Pelacur, PSK, gundik dan berbagai macam sebutan yang dilontarkan kepada para penyedia jasa yang menjual tubuhnya kepada para pria hidung belang ini bisa dibilang tak bakal hilang ditelan zaman. Kita yang hidup di negara Indonesia, negara dengan penduduk dengan beragama islam terbesar di dunia, yang tentu menjunjung tinggi nilai moralitas dan menganggap hal seperti prostitusi dan dunia pelacuran ini merupakan suatu hal yang tabu bahkan haram di mata syariat.
Ditambah lagi citra pelacur di mata masyarakat sebagai sampah masyarakat menambah stigma negatif para pekerja seks ini. Kemudian juga pelacur yang sering disangkut pautkan dengan penyebar penyakit kelamin salah satu nya HIV/AIDS, sebuah penyakit menular yang mana sering dikonotasikan karena seks tanpa pengaman, atau seks berganti ganti pasangan.
Tentu saja pelacur lah yang menjadi kambing hitam dari permasalahan tersebut, padahal jika ditinjau bukan murni dari salah mereka, karena mereka hanya penyedia jasa, resiko seharusnya ditanggung oleh pelanggan yang menanggungnya sebagai pengguna yang harus mengerti. Jika ditinjau dari beberapa aspek di atas menggambarkan sangat gamblang mengenai konsep prostitusi yang mana sebagai sarana penyedia pelacur banyak efek negatif nya yang merugikan dan dianggap sebagai pemuas belaka dan suatu hal yang dianggap hal yang tabu. Akan tetapi apakah konsep nya selamanya buruk?
Pelacur merupakan salah satu pekerjaan tertua yang ada di muka bumi, kehadirannya sudah ada sejak dahulu, yang mana setiap perkembangan zaman pekerjaan ini terus masih ada dan tetap eksis. Melihat realita serta sejarah yang ada membuat kita semua bertanya bagaimana prostitusi ini bisa terbentuk? Mengapa selalu wanita yang dikaitkan sebagai pelacur? Apakah prostitusi ini hanya membawa dampak buruk saja tanpa ada dampak negatif? Mari kita kaji dengan pendekatan filsafat ilmu.
Prostitusi pada awalnya di masa dahulu merupakan suatu hal yang berbeda denga napa yang terjadi pada realita Sekarang ini, jika dahulu para wanita dengan berlandaskan agama menjual tubuh mereka kepada para pria dengan imbalan memberi uang kepada kuil merek dimana mereka bernaung.
Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan para manusia terdahulu yang mana mereka memuja dewi kecantikan yang mana mereka percaya dengan mereka mendharma kan tubuh mereka untuk kebaikkan kuil, itu merupakan suatu hal yang baik dan mendapatkan pahala yang tinggi, sehingga mereka tidak ragu untuk “menjual tubuh ” mereka kepada para pria yang sudah memberi sejumlah uang untuk keperluan kuil mereka. Semakin berkembang nya zaman, dengan sudah masuknya ajaran agama terutama agama samawi seperti Islam, Kristen, dan Yahudi maka praktek prostitusi ini yang mana pada awal permulaan nya dilakukan sebagai ibadah kini berubah menjadi suatu hal yang dilarang bahkan suatu yang haram.
Ditambah lagi kini sudah muncul berbagai gerakan feminisme yang mana mereka menuntut untuk menghapus ketimpangan gender, sekaligus menghapus prostitusi karena dianggap sebagai suatu tindakan yang merendahkan wanita serta mendukung adanya perbudakkan. Mereka meyakini bahwa pria dan wanita itu setara sehingga dengan adaya prostitusi ini dianggap menghambat perkembangan wanita sebagai sosok yang independen.
Hal ini pun dianggap sebagai suatu gerakan yang sangat positif bagi beberapa pihak karena dianggap bisa merubah tatanan yang ada pada masyarakat selama ini, tetapi di sisi lain masih banyak yang meyakini bahwa pria dan wanita itu tidak bisa setara, karena pada kodratnya sudah berbeda sehingga fungsinya pun berbeda.
Prostitusi selalu menimbulkan pro dan kontra, bagi pihak kontra alasannya sudah saya paparkan diatas dan faktor apa saja yang mempengaruhikeputusan mereka untuk menolak dunia prostitusi, akan tetapi di sisi lain banyak yang melihat bahwa prostitusi ini tidak dapat dihapuskan, karena selama masih ada lelaki yang haus akan nafsu seksual maka prostitusi akan selalu ada.
Pihak yang mendukung ini alih-alih mereka memaksakan untuk menutup dan menghapus prostitusi dari dunia ini, pihak pro lebih memilih untuk melokalisasi dan melegalisasi prostitusi sebagai suatu hal yang legal, sehingga tidak perlu lagi menjadi suatu hal yang tabu dan illegal.
Hal ini bukan tanpa suatu dasar yang kuat, banyak faktor yang melandasi mengapa prostitusi bukan lagi menjadi suatu yang illegal. Sebagai contoh pada masa kepemimpinan Ali Sadikin atau Bang Ali, yang mana pada saat itu ia menjabat gubernur DKI Jakarta, beliau mengeluarkan suatu keputusan yang mengejutkan untuk melokalisasi dan melegalisasi prostitusi. Hal ini sangat mengejutkan mengingat Indonesia sebagai negara yang minjung tinggi nilai moralitas dan mayoritas penduduknya beraga Islam.