Mohon tunggu...
Mohammad Rifal Aldifa H
Mohammad Rifal Aldifa H Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, Penulis, Pencerita

Salam kenal! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisanku. I'm more fluent in English than in Bahasa, nonetheless, I hope I could improve my language better and share amazing wonders with you!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebrang Laut, Sebrang Raut

13 Juni 2024   19:26 Diperbarui: 13 Juni 2024   19:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan lupa jenguk ibu ya nak," ucap Ibu yang memelukku sembari menahan air mata. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan Ibu yang begitu hangat. Sepertinya seseorang dapat menjadi dewasa dan bayi di hari yang sama, itulah aku.

Berpergian bukanlah sesuatu yang aku minati, bahkan jika diberi pilihan aku lebih baik mendiam dirumah sendiri. 

Tapi sekarang semua sudah berubah, kamar kesayanganku sudah berhenti melindungiku. Kini, aku dituntut berdiri sendiri di dunia luar yang kejam. "Ibu, Bapak, jaga diri ya."

Aneh ya, aku yang terbiasa terbang dengan pesawat kini menahan isak tangis di kabin pesawat. Kemana perginya anak kecil yang penuh dengan senyum tawa tiap kali ia ingin menaiki pesawat? Sepertinya anak kecil itu sudah tiada.

"Aku baik-baik saja, Ibu, Bapak. Kalian tidak perlu khawatir soal apapun, aku baik-baik saja," ucapku beberapa bulan kemudian lewat telfon.

"Sudah makan, nak?"

"Sudah, Bapak."

Dua hari yang lalu, aku sudah makan, bapak. Untuk makan malam nanti alhamdulillah masih ada sisa kuah mie yang ku simpan dari dua hari lalu dengan nasi sesendok dua sendok. 

Aku belum bisa keluar rumah untuk membeli makanan ataupun bahan masakan. Bukan masalah uang, dan bukan masalah pilih-pilih. Kapan ini semua akan berakhir? Aku takut untuk kemana-mana.

Maafkan aku, Bapak, Ibu. Anakmu kini semakin pintar berbohong disaat kebohongan dikecam oleh kalian berdua. Berdosa? Aku berdusta. Aku paham, aku membuat salah. Tapi bagiku lebih baik aku berbohong dan melihat kalian tersenyum ketimbang jujur tapi bercucur air mata. Maafkan aku, maafkan aku.

"Uang masih cukup, nak?" Masih cukup, Bapak. Di atas meja juga masih ada banyak uang receh dan koin berserakan aku yakin pasti cukup untuk membeli sesuatu. 

Mungkin? Tidak apa, obat sakit kepala sudah siap apabila mendesak. Ini belum seberapa apa yang Bapak dan Ibu perlu korbankan untukku, disini perjuanganku terus berjalan.

Mengeluh? Apa itu mengeluh? Air mata dan tubuh yang berpeluh tidak menjadi pengaruh.

Hujan badai yang menerjang tidak menjadi suatu tantangan.

"Ibu, Bapak, aku lulus," ucapku dengan gembira. Aku berhasil, Ibu, Bapak, aku berhasil. Aku berhasil meraih mimpi. Mungkin tidak setinggi surga ataupun langit, tapi aku harap pencapaianku cukup membuat kalian bahagia.

"Ibu, Bapak, aku pulang. Aku rindu, aku sayang. Aku pulang," ucapku sambil mencium batu nisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun