Mohon tunggu...
Mohammad Rizqul Akbar
Mohammad Rizqul Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Trunojoyo Madura

Aktif sebagai mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PENEMBAKAN APARAT KEPADA PELAJAR : Pelanggaran Etika dan Profesionalisme Profesi

22 Desember 2024   22:05 Diperbarui: 22 Desember 2024   22:06 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 9 Desember 2024, terjadi sebuah insiden tragis di Semarang yang melibatkan seorang anggota kepolisian, Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) Robig Zaenudin (RZ). Kejadian ini memicu perdebatan serius mengenai etika, tanggung jawab, dan profesionalisme anggota kepolisian. Tindakan RZ yang menembak seorang remaja hingga meninggal dunia telah mencoreng nama baik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai institusi yang bertugas melindungi dan melayani masyarakat. Insiden ini menjadi peringatan keras tentang pentingnya penerapan kode etik dan pengendalian diri dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum.

Insiden bermula dari permasalahan sepele, yakni kendaraan RZ yang diserempet oleh remaja tersebut. RZ, yang merasa tersinggung, bertindak di luar batas dengan menggunakan senjata api untuk menembak korban. Tindakannya ini dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap prinsip profesionalisme dan hukum yang berlaku.

Akibat perbuatannya, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Tengah menjatuhkan sanksi tegas berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada RZ. Selain itu, ia juga menghadapi proses hukum pidana atas tindakannya. Hukuman ini menunjukkan komitmen Polri dalam menegakkan aturan internal sekaligus memberi sinyal bahwa pelanggaran serius tidak akan ditoleransi.

Namun, kejadian ini telah menimbulkan dampak negatif yang mendalam terhadap kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Alih-alih menjadi pelindung, tindakan RZ justru menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat. Polri, sebagai lembaga yang diamanatkan untuk menjaga ketertiban dan melindungi hak-hak warga negara, kini dihadapkan pada tantangan besar untuk memulihkan citranya.

Tindakan RZ bertentangan dengan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap anggota Polri. Sebagai penegak hukum, polisi memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keadilan dan menjaga keamanan masyarakat. Terdapat beberapa prinsip utama yang dilanggar oleh RZ dalam kasus ini:

1. Penggunaan Kekuatan Secara Proporsional

Kepolisian memiliki wewenang untuk menggunakan kekuatan, termasuk senjata api, tetapi hanya dalam situasi yang benar-benar darurat dan mengancam jiwa. Penggunaan senjata api terhadap remaja hanya karena masalah pribadi seperti kendaraan yang diserempet jelas merupakan penyalahgunaan kewenangan. Tindakan ini menunjukkan kurangnya pengendalian diri serta ketidaktahuan atau pengabaian terhadap protokol yang telah ditetapkan.

2. Akuntabilitas dalam Menjalankan Tugas

Setiap anggota Polri wajib bertanggung jawab atas tindakannya, baik secara hukum maupun etika. Dalam hal ini, tindakan RZ tidak hanya melanggar aturan internal Polri tetapi juga hukum pidana yang berlaku. Ia gagal memenuhi standar akuntabilitas yang diharapkan dari seorang aparat penegak hukum.

3. Pengayoman dan Perlindungan terhadap Masyarakat

Salah satu fungsi utama Polri adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun, tindakan RZ justru bertolak belakang dengan tugas tersebut. Perbuatannya menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan di tengah masyarakat, yang seharusnya merasa aman dalam perlindungan kepolisian.

Kasus ini menunjukkan bahwa penerapan kode etik Polri (KEPP) belum sepenuhnya efektif. Untuk mencegah terulangnya insiden serupa, Polri perlu memperkuat pengawasan internal dan memastikan bahwa setiap anggota memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk memperbaiki keadaan meliputi:

1. Pelatihan Etika dan Pengendalian Emosi

Anggota Polri perlu diberikan pelatihan rutin mengenai etika profesi, pengendalian emosi, dan manajemen konflik. Dalam profesi yang penuh tekanan seperti kepolisian, kemampuan mengelola emosi sangat penting untuk memastikan keputusan yang diambil tetap rasional dan sesuai dengan aturan.

2. Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten

Hukuman PTDH yang diberikan kepada RZ adalah langkah awal yang baik. Namun, Polri perlu menunjukkan konsistensi dalam menangani kasus serupa. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera bagi anggota lain yang mungkin berniat melakukan pelanggaran.

3. Peningkatan Transparansi kepada Publik

Polri harus terbuka kepada masyarakat dalam menangani kasus-kasus pelanggaran oleh anggotanya. Transparansi ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa setiap pelanggaran akan ditangani dengan serius dan tanpa pandang bulu.

Kasus ini menjadi cerminan dari masih adanya celah dalam sistem pengawasan dan penegakan kode etik di lingkungan Polri. Sebagai institusi yang memegang peran penting dalam menjaga keamanan negara, Polri dituntut untuk memastikan bahwa setiap anggotanya memiliki pemahaman mendalam tentang tanggung jawab profesi mereka. Lebih dari itu, Polri juga harus mampu menciptakan budaya kerja yang mengedepankan integritas, profesionalisme, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Tindakan RZ telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Oleh karena itu, kasus ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal, pelatihan, dan penegakan kode etik. Penanganan yang tegas, transparan, dan konsisten sangat diperlukan untuk memulihkan citra institusi serta mengembalikan rasa aman di tengah masyarakat.

Insiden penembakan oleh Aipda Robig Zaenudin merupakan pengingat akan pentingnya etika dan tanggung jawab profesi dalam kepolisian. Polri sebagai lembaga penegak hukum harus menjamin bahwa setiap anggotanya memahami dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, integritas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penegakan kode etik yang tegas, pelatihan yang memadai, serta transparansi dalam menangani pelanggaran adalah langkah-langkah penting untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Dengan demikian, Polri dapat kembali membangun kepercayaan masyarakat dan menjalankan fungsinya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Kasus ini menunjukkan bahwa penerapan Kode Etik Polri (KEPP) belum sepenuhnya berhasil. Untuk menghentikan terulangnya kejadian yang sama, Polri harus memperkuat sistem pengawasan internal dan memastikan semua anggota memiliki etika dan profesionalisme yang tinggi. Beberapa strategi yang dapat diambil untuk memperbaiki situasi termasuk:

1. Pelatihan Etika dan Pengelolaan Emosi 

Anggota Polri perlu mengikuti pelatihan rutin yang berfokus pada etika profesi, manajemen emosi, dan penyelesaian konflik. Dalam pekerjaan yang sarat tekanan seperti kepolisian, kemampuan untuk mengelola emosi merupakan kunci agar keputusan yang diambil tetap rasional dan sesuai dengan peraturan yang ada.

2. Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten. Sanksi PTDH yang diterima oleh RZ merupakan langkah awal yang positif. Namun, Polri harus menunjukkan konsistensi dalam menangani kasus-kasus yang serupa. Penegakan hukum yang tegas akan dapat memberikan efek jera kepada anggota lain yang mungkin berniat melakukan pelanggaran.

3. Meningkatkan Transparansi kepada Publik Polri harus bersikap terbuka kepada masyarakat dalam menangani kasus pelanggaran yang dilakukan anggotanya. Keterbukaan ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa setiap pelanggaran akan ditindaklanjuti dengan serius dan tanpa pandang bulu.

Kasus ini mencerminkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan pelaksanaan kode etik di lingkungan Polri. Sebagai institusi yang memiliki peran penting dalam menjaga keamanan negara, Polri perlu memastikan bahwa setiap anggotanya memiliki pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab profesi mereka. Selain itu, Polri harus mampu menciptakan budaya kerja yang menonjolkan integritas, profesionalisme, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. 

Tindakan RZ telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Oleh karena itu, kasus ini harus menjadi peluang bagi Polri untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal, pelatihan, dan penerapan kode etik. Pendekatan yang tegas, transparan, dan konsisten sangat dibutuhkan untuk memperbaiki citra institusi dan mengembalikan rasa aman di masyarakat.

Insiden penembakan oleh Aipda Robig Zaenudin mengingatkan kita akan pentingnya etika dan tanggung jawab profesi dalam kepolisian. Sebagai lembaga penegak hukum, Polri harus memastikan bahwa setiap anggotanya memahami dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, integritas, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penegakan kode etik yang tegas, pelatihan yang memadai, dan transparansi dalam menangani pelanggaran adalah langkah-langkah penting untuk menghindari peristiwa serupa di masa mendatang. Dengan demikian, Polri dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat dan menjalankan perannya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun