"Jangan resign dulu, sebelum benar-benar jelas jalan yang bakal lo ambil! Jangan main-main, lo udah punya buntut sekarang." Begitu Abang saya menasihati yang saya jawab dengan santai dan keyakinan level sufi, "Insya Allah, mereka ada jalan rejekinya sendiri."
Yang paling terasa menghunjam dan terlambat saya renungi justru nasihat dari tetangga sekaligus guru ngaji saya, waktu itu saya memang tak sanggup menjawabnya, "Bersabar dari takdir Allah berupa pekerjaan yang saat ini sampeyan jalani itu juga bagian dari bersyukur, Pak Iwan, pikirkanlah. Bukankah setiap yang berlaku atas kita tak luput dari ketetapan-Nya?"
Lama saya berpikir, mencoba meraba lagi keteguhan hati saya, benarkah keputusan untuk berhenti bekerja dan memilih berwira usaha itu demi kebaikan keluarga? Ataukah hanya obsesi saya semata karena jenuh dengan rutinitas dan ingin mencoba pekerjaan yang bisa memanjakan passion saya?
Yang kita sudah sama-sama tahu adalah bahwa kemampuan, keuletan dan bakat setiap orang berbeda satu sama lain. Ada baiknya kita berpikir lebih jauh sebelum kita tergoda untuk mengubah arah perjalanan kita. Jalan sukses orang lain belum tentu mampu kita lewati dengan mudah, bisa jadi, kita malah terjungkal dan tak sanggup melalui jalan itu. Dan akhirnya kita harus mengulang lagi arah perjalanan kita dengan beban yang semakin bertambah.
Jika akhirnya saya memilih bekerja lagi, memilih jadi orang gajian lagi, bukan semata pengaruh dari kata-kata Wiji Tukul yang terkesan sederhana namun cukup menggoda, "Besok pagi kita ke pabrik, kembali kerja, sarapan nasi bungkus, ngutang seperti biasa", bukaan. Tapi karena saya tak sanggup lagi membohongi tuan puteri kesayangan saya di setiap akhir bulan, kenapa saya enggak mengambil gaji di Alfamart. Ituh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H