"Jangan lupa jenguk ibu ya nak," ucap Ibu yang memelukku sembari menahan air mata. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan Ibu yang begitu hangat. Sepertinya seseorang dapat menjadi dewasa dan bayi di hari yang sama, itulah aku.
Berpergian bukanlah sesuatu yang aku minati, bahkan jika diberi pilihan aku lebih baik mendiam dirumah sendiri.Â
Tapi sekarang semua sudah berubah, kamar kesayanganku sudah berhenti melindungiku. Kini, aku dituntut berdiri sendiri di dunia luar yang kejam. "Ibu, Bapak, jaga diri ya."
Aneh ya, aku yang terbiasa terbang dengan pesawat kini menahan isak tangis di kabin pesawat. Kemana perginya anak kecil yang penuh dengan senyum tawa tiap kali ia ingin menaiki pesawat? Sepertinya anak kecil itu sudah tiada.
"Aku baik-baik saja, Ibu, Bapak. Kalian tidak perlu khawatir soal apapun, aku baik-baik saja," ucapku beberapa bulan kemudian lewat telfon.
"Sudah makan, nak?"
"Sudah, Bapak."
Dua hari yang lalu, aku sudah makan, bapak. Untuk makan malam nanti alhamdulillah masih ada sisa kuah mie yang ku simpan dari dua hari lalu dengan nasi sesendok dua sendok.Â
Aku belum bisa keluar rumah untuk membeli makanan ataupun bahan masakan. Bukan masalah uang, dan bukan masalah pilih-pilih. Kapan ini semua akan berakhir? Aku takut untuk kemana-mana.
Maafkan aku, Bapak, Ibu. Anakmu kini semakin pintar berbohong disaat kebohongan dikecam oleh kalian berdua. Berdosa? Aku berdusta. Aku paham, aku membuat salah. Tapi bagiku lebih baik aku berbohong dan melihat kalian tersenyum ketimbang jujur tapi bercucur air mata. Maafkan aku, maafkan aku.
"Uang masih cukup, nak?" Masih cukup, Bapak. Di atas meja juga masih ada banyak uang receh dan koin berserakan aku yakin pasti cukup untuk membeli sesuatu.Â