Mohon tunggu...
Rd. Rizki Luthfiah Aziz
Rd. Rizki Luthfiah Aziz Mohon Tunggu... Aktor - An Observer and Participant of Life

Pengelana yang ingin mengarungi samudra kehidupan dan menyelami misteri alam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Superioritas Individu Angkatan Bersenjata: Mitos yang Mengakar

2 Juli 2018   16:24 Diperbarui: 20 Mei 2020   14:12 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
realcleardefense.com

Tulisan ini merupakan subjektivitas penulis yang sama sekali tidak bermaksud untuk menyudutkan satu atau beberapa institusi tertentu.

Sudah lama penulis berniat untuk mencurahkan pikiran seputar sikap khas yang diberikan kepada individu-individu yang termasuk bagian dari angkatan bersenjata. Istilah angkatan bersenjata sengaja dipilih, alih-alih militer, sebab cakupan angkatan bersenjata pada beberapa negara, terutama negara-negara berkembang, tidak hanya terbatas pada angkatan perangnya saja melainkan juga institusi paramiliter dan lembaga bernuansa semi-militer seperti kepolisian.

Kerancuan Hubungan Sipil - Militer di Indonesia Pada Masa Lalu

Di Indonesia sendiri pada masa orde baru hingga reformasi bangsa ini sempat melewati masa ketika institusi militernya yakni Tentara Nasional Indonesia atau TNI diintegrasikan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam satu alur komando bersama yang kemudian dikenal luas sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). 

Pemisahan kedua institusi paska reformasi tidak serta merta menghilangkan nuansa militerisme pada Polri. Meski demikian hingga kini usaha-usaha untuk menuju apa yang disebut sebagai jati diri polisi sipil terus diupayakan oleh Polri demi melahirkan polisi-polisi yang humanis dan profesional. 

Terlepas dari hal itu sebagai simplifikasi penulis akan melihat para individu kepolisian sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai individu angkatan bersenjata.

Secara historis militer Indonesia memang sempat memiliki peran dan relasi yang unik dengan kehidupan sipil bermasyarakat bangsa Indonesia. Istilah Dwifungsi ABRI masih kuat di ingatan banyak orang yang sempat melewati masa-masa pemerintahan Orde Baru. Secara sederhana konsep ini memberikan legitimasi pada ABRI untuk menjadi stabilitator pembangunan bangsa. Konsekuensinya ABRI tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sebagai pengawas sekaligus penindak segala ancaman terhadap pembagunan bangsa yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Implikasi dari prinsip Dwifungsi ABRI ini ialah banyaknya perwira aktif yang dengan serta merta diangkat sebagai pejabat dalam lingkungan sipil yang dinilai setara dengan pangkat yang bersangkutan, seperti seorang Letnan Kolonel diangkat sebagai Bupati, seorang Mayor Jenderal diangkat sebagai Gubernur atau Dirjen di Kementerian.

Oleh karenanya wajar banyak pihak merasa diingatkan kembali pada kenangan Dwifungsi ABRI ketika melihat seorang Komisaris Jenderal Polisi aktif diangkat sebagai pejabat sementara Gubernur.

Pada saat Jenderal El-Sisi melakukan kudeta dan berhasil menjadi pucuk pimpinan pemerintah Mesir, ia menunjuk sejumlah Jenderal aktif untuk menjadi Gubernur dan kepala daerah pada tingkat lainnya, beberapa di antaranya merupakan perwira tinggi kepolisian. Ini menandakan bahwa fenomena pengangkatan perwira aktif pada posisi pemerintahan sipil merupakan hal yang kerap ditemui di beberapa negara terutama negara-negara berkembang. Pada titik ekstrim peran militer mendominasi sipil secara masif tentu terlihat pada negara yang diatur oleh rezim militer. 

Studi Hubungan Sipil - Militer banyak membahas berbagai dasar yang melatarbelakangi terisinya posisi-posisi sipil oleh individu angkatan bersejentara. Beberapa asumsi yang digulirkan ialah karena kurangnya kepercayaan masyarakat dari negara itu sendiri pada individu sipil yang dinilai tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. 

Sehingga wajar keterlibatan militer pada kehidupan sipil kerap ditemui pada negara yang kondisi stabilitas keamanan-pertahanannya terganggu. Namun di sisi lain secara implisit terlihat bahwa ini merupakan pengakuan superioritas individu angkatan bersenjata atas individu sipil.

Di negara manapun para individu angkatan bersenjata, baik itu prajurit angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara ataupun anggota kepolisian, merupakan para individu terpilih yang telah melewati serangkaian seleksi ketat dengan standar yang tinggi. Perisapan matang tidak menjamin bahwa setiap individu dapat menjadi seorang prajurit. Pada aspek fisik justru bawaan lahiriah merupakan hal utama yang menentukan apakah seseorang berpotensi untuk menjadi seorang prajurit atau tidak.

Dengan penyaringan yang selektif para calon prajurit akan melewati serangkaian tes yang menentukan mana yang terbaik di antara yang baik untuk kemudian dapat mengikuti pendidikan pembentukan. Semakin tinggi golongan kepangkatannya semakin tinggi pula standar yang harus dilampaui. 

Setelah mengikuti pendidikan pembentukan para prajurit akan tetap perlu berupaya untuk dapat mengikuti pendidikan pengembangan karir demi mendapat kesempatan promosi kenaikan pangkat dan jabatan yang lebih besar. 

Hal ini mendorong lahirnya narasi bahwa mereka adalah individu-individu terpilih yang memiliki keunggulan. Sebagai ilustrasi pada TNI AD dikenal pola jenjang pendidikan pembentukan dan pengembangan karir yang perlu ditempuh untuk dapat menjadi perwira tinggi. Dimulai dari pembentukan perwira muda melalui Akademi Militer (Akmil) atau Sekolah Perwira - Prajurit Karir (Sepa PK), dilanjutkan dengan pendidikan pengembangan kecabangan melalui Kursus Dasar Kecabangan, misal Kursus Dasar Kecabangan Infanteri (Sussarcabif) di Pusat Kesenjataan Infanteri di Bandung bagi mereka yang akan mengenakan baret hijau. 

Menuju pangkat Kapten para perwira muda perlu melewati Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa) dan pada saat Mayor idealnya sudah dapat mengikuti pendidikan pada Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Ini belum termasuk berbagai pendidikan pengembangan keahlian teknis seputar keterampilan militer dan pendidikan singkat terkait persiapan memangku jabatan struktural.

Bekal pendidikan Seskoad dapat dikata cukup dalam menyiapkan para perwira menengah berpangkat Mayor atau Letnan Kolonel untuk kemudian diproyeksikan memegang jabatan komando strategis teritorial ataupun pasukan seperti Komandan Batalyon, Komandan Distrik Militer, Komandan Resort Militer hingga Panglima Daerah Militer atau Panglima Divisi. 

Sederhananya kompetensi lulusan Seskoad cukup untuk dapat berkecimpung sebagai perwira tinggi di lingkungan internal Angkatan Darat. Seusai mengikuti Seskoad maka para perwira menengah dapat mengikuti pendidikan Sesko TNI yang merupakan lembaga pendidikan pengembangan karir yang menyiapkan para perwira untuk dapat memegang jabatan strategis pada lingkup TNI secara terpusat. 

Dengan kata lain perwira lulusan Sesko TNI memiliki kesempatan besar untuk menjadi perwira tinggi di lingkungan Mabes TNI.

Selanjutnya masih ada pendidikan pengembangan karir yang menyiapkan individu-individu terpilih untuk dapat memegang jabatan strategis yang memengaruhi roda pemerintahan hingga lingkup nasional, yakni Lembaga Ketahananan Nasional (Lemhannas). Selain perwira TNI - Polri, para Direktur Jenderal tingkat Kementerian dan bahkan para kepala daerah dan anggota DPR/DPRD juga perlu mengikuti kursus di lembaga ini. 

Para perwira tinggi lulusan Lemhannas dinilai mampu berkiprah di lingkungan yang lebih luas seperti menduduki jabatan eselon I di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam dan lain sebagainya. Bahkan banyak yang diperbantukan di institusi yang tidak berkaitan dengan pertahanan-keamanan. Ini menegaskan bahwa setiap perwira memang diorientasikan pada penekanan leadership dalam rangka  kemampuan mengatasai masalah, mulai dari yang bersifat mikro ketika memimpin satuan hingga makro dalam cakupan nasional yang bersifat non-militer. 

Serangkaian pendidikan tersebut terbukti efektif mencetak individu yang tidak hanya mampu mengelola lembaganya namun juga dapat berkiprah pada tingkat manajerial di lingkungan sipil. Terlepas dari kontroversinya, sejak reformasi sekalipun bahkan hingga hari ini sejumlah pensiunan angkatan bersenjata banyak yang berhasil meraih posisi sebagai kepala daerah melalui pemilihan umum, legislator, duta besar, komisaris perusahaan nasional, hingga terpilih sebagai anggota kabinet.

Ada gap pengetahuan dan pengalaman antara masyarakat sipil dengan individu-individu angkatan bersenjata, kita mengakui adanya alih status dari angkatan bersenjata menuju sipil saat pensiun ataupun saat para perwira 'dikaryakan' di institusi lain, namun sebaliknya alih status sipil ke angkatan bersenjata hanya berlaku pada saat pendidikan pembentukan yang tentu terjadi saat individu masih di usia muda belia dan belum memiliki cukup pengetahuan dan pengalaman untuk memahami esensi perbedaan antara kehidupan sipil dengan kehidupan angkatan bersenjata. 

Sederhananya, para individu angkatan bersenjata lebih memahami seluk-beluk berbagai aspek kehidupan sipil dan tidak sebanding dengan tingkat pemahaman individu sipil yang mencoba memahami seluk beluk kehidupan angkatan bersenjata. Arus informasi yang eksklusif karena kerap berbenturan dengan rahasia negara juga menjadi penghambat bagi masyarakat umum untuk memahami dinamika pengelolaan institusi angkatan bersenjata secara mendalam. 

Oleh karenanya para individu angkatan bersenjata justru terlihat lebih mudah beradaptasi pada perbedaan lingkungan yang dihadapi sehingga mengurusi kehidupan masyarakat sipil tentu bukan di luar kemampuan, sebaliknya individu sipil akan mengalami kesulitan dalam mengurusi dinamika kehidupan pada lingkungan angkatan bersenjata.

Dari sisi kapabilias power institusi angkatan bersenjata, baik itu militer murni, paramiliter ataupun semi-militer, seluruhnya merupakan entitas unik yang memiliki legitimasi atas penerapan hard power secara sangat tradisional melalui penggunaan senjata api. Di Indonesia sendiri TNI-Polri adalah satu-satunya duo lembaga negara yang diperkenankan untuk menggunakan senjata api yang berkonsekuensi pada penghilangan nyawa manusia secara sah. 

Tanpa menghunuskan senjata sekalipun legitimasi unik yang begitu eksklusif ini telah menghasilkan kesan superioritas kekuatan dalam arti yang sangat primitif. Peran tugas angkatan bersenjata yang melibatkan konflik bersenjata diterima oleh masyarakat mainstream yang membenarkan penerapan hard power berupa kekerasan dalam wujud pertempuran terbuka hingga perang antar negara. 

Untuk menguatkan pembenaran penggunaan kekerasan, kita kerap membumbuinya dengan narasi-narasi penuh roman: patriotisme, nasionalisme, kegagahan, loyalitas dan lain sebagainya. Ini tidak hanya menyebabkan individu angkatan bersenjata semakin mantap meresapi doktrin terkait peran, tugas dan fungsinya, melainkan di sisi lain juga mendorong masyarakat sipil seakan membungkuk hormat sebagai pengakuan mana yang lebih patut 'dielu-elukan' dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal bila kembali berorientasi pada supremasi sipil, sejatinya status sipil lebih patut diagungkan mengingat hierarki angkatan bersenjata berada di bawah institusi sipil. Untuk negara berkembang seperti Indonesia dan banyak contoh lainnya, rasa 'minder' dari masyarakat sipil, baik sebagai institusi ataupun individu, secara tidak langsung telah menjadi bentuk pengakuan atas dominasi militer pada kehidupan sipil, meski kini fenomena semacan ini sudah jauh berkurang terutama di kota-kota besar. Namun kita masih sering mengamati bagaimana pemerintah daerah kerap menekankan pentingnya sinergitas tiga lembaga penjaga stabilitas wilayah: TNI, Polri dan Pemda itu sendiri. 

Pada Pemerintahan Daerah Tingkat I terlihat bagaimana Gubernur, Pangdam dan Kapolda saling menjaga kekompakan. Begitu pula pada Pemerintahan Daerah Tingkat II antara Bupati, Dandim dan Kapolres. Ada yang rancu bila kita ingat pada semangat supremasi sipil: siapa memimpin siapa di antara mereka? Tidak ada yang bisa memberi komando pada satu sama lain antara tiga simbol negara tersebut. Memang ini berkaitan dengan Undang-Undang namun setiap hukum adalah cerminan pola pikir dan nilai yang dianut masyarakatnya itu sendiri.

Bila kita melihat negara-negara maju, sebagai contoh Amerika Serikat, pada tingkat kota setiap kota memiliki departemen kepolisian tersendiri semisal New York Police Department dengan Kepala Kepolisian yang bertanggung jawab dan diangkat atau diberhentikan oleh Wali Kota. Lalu pada tingkat State atau umum diterjemahkan sebagia Negara Bagian, setiap State terdapat Tentara Teritorial yang disebut National Guard dengan pimpinan setingkat Pangdam di Indonesia. 

Meski Komandan National Guard bertanggung jawab pada Kepala Staf Angkatan Darat namun hak untuk memobilisasi pasukan ada di tangan Gubernur. Pada tingkat nasional setiap matra pada militer Amerika Serikat memiliki seorang Menteri tersendiri yang secara hierarki berada di atas Kepala Staf. 

Salah satu contohnya terdapat jabatan Secretatry of the Navy atau diterjemahkan sebagai Menteri Angkatan Laut, seorang US Navy Chief of Staff (Kepala Staf Angkatan Laut) yang merupakan individu militer bertanggung jawab pada Secretary of the Navy tersebut yang umumnya seorang sipil murni. Ini merupakan pemahaman atas impelementasi prinsip supremasi sipil yang matang.

Akhir kata, demokrasi yang sehat ditandai dengan pembagian ruang hidup dan ruang tugas yang jelas antara kehidupan sipil dengan angkatan bersenjatanya. Karena bagaimanapun juga sejatinya setiap individu angkatan bersenjata adalah bagian dari lembaga yang dibiayai oleh pajak masyarakat sehingga setiap tugas yang diemban tidak lain merupakan bentuk pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat itu sendiri, masyarakat yang mana? Tentu masyarakat non-angkatan bersenjata atau dengan kata lain masyarakat sipil.

Bandung, 2 Juli 2018

R. Moh. Rizki Luthfiah Aziz, S.H.Int.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun