Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

20.15

31 Desember 2016   05:57 Diperbarui: 31 Desember 2016   06:39 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : renacheneveryday.blogspot.co.id

Sabtu, 20.15 

Aku menatapmu, dengan sekuntum rindu yang masih tersisa. Embusan angin malam merayap lamban di antara temaram lampu pelataran Monas. Matamu penuh harap, sehabis kalimat yang membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat itu kau ucap.

Sabtu, 19.00

Telah lebih lima tahun sejak kau memutuskan untuk menikah dan meninggalkanku, kita tak bertemu. Tak ada pesan kuterima, apalagi suara sapamu terdengar di ponselku. Jujur, sejak saat itu, tak seharipun bayangmu luput dari benakku. Lima tahun berlalu, alih-alih memikirkan Nuri, calon istriku. Aku kerap larut dalam kenangan bersamamu sejenak sebelum terlelap.

Tiba-tiba sore tadi kau menghubungiku, menungguku di Monas. Aku bimbang. Menemuimu atau mengabaikanmu, seperti kau mengabaikan keperihan hatiku dan memutuskan mengisi hidup bersama lelakimu. Tapi aku rindu. Rindu renyah tawamu, rindu tatap sendumu, rindu gelayut manjamu. Puas kamu? Membuatku terpojok begini. Kamu membuatku seperti kucing dungu di antara dua ikan montok dan garing yang aromanya membuat ketar ketir, membuat akal sehat melipir.

Haruskah kulukai hati putih Nuri? Apa bedanya aku denganmu jika begitu. Menanam asa lalu mencabutnya dengan kasar meski asa itu tengah menanti buahnya. Tapi aku rindu. Aku memang teramat mencintaimu. Tak pernah berubah, meski luka yang kau toreh terkadang masih terasa perih.

Aku memutuskan menemuimu, membatalkan janji makan malam bersama Nuri dan keluarganya. Nuri pasti kecewa, sangat kecewa. Apalagi jika Nuri tau aku menemuimu, aku tak peduli. Rindu ini seperti bisul yang tak lama lagi pecah. Terlalu sakit jika kubiarkan mengendap di dada. Aku memang bajingan. Pendamba cinta sejati yang mungkin sudah basi.

Kuputar lagi lagu kita, lagu yang selalu mengingatkanku padamu. Sekedar menemaniku menembus temaram lampu jalan ibukota. Membayangkanmu menggelayut manja di dadaku dan menyanyikan 'entah', seperti lima tahun lalu. Saat kau ungkap rasa yang membuatku berbunga sekaligus nelangsa. Karena kamu mengatakan sayang bersamaan dengan pengakuan bahwa kamu sudah dilamar orang.

Aku menghampirimu, di sebuah bangku panjang yang berada persis di bawah lampu taman yang cahayanya tampak muram. Semuram wajahmu malam ini, ada gelisah yang kutangkap dari tatap sendumu. Kau pun bercerita, kata demi kata mengalir dari bibir indahmu.

"Aku tak pernah menikah, Lang. Aku bahkan tak pernah mengenal laki-laki lain. Aku mencintaimu. Sampai hari ini. Aku berbohong waktu itu, agar kau melupakanku. Ada jurang yang sangat dalam yang memisahkan kita. Kita beda Lang. Tapi sekarang, jurang itu tak lagi ada. Aku telah bersyahadat beberapa bulan lalu. Aku berharap masih ada tempat di hatimu untukku."

Sabtu, 20.15

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun