Mohon tunggu...
Mohammad Juanda
Mohammad Juanda Mohon Tunggu... -

Staf LBH Progresif Kabupaten Tolitoli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Surat Luar Biasa untuk Presiden RI

20 Februari 2014   07:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menggugat Penerapan UU Nomor 16 Tahun 2011

Hadirnya UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum adalah angin segar sebagai kekuatan publik, terutama masyarakat miskin di Indonesia dalam mengurusi perkara-perkaranya, baik pada konteks keperdataan maupun pidana, bahkan pada perkara tata usaha negara. Lahirnya UU ini makin mempertegas legitimasi UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” dan Pasal 27 Ayat (1) “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Histori dilahirkannya UU Nomor 16 Tahun 2011 yang diundangkan pada 31 Oktober 2011, tidak terlepas sebagai perwujudan hak setiap orang dalam mendapatkan peradilan yang adil dengan tidak memihak. Pada konteks masyarakat miskin, sudah menjadi kewajiban Negara untuk mewadahi pendampingan hukum prodeo (gratis).

Sebelum disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2011, telah ada regulasi yang mengatur prasyarat dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Aturan tersebut termaktub dalam PP Nomor 83 Tahun 2008. Namun, banyak kalangan menilai, aturan tersebut belum dianggap tegas dan tepat.

Pos anggaran pembiayaan perkara pendampingan subjek hukum yang dititik beratkan pada masyarakat miskin merujuk pada PP Nomor 83 Tahun 2008 dititipkan pada institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Konsep ini juga dianggap belum efektif, karena masih banyaknya prosentase masyarakat miskin yang haknya belum terakomodir.

Pada pasal 22 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga mengurai bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Namun, masih saja terdapat advokat yang justeru mengesampingkan pendampingan hukum bagi masyarakat miskin. Pendekar hukum yang satu ini justeru lebih memilih mendampingi subjek hukum dengan perkara bernilai profit.

Pada kondisi seperti ini, tidak sepenuhnya kita melempar kesalahan dan kekesalan terhadap para advokat yang menolak mendamping perkara masyarakat miskin. Sebab, mereka juga butuh makan dan menghidupi sanak keluarganya, sehingga diperlukan mendampingi perkara profit dalam proses peradilan (litigasi) maupun (non litigasi).

Olehnya, titik pijak persoalan ini harus kembali pada Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 sebagai pondasi konstitusi negara hukum Indonesia. Negara harus konsisten mengurusi hak masyarakat miskin terutama pemenuhan hak mendapatkan bantuan hukum secara gratis.

UU Nomor 16 Tahun 2011 mengisyaratkan bahwa pendanaan bantuan hukum masyarakat miskin teranggarkan melalui APBN. Dana ini dikelola langsung oleh Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham), kemudian dialokasikan kepada Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terdaftar di Kemenkumham.

Semangat lahirnya OBH di setiap daerah yang ada di Indonesia adalah bentuk konsistensi pendampingan hukum terhadap masyarakat miskin yang oleh konstitusi memiliki hak mendapatkan keadilan, di manapun, dan kapanpun serta tidak diskriminatif yang dilakukan secara swadaya.

Fakta-fakta ”inkonsistensi” UU Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum :

1.Negara melalui Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) setengah hati menjalankan program bantuan hukum yang pendanaannya melalui APBN :

a.Berbelit-belitnya birokrasi dan mekanisme pengurusan dana bantuan hukum di Kemenkumham;

b.Pengucuran anggaran bantuan hukum, hanya dikhususkan pada OBH yang terdaftar di Kemenkumham;

c.Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk membiayai perkasus perkara, umumnya pada kasus perdata;

2.Pengolaan anggaran bantuan hukum yang dikelola oleh Kemenkumham tidak subtantif, atau hanya sebagai alas program saja, dalam kata lain hanya untuk menghabiskan anggaran semata;

3.Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terdaftar di Kemenkumham ditengarai hanya dijadikan alat untuk memuluskan pencairan anggaran program bantuan hukum;

4.Rentan dijadikan wadah korupsi staf-staf Kemenkumham;

·OBH yang akan bekerjasama dengan Kemenkumham terkait pengelolaan anggaran bantuan hukum diharuskan membayar biaya administrasi sebesar Rp2.000.000.

Penulis adalah Staf LBH Progresif

Kabupaten Tolitoli

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun