Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah adalah 2 hal yang saling terkait. Â Otonomi Daerah (UU Nomor 23 Tahun 2014) merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Desentralisasi Fiskal secara sederhana diartikan sebagai penyerahan kewenangan di bidang fiskal (segala urusan yang berkenaan dengan pajak atau pendapatan negara) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sehingga untuk keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan desentralisasi fiskal sebagai sarana atau alat bagi pemerintah daerah mewujudkan terciptanya kesejahteraan masyarakat sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal era Reformasi dimulai sejak 1 Januari 2001 yang ditandai dengan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD). Mengalami beberapa kali perubahan, pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal kini mendasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 33 tahun 2004.
Salah satu tujuan desentralisasi fiskal adalah meningkatkan kapasitas fiskal daerah dalam rangka mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemda yang dengan kebijakan tersebut diharapkan adanya peningkatan kualitas layanan publik di daerah. Adapun wujud dari kebijakan desentralisasi fiskal tersebut adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Dalam masa hampir 2 dekade, dukungan pemerintah pusat dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal tercatat semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya nilai TKDD yang diterima pemerintah daerah. Mengambil porsi dari penerimaan negara pajak dan bukan pajak, perkembangan alokasi TKDD meningkat dari hanya sebesar Rp81,7 triliun atau sebesar 31% di tahun 2001 menjadi Rp795,5 Triliun atau mencapai sekitar 45,6% di tahun 2021. Data ini menunjukkan rata-rata terjadi peningkatan 0,73% per tahun.
Peningkatan alokasi TKDD ini diimbangi dengan beberapa keberhasilan dari sisi output, misalkan menurunnya ketimpangan pendanaan antar daerah sehingga daerah mempunyai kesempatan yang relatif seragam dalam meningkatkan pelayanan dan pembangunan. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya ketimpangan pendanaan antar daerah yang dibuktikan hasil ukur melalui indeks theil yang menurun sejak 2016 sampai dengan 2020, dan membaiknya layanan publik di daerah seperti Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/SMA yang secara nasional mencapai 70,68%, penyediaan air minum layak yang sudah mencapai 89,27% dan berhasilnya program imunisasi (BCG,DPT,Polio, dan Campak) di angka 50,34%.
Sementara dari sisi outcome, TKDD sudah berhasil menaikkan derajat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ke angka 71,94 Â secara nasional dan juga bisa ditekannya data penduduk miskin di angka 10,19 %.
Namun demikian, catatan bagus pelaksanaan desentralisasi fiskal di atas masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Banyak daerah yang belum bisa sejajar dalam memberikan pelayanan publik sebagaimana daerah lainnya, misal dalam capaian APM SMP/SMA.
Masih jomplangnya pelayanan publik antar daerah ditengarai dari kurang optimalnya pemanfaatan dana, semisal tergerusnya APBD untuk belanja operasional khususnya belanja pegawai, dibandingkan untuk belanja modal. Meskipun sama-sama memberikan efek multiplier ekonomi, belanja modal diyakini memberikan efek berganda yang lebih panjang. Masih dominannya belanja pegawai dalam APBD ditengarai dari adanya korelasi positif antara Belanja Pegawai perkapita dengan DAU per kapita yang diterima daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan DAU justru mendorong Pemda untuk meningkatkan alokasi belanja pegawainya. Sementara di sisi lain, korelasi positif antara DAK per kapita dengan belanja modal per kapita menunjukkan Pemda yang cenderung menggunakan DAK sebagai sumber utama belanja modal, padahal esensinya DAK hanya sebagai penunjang. Kedua temuan tersebut memperlihatkan bagaimana pengelolaan keuangan daerah belum optimal untuk menjadi stimulan PDRB dan meningkatkan kualitas layanan publik di daerah.
Di sisi lain, pajak dan retribusi yang diharapkan mampu menjadi penopang APBD masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Berbagai kendala seperti masih sangat beragamnya jenis pajak dan retribusi daerah dan lemahnya administrasi dan pengawasan pemungutan pajak, menjadi hal yang harus diselesaikan guna meningkatkan perannya dalam APBD.
Menyadari hal tersebut, pemerintah mengajukan RUU Hubungan Keuangan Pusat Daerah (HKPD) sebagai revisi (pengganti) UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan mendasarkan pada 4 pilar yaitu :
Ketimpangan Vertikal dan horizontal yang menurun diantaranya dengan reformulasi DAU,Â