Mohon tunggu...
Mohammad Syafri
Mohammad Syafri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pemuda yang ingin belajar dan mengembangkan potensi diri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ironi Revisi UU Cipta Kerja: Meski Tak Jalankan Amanat MK, Namun Tetap Lolos dalam Uji Formil

12 Oktober 2023   13:18 Diperbarui: 12 Oktober 2023   13:22 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjalanan UU Cipta Kerja dalam dunia regulasi di tanah air merupakan topik yang selalu menarik perhatian publik. Pada fase terbarunya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang tidak bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana yang termuat dalam Putusan MK Nomor 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, 50/PUU-XXI/2023, 54/PUU-XXI/2023.

Dengan adanya putusan-putusan tersebut, keberlakuan dari UU No. 6 Tahun 2023 semakin mendapat kekuatan hukum. Namun disisi lain, putusan ini juga menimbulkan pertanyaan di benak publik, mengingat proses revisi UU Cipta Kerja cenderung mengabaikan amanat MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Secara garis besar, kelima putusan yang disampaikan MK memiliki substansi yang berkaitan satu sama lain. Dimana para pemohon mendalilkan bahwa UU No. 6 Tahun 2023 mengalami cacat formil dikarenakan proses pengesahan undang-undang tersebut telah menyimpangi ketentuan "persidangan yang berikut" yang termuat dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Perppu Cipta Kerja ditetapkan mada masa sidang ke-2 DPR, namun UU No. 6 Tahun 2023 baru disahkan oleh DPR pada masa sidang ke-4.

Selain itu, para pemohon juga mendalilkan bahwa kebijakan pemerintah dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Sehingga aspek partisipasi bermakna yang seharusnya di implementasikan dalam perbaikan UU Cipta Kerja pada nyatanya tidak terwujud.

Dalam menyikapi dalil para pemohon, mayoritas Hakim Konstitusi memandang gugatan yang diajukan para pemohon tidak beralasan hukum dengan dasar pertimbangan bahwa  UU No. 6 Tahun 2023 memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang, sehingga DPR memerlukan waktu yang mendalam untuk membahas undang-undang tersebut. Selain itu, penerbitan Perppu Cipta Kerja didasarkan pada situasi krisis global yang berpotensi menurunkan tingkat perekonomian Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa pengesahan UU No. 6 Tahun 2023 masih dalam tenggat waktu yang ditetapkan dalam perundang-undangan, serta aspek partisipasi bermakna tidak lagi relevan diberlakukan terhadap RUU yang berasal dari Perppu.

Empat orang Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda yang termuat dalam Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023, dengan dasar pertimbangan bahwa Indonesia menerapkan model yang ketat dalam hal pemberian persetujuan DPR terhadap Perppu. Olehnya itu, DPR seharusnya memberikan persetujuan terhadap Perppu Cipta Kerja pada masa sidang ke-3, dan bukan pada masa sidang ke-4. Selanjutnya, keempat Hakim Konstitusi tersebut juga memandang bahwa kebijakan yang diambil pemerintah dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja merupakan langkah nyata dari pembangkangan terhadap Putusan MK.

Fenomena pengujian konstitusionalitas undang-undang di MK pada hakikatnya merupakan sarana yang diperuntukan bagi masyarakat yang merasa haknya dilanggar akibat berlakunya suatu undang-undang. Hal ini bertujuan untuk menjaga nilai kepatuhan undang-undang terhadap norma konstitusi.

Pengujian tersebut meliputi dua bentuk, yaitu pengujian formil dan pengujian materiil. Dari kedua bentuk pengujian undang-undang, pengujian formil memiliki implikasi yang lebih luas dibanding pengujian materiil. Dimana dalam pengujian formil, suatu undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi akan kehilangan daya lakunya dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Sementara itu dalam pengujian materiil, pengingkaran undang-undang terhadap norma konstitusi hanya akan menggugurkan substansi pasal yang di uji. Namun dalam kasus tertentu dan hal ini sangat jarang terjadi, MK dapat mengeluarkan putusan ultra petita yaitu putusan yang melebihi permohonan pemohon. Hal ini bisa saja terjadi apabila substansi pasal yang sedang di uji merupakan jantung dari sebuah undang-undang.

Menurut hemat penulis, putusan MK terhadap UU No. 6 Tahun 2023 telah menggambarkan bahwa MK tidak memiliki keseriusan dalam menegakkan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam tataran undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari sikap MK yang cenderung mudah mengamini langkah dari pembentuk undang-undang tanpa mempertimbangkan segala aspek yang terkait. Padahal, pengujian formil tidak hanya mencakup pada persoalan prosedural semata, akan tetapi juga meliputi hal-hal yang menyangkut dengan nilai-nilai dan moralitas konstitusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun