Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eskrim Pak Ahmad dan Sebuah Pelajaran tentang Hidup

13 Desember 2016   11:18 Diperbarui: 13 Desember 2016   14:18 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jawabannya sama, seperti saat ia ditanya mengapa ia tak membeli garam, gula, batu es, dan bahan pokok untuk pembuatan eskrim langsung ke pabriknya. Dengan jumlah pesanan yang besar tentunya harga dari pabrik jauh lebih murah, pak Ahmad bisa memperkecil biaya produksi, laba usahanya bisa meningkat dengan signifikan. Tapi nyatanya pak Ahmad tetap memesan bahan baku eskrim tersebut pada orang yang sama sejak ia merintis usahanya dua puluh tahun lalu. Tukang garam keliling yang sama, tukang gula yang sama, tukang es batu yang sama.

"Biar untung sedikit tapi insya Allah berkah, karena usaha saya juga bisa membantu teman-teman pedagang yang lain. Bisa membantu sopir-sopir angkot yang sekarang ini sulit sekali mencari penumpang meski hanya untuk menutup setoran. Dengan begitu, keberlangsungan usaha ini tetap ada dalam doa-doa mereka. Sesuatu yang mungkin tidak saya dapatkan kalau saya memesan kepada pabrik dan membeli mobil sendiri untuk mengangkut pesanan.
Lebih dari itu, kami sekarang seperti saudara. Hubungan saya dengan mereka bukan sekadar hubungan jual beli, tapi telah terikat begitu saja menjadi sebuah keluarga yang saling membantu bila ada yang kesulitan."

Saya terkesima dengan jawaban pak Ahmad. Jawaban yang dituturkan kawan saya malam tadi.

Saya teringat Lukman, laki-laki biasa yang namanya mengabadi di dalam Alquran karena nasihat-nasihat indahnya kepada anak-anaknya. Dan tadi malam, spirit Lukman terejawantah pada sikap hidup seorang haji, yang lebih suka dipanggil pak Ahmad, tanpa embel-embel haji di depan namanya seperti kebanyakan orang. Pak Ahmad memang beda, ia seperti oase, ia seperti mata air penyejuk dahaga di tengah kegersangan sikap materialistis kebanyakan orang. Sesungguhnya orang seperti pak Ahmad, satu dari sekian sedikit manusia yang menjaga kehidupan ini tetap harmonis, satu dari sekian sedikit orang yang tetap peduli pada orang lain di tengah sikap hidup yang kian apatis. Satu dari sekian sedikit orang yang tetap sederhana di tengah hidup yang semakin hedonis.

Dengan ilmu agamanya yang tak seberapa, aplikasinya atas hakikat agama sungguh melampaui orang-orang yang mentasbihkan diri sebagai ahli agama.

 

Bogor 13122016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun