Lalu ketidakkonsistenan terlihat berupa penerapan sanksi yang tebang pilih, saya masih bicara soal push-up. Sebagian orang yang secara usia sudah tidak lagi muda ternyata mendapat penghormatan dari aparat sehingga tidak perlu push-up. Wajar? Wajar dong, itu manusiawi namanya. Tapi akan penegakan hukum didasarkan oleh penilaian subjektif? Tidak.
Penegakan hukum didasarkan atas hitam di atas putih. Hukum bicara apa ya itu yang diterapkan,kalau mau ada penelusuran lebih lanjut biar hakim di pengadilan yang memutuskan. Akhirnya terlihat bahwa sanksi push-up memang diberikan secara serampangan dan justru terkesan didasari emosi semata.Â
Bahkan di berita saya sempat melihat bahwa yang memerintahkan push-up adalah bupatinya langsung. Padahal saya yakin bupati itu sendiri sudah mengeluarkan Perbup secara formal. Kebiasaan mencari alternatif yang diluar hukum inilah yang menjadi celah munculnya penyelewangan di sana-sini. Kebiasaan ini memunculkan logika berpikir yang berorientasi ke penyelesaian persoalan dari 'jalur belakang'. Boleh tidak didenda asal push-up, sama saja boleh satu kasus tidak diusut asalkan sesuatu dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H