[caption caption="Ilustrasi : privatebundas.blogspot.co.id"][/caption]
Saya pernah membaca sebuah kisah tentang seorang petani yang shalih, dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
“Ketika ada seorang sedang berjalan di sebuah padang yang luas tak berair dan sunyi, tiba-tiba dia mendengar suara dari awan, ‘Siramilah kebun si fulan!’ maka awan itu menepi (menjauh) lalu menumpahkankan airnya di tanah dengan bebatuan hitam. Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi dengan air. Maka ia menelusuri (mengikuti) jalannya air tersebut. Ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berada di kebunnya, dia sedang mengalirkan air dengan menggunakan cangkulnya. Kemudian dia bertanya, ‘Wahai hamba Alloh, siapakah nama anda?’ dia menjawab, ‘Fulan.’ Sebuah nama yang didengar dari suara di awan tadi. Kemudian orang itu balik bertanya, ‘Mengapa anda menanyakan namaku?’ dia menjawab, ‘Saya mendengar suara dari awan yang ini adalah airnya, mengatakan ‘Siramilah kebun si fulan!’ yaitu nama anda. Maka apakah yang telah anda kerjakan?.’ Dia menjawab, ‘Karena anda telah mengatakan hal ini maka akan saya ceritakan bahwa saya memperhitungkan (membagi) apa yang dihasilkan oleh kebun ini; sepertiganya saya sedekahkan; sepertiganya lagi saya makan bersama keluarga dan sepertiganya lagi saya kembalikan lagi ke kebun (untuk ditanam kembali).”
--------------------------
Begitu banyak insan-insan sederhana yang tak terkenal di bumi, namun menjadi buah bibir di langit karena ketulusan dan keindahan nuraninya. Demi Tuhan, tak layak bagi kita merasa lebih soleh dari siapapun, dari seorang ahli maksiat sekalipun.
Sungguh tak pantas kita meremahkan petani sederhana yang berjalan memikul cangkul selepas subuh, dan tak cukup alasan bagi kita untuk merasa lebih baik dari seorang pekerja kasar yang tubuhnya apek berkeringat, padahal tetesan keringat itu yang setiap hari meluruhkan dosa-dosanya.
Lalu, siapa yang buih sebenarnya? Kita yang menguasai berbagai jenis ilmu tapi nurani semakin bebal? atau mereka yang mengamalkan sedikit ilmu dengan nuraninya, dengan sikap hidupnya, kemudian berharap ridho-Nya, dengan segala keterbatasannya?
Dan cerita seorang teman semalam, tentang sikap hidup seorang pengusaha es krim lagi-lagi membuka hati saya. Insan-insan langit itu memang ada.
Pak Ahmad, begitu orang-orang biasa memanggilnya. Usianya sudah lebih dari 50 tahun. 4 orang anaknya, semuanya telah berkeluarga.
Dua puluh tahun lalu, pak Ahmad hanyalah seorang penjual eskrim keliling, berkat kegigihan, ketekunan, kejujuran serta doa tulusnya yang senantiasa ia panjatkan. Sepuluh tahun kemudian ia tak lagi lagi keliling. Permintaan eskrim untuk resepsi pernikahan dan semacamnya membuatnya tak lagi sempat keliling, bahkan sekarang ia harus mempekerjakan 30 orang karyawan, untuk memproduksi eskrim.
Setiap sabtu dan minggu, beberapa angkot terparkir di jalan raya yang tak jauh dari rumah sekaligus pabrik eskrim milik pak Ahmad. Bukan, itu bukan angkot pak Ahmad, tapi angkot yang dicarter untuk mengantar pesanan eskrim ke tempat-tempat acara. Seorang kerabat pernah bertanya, mengapa pak Ahmad tak membeli mobil saja untuk mengantarkan eskrim-eskrim itu? Sehingga tak harus mencarter angkot.
Jawabannya sama, seperti saat ia ditanya mengapa ia tak membeli garam, gula, batu es, dan bahan pokok untuk pembuatan eskrim langsung ke pabriknya. Dengan jumlah pesanan yang besar tentunya harga dari pabrik jauh lebih murah, pak Ahmad bisa memperkecil biaya produksi, laba usahanya bisa meningkat dengan signifikan. Tapi nyatanya pak Ahmad tetap memesan bahan baku eskrim tersebut pada orang yang sama sejak ia merintis usahanya dua puluh tahun lalu. Tukang garam keliling yang sama, tukang gula yang sama, tukang es batu yang sama.
"Biar untung sedikit tapi insya Allah berkah, karena usaha saya juga bisa membantu teman-teman pedagang yang lain. Bisa membantu sopir-sopir angkot yang sekarang ini sulit sekali mencari penumpang meski hanya untuk menutup setoran. Dengan begitu, keberlangsungan usaha ini tetap ada dalam doa-doa mereka. Sesuatu yang mungkin tidak saya dapatkan kalau saya memesan kepada pabrik dan membeli mobil sendiri untuk mengangkut pesanan.
Lebih dari itu, kami sekarang seperti saudara. Hubungan saya dengan mereka bukan sekadar hubungan jual beli, tapi telah terikat begitu saja menjadi sebuah keluarga yang saling membantu bila ada yang kesulitan."
Saya terkesima dengan jawaban pak Ahmad. Jawaban yang dituturkan kawan saya malam tadi.
Saya teringat Lukman, laki-laki biasa yang namanya mengabadi di dalam Alquran karena nasihat-nasihat indahnya kepada anak-anaknya. Dan tadi malam, spirit Lukman terejawantah pada sikap hidup seorang haji, yang lebih suka dipanggil pak Ahmad, tanpa embel-embel haji di depan namanya seperti kebanyakan orang. Pak Ahmad memang beda, ia seperti oase, ia seperti mata air penyejuk dahaga di tengah kegersangan sikap materialistis kebanyakan orang. Sesungguhnya orang seperti pak Ahmad, satu dari sekian sedikit manusia yang menjaga kehidupan ini tetap harmonis, satu dari sekian sedikit orang yang tetap peduli pada orang lain di tengah sikap hidup yang kian apatis. Satu dari sekian sedikit orang yang tetap sederhana di tengah hidup yang semakin hedonis.
Dengan ilmu agamanya yang tak seberapa, aplikasinya atas hakikat agama sungguh melampaui orang-orang yang mentasbihkan diri sebagai ahli agama.
Bogor 13122016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H