Jumat pagi. Matahari memeluk seisi bumi dengan cahayanya yang mulai terasa suam-suam kuku. Burung-burung saling bersahut kicau dari ujung ranting pohon jinjing yang bergoyang ditiup angin. Tak lama berselang, dari ujung jalan yang menuju tanah pemakaman sayup terdengar suara tasbih, tahmid dan tahlil. Lalu terlihat barisan orang berjalan tak cepat tapi juga tak lambat.
Enam orang di barisan terdepan terlihat memanggul dengan ringan sebuah kurung batang. Burung-burung yang semula ramai bersahut kicau, sekonyong-konyong sunyi, seperti mengheningkan cipta. Seolah berbagi bela sungkawa dengan wajah-wajah syahdu dalam barisan yang melafalkan tasbih, tahmid dan tahlil. "Orang baik itu telah pergi", gumam seseorang yang menunggu di tanah pekuburan yang baru selesai digali.
Seseorang itu tak lain adalah laki-laki yang selepas sholat subuh kerap ngobrol dengan Ustadz Abdullah, seorang alim yang saat ini jenazahnya tengah diantar ke tempat peristirahatannya. Di antara wajah sendunya laki-laki itu sekali lagi bergumam, persis seperti yang pernah ditulis Cak Rusdi Mathari,
"Kematian hanyalah soal waktu, wajah dingin siapa yang akan lebih dulu dilihat dan dipandangi orang banyak."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H