Mohon tunggu...
Mohammad Nuh
Mohammad Nuh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Investasi Kemanusiaan

22 Juni 2015   22:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dikisahkan, ada dua orang anak, adik dan kakak, masing-masing berusia 8 tahun dan 10 tahun. Mereka ditinggal mati sang ayah akibat kecelakaan ketika usia mereka masih 5 tahun dan 7 tahun. Menjelang awal Ramadhan, mereka berdua saling berboncengan naik sepeda pancal menuju makam sang ayah, orang yang hanya sempat memberikan  sentuhan penuh kasih sayang selama 5 tahun dan 7 tahun.

Setelah sampai di tempat pemakaman sang ayah, sepedanya disandarkan di pagar bambu. Sambil mengucapkan salam: Assalamu ‘alaika daarol qoumil mu’minin, fa insya Allah hum lahiqun, Sang kakak menggandeng tangan adiknya menuju pusara ayahnya, yang sebelumnya memang mereka berdua pernah diajak oleh sang ibu untuk berziarah ke makan ayahnya.

Mereka berdua duduk bersila didekat pusara sang ayah sambil membaca surah al- Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas dengan khusyuk. Empat surah itu saja yang mereka baca secara berulang-ulang. Setelah tuntas mereka membaca surah-surah itu,  sang kakak memimpin doa dan adiknya ikut mengamini. Doa yang dibacanya pun seperti lazimnya dibaca orang lain: Rabbighfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ rabbayânî shaghîrâ (Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan kasih sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mengasuh dan mengasihiku sewaktu kecil).

Mereka membaca doa itu berulang-ulang dan ditutup dengan doa: Rabbanââtinâ fiddunyâ hasanah wafil âkhirati hasanah waqinâ ‘adzâbannâr.Dengan mata berbinar-binar, mereka tinggalkan pusara sang ayah, lalu kembali pulang sambil berboncengan menuju rumah yang amat sederhana tempat ibunya sedang menunggu.

Kisah di atas menggambarkan sang ayah termasuk orang yang berhasil melakukan investasi kemanusiaan. Meskipun hanya sempat berinvestasi selama 5 tahun dan 7 tahun, dia telah menerima buah dari investasi yang pernah dia lakukan. Sang ayah sungguh beruntung, sebab Rasulullah saw. menegaskan: Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Lalu dia berkata, "Wahai Tuhan! Bagaimana aku bisa mendapatkan ini?" Allah berkata, "Karena permohonan ampun anakmu untukmu." (HR Ahmad dan at-Thabrani).

Bagaimana dengan kita semua? Betapa malunya kita, meskipun orang tua kita telah menghantarkan kita sampai kita lulus perguruan tinggi, bahkan sampai kita berkeluarga, ternyata kita masih terlalu sering membuat jengkel hati kedua orang tua kita. Kita masih belum mampu sepenuhnya membahagiakan kedua orang tua kita. Rasanya malu kepada dua orang anak tadi, mereka tentu belum pernah menyakiti, membuat jengkel kedua orang tuanya. Kalau toh pernah, itu nakalnya anak kecil, yang justru membuat sang ayah dan ibunya gemas dan membelainya dengan penuh kasih sayang.

Anak saleh adalah salah satu dari tiga hal yang disebutkan Rasulullah sebagai amal yang tak kunjung putus walau kita sudah tutup usia: “Jika manusia meninggal dunia, amalnya akan terputus kecuali dari tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Anak saleh dalam konteks ini bisa kita perluas maknanya dengan generasi yang saleh—Ibâdun shâlihun, manusia yang berpengetahuan luas, berketerampilan tinggi, dan berkepribadian luhur.[1] Bukan sebatas anak kandung, tapi juga anak didik dan seluruh generasi penerus bangsa ini. Apa pun profesi kita, kita sepatutnya berkontribusi dan berinvestasi untuk terbentuknya generasi yang saleh, baik dengan  sedekah jariah (membangun sekolah, rumah sakit, pusat unggulan, dan sebagainya) maupun dengan ilmu yang bermanfaat (menebarkan ilmu pengetahuan, menulis buku, menemukan metodologi terbaru, dan sebagainya).

Dengan begitu, mata rantai kebaikan itu terus lestari, dan lestari pula pahala yang kita dapatkan meski fisik kita sudah dimakamkan. Itulah lisânu shidqin dalam doa Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan dalam Al-Quran: Tuhanku! Anugerahkanlah kearifan dan masukkanlah aku dalam golongan orang-orang saleh. Jadikanlah aku sebagai buah tutur yang baik [lisânu shidqin] bagi orang-orang sepeninggalku (al-Syu’arâ: 83-84). Itulah jejak-jejak kebaikan yang menjadi kenangan indah bagi generasi sepeninggal kita. Selaras dengan pepatah: harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, orang mati meninggalkan warisan ilmu dan amal saleh.

Percayalah, apa saja kebaikan yang pernah kita lepaskan merupakan investasi, dan pada saatnya insya-Allah kita akan memetik buah investasi itu, selama mereka tidak merusaknya sendiri dengan cara menyebut-nyebut, riya, mengungkit-ungkit, dan menyakitkan hati si penerima investasi (al-Baqarah: 264).

 

[1] Beberapa ayat Al-Qur’an antara lain menyebutkan: Bahwa bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh (QS. al-Anbiyâ [21]: 105). Pada ayat lain: Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa (an-Nûr [24]: 55).

*Tulisan ini dicuplik dari buku saya "Menyemai Kreator Peradaban". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun