti tawar secara gratis, kepada setiap penghuni rumah di Komplek tersebut.
Pembagian gratis makanan utama negeri Kincir Angin ini, jauh sebelumnya sudah dilakukan oleh BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), Perusahaan Minyak Bumi yang dikelola oleh Belanda.
Jadi ini merupakan estafet kebijakan "Pemilik" lama, yang dilanjutkan oleh PERTAMINA saat itu.
Dengan suara lonceng kecil, mirip klenengan yang digantungkan dileher sapi, bunyi inilah sebagai pertanda roti sudah siap dibagikan, kepada penghuni Komplek.
Roti tawar atau 'Tafelbrood' (dlm Belanda), sudah diperkenalkan oleh Kolonial kepada Inlander (sebutan pribumi oleh Kolonial) sejak tahun 30-an.
Belanda saat itu memperkenalkan makanan ini, agar kaum Pribumi mengetahui, inilah makanan yang mempunyai cita-rasa tinggi (dengan beragam topingnya), dan menurut mereka beradab.
Bukan seperti makanan tradisioanl, Tiwul, Gatot, Intip (kerak nasi), Tempe, dan lain-lain, yang dianggapnya makanan yang tidak berkelas, atau kurang manfaat.
Maka sejarah mencatat, orang-orang pribumi yang mempunyai hubungan "Simbiosis Mutualisme", juga harus adaptif terhadap apa yang diperkenalkan Kolonial, baik itu cara berpakaian, dan gaya hidup...
Juga tentang makanan yang dikonsumsi mereka, termasuk Tafelbrood alias roti tawar.
Prepare makanan ini, dengan dilapisi mentega dan toping sarikaya atau coklat meses, roti siap dihidangkan.
Saat itu kami tidak memakai sarikaya pabrikan atau meses, karena mahal, jadi membuat sendiri, terutama toping sarikaya.
Dengan adonan manipulatif (seolah-olah sarikaya original) seperti; campuran kuning telur, gula pasir, pasta vanila, santan kental, daun pandan serta sedikit garam, jadilah selai sarikaya olahan rumahan
Dahulu, kalau makan roti tawar tersebut, walaupun topingnya buatan sendiri, merasa kasta sosial terangkat menjadi tinggi, kalau sekarang bisa disebut "Pansos", karena makanan ini.
Begitu dalamnya rembesan penetrasi budaya, yang ditinggalkan oleh Pieter Both Gubernur Jenderal VOC yang pertama, dan Cum Suis (cs) nya terhadap Mentalitas Pribumi.
Paling tidak terhadap diri saya pribadi...
Tapi lidah ini tidak bisa ditipu...
Walau roti tawar olahan Komperta Karanganyar Balikpapan sangat berpengaruh terhadap selera makan saya saat itu, tetap cita rasa makanan tradisional tidak bisa hilang begitu saja.
Dan terbukti, saat saya pulang kampung, daftar menu wajib yang saya utamakan, dan saya catat di hp, adalah: Soto Banjar, Coto Makassar, Gula-gait, Pundut Nasi, dan banyak lagi makanan tradisional yang cita rasanya sangat menggoyang lidah.
Apakah anak-anak Milenial atau Gen Z, mengenal makanan tradisional tersebut?!
Sebut saja contoh secara umum, seperti: Pisang-gapit, Cenil, Lupis, Jipang, Tiwul, Kerak Telor dan banyak lagi yang lainnya.
Sependek pengamatan saya, mereka akrab sekali dengan makanan, Burger, Pret Ciken, Pizza, Sosis Bakar, Mie Instant.Â
Dan minuman-minuman soft drink, yang lidah ini sering kesleo kalau menyebut namanya, karena memakai bahasa "Planet", yang sulit diucapkan.
Roda waktu terus berputar, makanan dan minuman seperti soft drink, dan makanan pop alias fast food, dengan banyak ragamnya, kembali digandrungi oleh generasi Milenial atau Gen Z.
Dengan fenomena ini, apakah mereka bisa disebut sebagai penyandang Mentalitas Inlander?!
Merasa "terangkat" status sosialnya, hanya karena mengkonsumsi, yang bukan makanan tradisional?
Wallahu a'lam.
Penulis, Mohammad Topani S