SIANG itu, seusai sosialisasi Kurikulum 2013, kami mampir di sebuahwarung ayam panggang Nayamul (Lumayan) di tengah perkampungan sawah pinggiran kota Surabaya. Kursi makan selalusaja penuh. Satu kelompok beranjak pergi, sekelompok yang lain datang.
Di tengah lalu lalang pramusaji melayani pelanggan, seorang anak mudaberkaos oblong tampak antusias membantu. Bulir keringat tampak menyatu dengansenyumnya yang renyah. Tiba-tiba ibu sang pemilik warung menepuk bahu sang anakmuda dan berkata pada kami,”Pak, ini anak saya yang selalu bantu saya di sini.”“Dia juga beternak sapi. Lumayan, Pak, sekarang sudah ada 30-an sapi,”lanjutnya dengan air muka bangga dan sayang kepada putranya itu.
Selesai makan, kami pun penasaran melihat langsung area peternakan sapitersebut. Ternyata bukan sembarangan peternakan. Besar dan luas. Sebagian sapipotong, sebagian lagi sapi perah. Setelah membersihkan kotoran di kandang itudan sambil memberi makan salah satu sapinya, anak muda itu bercerita fasihbagaimana proses mencari aneka sapi dan merawatnya. “Sapi jenis ini,” tukasnyasambil menunjuk ke yang paling gagah dan gemuk,”langka. Saya sempat kelilingJawa Timur untuk mendapatkan yang benar-benar bagus. Ini sekarang ditawar 40juta rupiah oleh pembeli.”
Kami pun kagum atas kecekatan dan ketekunan anak muda ini di tengahkian berkurangnya generasi petani dan peternak di negeri ini. Tentu saja kami ingintahu bagaimana nasib pendidikannya. “Saya mahasiswa semester dua di Unnesa(Universitas Negeri Surabaya), Pak!”. Sontak, pak rektornya – Prof.Dr.MukhlasSamani – yang kebetulan ikut rombongan kami, beranjak menyalaminya dan menepukpundak anak itu bangga. “Berapa IPK-mu?” tanya Pak Rektor. “3,1, Pak!” jawabnyaenteng. Kami pun menyarankan agar kotoran-kotoran sapi itu diolah menjadibiogas.
Kita merindukan sosok pemuda seperti mahasiswa ini. Selain rajinmembantu oragtua dan tekun belajar, dia mengisi waktunya dengan kerja kerassebagai pengusaha muda. Lebih-lebih, sampai Februari 2013, penggangguranlulusan universitas mencapai 360 ribu orang. Sekitar 5,04 persen dari totalpengangguran yang mencapai 7,17 juta orang (BPS:2013). Dia tak perlu nunggululus, ia menjadi generasi yang disebut-sebut Al-Quran, Tak Menyia-nyiakan kesempatan (al-Jum’ah:10).
Bertemu dengan mahasiswa itu sejatinya kita mendapatkan sebuah pesan:perhatikan nasib generasi muda. Sebab, pemuda adalah masa depan keluarga,masarakat dan bangsa, karena mereka memegang peran kunci dalam alih generasi,angkatan kerja, serta tulang punggung ekonomi bagi sebuah sitem yang menerapkanjaminan kehidupan untuk generasi tua melalui dana pensiun.
Ditengarai, para pengangguran itu karena mereka tidak memilikikompetensi dan ketrampilan yang dibutuhkan dunia kerja. Ijazah saja tidakcukup. Perubahan dunia kerja sangat dinamis. Tugas kita semua – orangtua, guru,pengusaha, dan pemerintah – untuk berkontribusi agar menyiapkan anak-anak kitamampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Bangsa yang besar harus memastianbahwa generasi mudanya mampu menjawab tantangan zaman, selain juga mampu meneruskandan melebihi capaian-capaian generasi sebelumnya.
Menarik sekali menyimak hasil penelitian sejarawan muslim klasik IbnuKhaldun. Menurutnya, dalam 100 tahun perjalanan suatu bangsa akan lahir empatmodel pemuda. Pertama, generasipendobrak. Mereka berani melakukan perubahan secara mendasar. Kedua, generasi pembangun. Dengan segala kesederhanaandan solitadaritas yang tulus tunduk di bawah ototiras kekuasan yangdidukungnya, bekerja secara bersistem, memiliki rencana dan target yangterukur.
Ketiga, generasipenikmat. Karena dituntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistemkekuasan, mereka tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Merekaberpikir bagaimana menikmati daripada bekerja untuk membangun. Keempat,generasi masa bodoh. Mereka tidak lagimemiliki hubungan emosial dengan negara. Mereka melakukan apa saja yang merekasuka tanpa memedulikan nasib negara (Mubarok, 2009).
Di Indonesia, belum mencapai 100 tahun, generasi ketiga dan keempatsudah muncul. Lihat kasus mega KKN, kerusuhan sosial, generasi hedonis, dll.
Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga dan keempat ini,kata Ibnu Khaldun, keruntuhan negara sudah di ambang pintu. Suatu peradabandapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa danmasyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah.Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensimoral.