Pagi itu, udara Surabaya sangat sejuk. Menghirupnya pun amat segar. Harum dedaunan dari tanaman di pinggir jalan begitu terasa di hidung. Senyum sang surya juga menghiasi ruang-ruang kosong kala itu. Kami benar-benar menikmati indah dan cantiknya Surabaya pagi itu.
Ya, saat itu saya sedang menemani saudara yang bermalam di salah satu hotel di pusat Kota Surabaya. Saudara ini sudah lama tinggal di Jakarta dan sedang liburan di Surabaya. Pagi harinya, kami berdua mencoba menyusuri pusat kota dengan memakai sepeda motor sembari pelan-pelan. Kala itu, kami mencoba melintas di depan Gedung Negara Grahadi hingga di depan Balai Kota Surabaya menuju ke arah timur.
Sesekali kami pun berhenti untuk sekadar mengabadikan momen pagi itu. Di tengah asyik foto-foto, tiba-tiba saudara ngajak "ngerasani" Â atau ngomong tentang Jakarta dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Ini kan Lidah Mertua ya? Lho, di sini kok sudah banyak?" tanya dia heran sambil menunjuk Lidah Mertua yang berjajar banyak di pinggir jalan. Aku belum bergeming. Â "Mungkinkah Pak Anies meniru Surabaya ya?" selorohnya lagi. Â Aku pun kaget dihubung-hubungkan dengan Anies dan saya pun mencoba mengalihkan isu, karena lagi malas "ngerasani".
Namun, sepanjang perjalanan ke hotel saya berpikir. Apa iya Pak Anies meniru Surabaya? ah, tidak mungkin. Mana mungkin Pak Anies mencontoh Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta? Mana mau Pak Anies meniru berbagai terobosan Surabaya?Â
Kan referensi Pak Anies selalu luar negeri, bukan daerah-daerah di Indonesia? Berbagai pertanyaan pun muncul dibenakku. Ragam pertanyaan itu berusaha mengacaukan pikiranku pagi itu.
Tiba-tiba, angin segar menghantam mukaku, menyadarkanku dari lamunan. Aku pun berpikir bijak. Meskipun meniru memangnya kenapa? Apa salahnya? Tidak ada yang salah kok. Lagian, ilmu tentang cara-cara mengatasi polusi udara yang sedang "menyerang" Jakarta, banyak ditemukan di Mbah Google dan referensi lainnya. Jadi, tidak perlu meniru Surabaya.
Lidah Mertua di Surabaya
Satu sisi, saya juga tidak bisa menyalahkan saudara yang berpikir bahwa Anies meniru Surabaya dalam merencanakan Lidah Mertua. Sebab, di Surabaya memang banyak sekali Lidah Mertua yang sengaja di pasang di pinggir-pinggir jalan, terutama jalan-jalan yang biasanya padat dan cenderung macet jika pagi dan sore hari.
Lidah Mertua itu diletakkan dalam kaleng bekas yang disulap dengan cat warna-warni, sehingga terlihat lebih menarik dan unik. Di jalan-jalan utama Surabaya yang padat kendaraan, pemasangan kaleng bekas yang ada Lidah Mertuanya ini sangat banyak. Tanaman itu diletakkan berjajar, jaraknya kurang lebih satu meter di jalan-jalan utama Surabaya.
Setelah saya telusuri dari berbagai sumber, ternyata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah menyuruh anak buahnya untuk menanam Lidah Mertua itu sejak lima tahun lalu, yaitu 2014. Sebab, dia sudah paham bahwa tanaman Lidah Mertua merupakan salah satu cara untuk mengurangi polusi udara dan menekan suhu udara di perkotaan.Â
Bahkan, hingga saat ini sudah ada 15 ribu tanaman Lidah Mertua yang ditanam sejak 5 tahun lalu. Jenisnya pun beragam, ada yang Lidah Mertua varigata, memiliki ciri khas berwarna kuning dan hijau. Lalu ada pula lidah mertua jenis kodok yang memiliki daun lebih pendek.
Itu artinya, pada saat Jakarta heboh soal Lidah Mertua, Kota Surabaya sudah menerapkannya sejak 5 tahun lalu. Meskipun ada yang bilang bahwa Lidah Mertua bukan yang paling ampuh, tapi nyatanya Surabaya masih menggunakan cara itu dan ternyata Kota Surabaya kini bisa mengendalikan polusi.
Namun begitu, saya perlu pastikan bahwa penanaman Lidah Mertua ini hanya salah satu cara di Kota Surabaya untuk mengendalikan polusi. Saya yakin masih banyak cara yang digunakan oleh Surabaya untuk mengendalikan polusi. Â
Belajar Bijak Menyikapi Lidah Mertua Jakarta
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kepada semuanya untuk belajar bijak menyikapi Lidah Mertua yang sedang direncanakan oleh Anies.
Menurut hemat saya, kita perlu apresiasi Gubernur Anies beserta jajarannya yang telah memiliki inisiatif untuk memerangi polusi udara Jakarta. Dari pada tidak sama sekali, yang penting kita sudah ikhtiar untuk menguranginya.
Persoalan apakah ini langkah tepat atau tidak menanam Lidah Mertua? Menurut saya sudah tepat, hanya saja perlu tambahan terobosan-terobosan lagi supaya terus berkurang polusinya. Sebab, tidak cukup jika hanya mengandalkan Lidah Mertua saja.
Di Surabaya pun demikian, meskipun sudah ada ribuan Lidah Mertua, namun terobosan lainnya terus digenjot, seperti pembangunan taman-taman dan berbagai inovasi lainnya, sehingga dengan cara-cara itu, Surabaya relative bisa mengendalikan polusi udaranya.
Pertanyaannya kemudian, perlukah Pak Anies belajar ke Bu Risma dalam mengendalikan polusi udara? Ah entahlah...mari kita minum kopi dulu sambil menikmati pagi yang cerah ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H