Serupiah pun akan saya urus kalau pungli!
Pernyataan perang Presiden Jokowi terhadap pungli itu ditulis Kompas.com untuk judul sebuah berita pada selasa 18 oktober 2016. Kalimat itu akan terdengar biasa saja kalau yang mengucapkan Mang Saman, security di perumahan saya. Lha ini Pak Jokowi, bung.
Pemimpin yang aksi-aksinya bikin oknum-oknum kotor jantungan.
Bagaimana gak jantungan, gak ada angin gak ada hujan, tau-tau beliau sudah ada di depan kantor atau instansi yang dicurigai tidak beres. Oknum-oknum kotor itu jelas gak siap, kaget dan gak bisa ngeles, cuma bisa pasrah. Persis kaya wanita yang kedatangan tamu bulanan 15 menit sebelum adzan maghrib berkumandang di bulan ramadhan.
Dengan membentuk tim Sapu Bersih Pungli yang dikomandoi Pak Wiranto, Pak Jokowi terlihat gak main-main. Sebodo amat meski orang-orang bilang; Presiden kok ngurus yang kecil-kecil.
Demi memberi kesan ilmiah pada tulisan ini, apa boleh buat Saya harus mencari definisi pungli di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut kbbi.web.id pungli itu akronim dari pungutan liar, 'me-mungli artinya meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim.
Yang menarik definisi pungli menurut wikipedia, Pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli dipungut oleh pejabat atau aparat. Walaupun pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia.
Coba perhatikan poin terakhirnya, luar biasa kan negeri kita.
Belum lama di Indonesia Lawyer Club, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Yang menjadi nara sumber, menceritakan aksi-aksinya ketika mencak-mencak di jembatan timbangan. Beliau mengatakan betapa pungli ini sudah sangat meresahkan masyarakat. Eetdah dari dulu kali Pak! Cuma jelata seperti kami bisa apa?
Saya jadi teringat lirik lagu Iwan Fals,
"Di depan ada polantas wajahnya begitu buas, tangkap aku. Tawar menawar harga pas, tancap gas."
Lagu om Iwan itu ditulis sudah lebih dari dua puluh tahun, dan wajah per-pungli-an hari ini ternyata belum juga berubah. Gak seperti wajah-wajah kita yang visioner, wajah yang melampaui zaman alias cepet tua.
Ternyata bukan cuma Om Iwan Fals yang pernah jadi korban pungli, beberapa waktu lalu Kapolda Sumsel Irjen Pol Djoko Prastowo pun kena tilang dan nyaris di-pungli anak buahnya sendiri (boleh kan saya ketawa sebentar? haha). Usut punya usut, gak taunya Sang Kapolda memang sengaja menyamar untuk mengetahui praktik Pungli di kesatuannya.
Saya mau cerita. Dulu, saat Sim saya masih yang lama, belum diperpanjang gak terhitung jumlah lubang bekas steples Pak Polantas yang luar biasa gedenya itu. Pak Polantas saat menangkap saya jika kedapatan melanggar, suka iseng menerawang Sim saya, sejurus kemudian geleng-geleng. Saya cuma nyengir. Biasanya berujung dengan ditukarnya Sim saya dengan sehelai kertas berwarna merah. Hah? Kupon doorprize? Surat tilang, paul!
Sangking seringnya kena tilang saya sampai hapal alamat pengadilan negeri di Jakarta, hebat kan? Coba kalo sengaja menghapal untuk menjawab soal ulangan di sekolah misalnya, dijamin saya bakal begadang untuk bisa menghapal 5 lokasi pengadilan negeri di Jakarta, itu pun harus dibantu contekan yang ditulis di telapak tangan.
Sekarang sih alhamdulillah, sim saya udah baru, udah diperpanjang, dan udah berlubang juga.
Ngomongin pungli, saya yang pantang negosiasi -bukan saya anti suap tapi emang duit cekak- pernah dicegat Petugas di perempatan Pasar Rebo Jakarta Timur gegara -gak sengaja- menerobos lampu merah. Beneran saya gak sengaja, waktu itu saya lihat lampu masih kuning. Di depan saya lihat ada seseorang berpostur tinggi besar dan berseragam menghadapkan telapak tangan ke arah saya, tangan satunya pegang pentungan. Saya nyerah.
Setelah menyapa, Petugas menanyakan dan meminta kelengkapan surat-surat saya. Saya kasih. Terus saya disuruh menunggu di Pos Pol. Beberapa kejap kemudian Petugas itu menghampiri,"gimana nih mas mo ditilang apa mau titip?"
(jiaah nitip.. emang kondangan nitip)
"tilang aja Pak!" tantang saya.
"Beneran? ribet lho ngurusnya." sarannya.
"Gak papa Pak, saya gak ada duit buat nitip" jawab saya selow, dah biasa cooy.
"Maasaa? sampeyan gak ada tampang kere mas, jangan boong! dah nitip aja biar cepet nih saya masih tugas!" katanya setengah maksa.
Saya sempat hampir terpengaruh juga gegara dibilang gak ada tampang kere. Tapi saya cepat menguasai keadaan lalu menjawab santai,"laah emang saya gak ada duit pak!"
"YA UDAH BELI DJI SAM SOE SEBUNGKUS AJA SANA!" Perintahnya kesal.
Sumpah saya pengen ketawa sambil joget-joget cuma saya takut digetok pake pentungan, akhirnya saya ngeloyor ke tukang rokok. Saya yakin beliau gak pegang surat tilang, bisa aja sih saya kerjain sekalian, cuma saya takut kualat.
Makanya saya kepengen usul sama Pak Presiden. Urusan tilang menilang ini biarlah berjalan sebagaimana biasanya, kalo pungli-pungli yang lain bolehlah disikat sebersih-bersihnya.
Tolonglah Pak! Ini bukan semata soal pungli. Ini semacam tradisi yang manis agar kami bisa berbincang dengan petugas layaknya teman lama. lebih dari itu, ini tentang seni bernegosiasi..
Dan Kelak, jika pungli memang jadi disikat habis. Rasanya pungli tak ubahnya cerita konyol saat SMA, banyak yang membenci namun gak sedikit yang merindukan. Kamu termasuk yang mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H