Islam sebagai agama dengan miliaran pengikut di seluruh dunia, menawarkan ajaran yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan antara gender. Dalam teks-teks dasar Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis, terdapat sejumlah petunjuk yang menunjukkan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Namun, penerapan prinsip tersebut dalam konteks sosial dan budaya sering kali menjadi subjek perdebatan. Dalam esai ini, akan saya bahas bagaimana Islam memandang gender, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasi kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim kontemporer. Pendekatan ini dikaji dengan mengutip berbagai kutipan yang mana hasil dari penelitian  yang telah dilakukan dalam bidang kajian Islam dan gender.
Pada dasarnya, ajaran Islam dalam Al-Qur'an mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai makhluk yang setara dalam hak dan kewajiban spiritual. Seperti yang tercantum dalam surah Al-Hujurat (49:13), "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." Ayat ini menunjukkan bahwa penilaian Allah terhadap umat-Nya tidak didasarkan pada jenis kelamin, melainkan pada ketakwaan. Selain itu, ajaran-ajaran Hadis juga menyebutkan pentingnya peran perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam konteks ibadah. Misalnya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Siapa yang memiliki dua anak perempuan dan mendidiknya dengan baik, maka ia akan masuk surga." Namun, meskipun terdapat dasar kesetaraan yang kuat dalam teks-teks agama, berbagai penelitian menunjukkan bahwa interpretasi terhadap teks-teks tersebut sering dipengaruhi oleh norma sosial yang lebih konservatif.
Dalam bidang Islam dan gender menunjukkan bahwa banyak penafsiran terhadap teks-teks Islam yang memperlihatkan ketimpangan gender dalam praktik sosial. Menurut Amina Wadud, seorang cendekiawan Muslim feminis, tafsir Al-Qur'an yang dominan selama ini sering kali mencerminkan pandangan patriarkal, yang memperkuat struktur sosial yang mengurangi peran perempuan dalam kehidupan publik. Wadud (1999) dalam bukunya Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective berpendapat bahwa banyak ayat yang selama ini dipahami menguntungkan laki-laki, sebenarnya memiliki potensi untuk dibaca dengan cara yang lebih inklusif dan egaliter. Hal yang sama juga ditemukan oleh Asma Barlas (2002) dalam bukunya Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur'an, yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan gender bukanlah hasil dari ajaran Islam itu sendiri, melainkan akibat dari interpretasi tradisional yang telah terbentuk sepanjang sejarah.
Selain perdebatan teologis, tantangan terbesar dalam penerapan kesetaraan gender dalam Islam sering kali muncul dari sistem sosial dan budaya yang sudah mengakar. Menurut studi yang dilakukan oleh Yvonne Yazbeck Haddad (2007) dalam bukunya Islam, Gender, and Social Change, meskipun banyak teks Islam yang mendukung kesetaraan, kenyataannya perempuan di banyak negara Muslim masih menghadapi ketidakadilan struktural. Hal ini terlihat dalam berbagai bidang, mulai dari pembatasan akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan, hingga pembatasan hak-hak politik dan hukum. Haddad berpendapat bahwa masalah ini seringkali lebih disebabkan oleh pengaruh budaya patriarkal yang ada dalam masyarakat, yang tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan ajaran agama itu sendiri. Dalam konteks ini, interpretasi hukum Islam (fiqh) yang lebih konservatif sering digunakan untuk mempertahankan sistem ketidaksetaraan tersebut.
Sementara itu, dalam beberapa dekade terakhir, banyak intelektual Muslim kontemporer yang berusaha melakukan reformulasi pemahaman gender dalam Islam. Salah satu contoh adalah karya-karya dari Khaled Abou El Fadl, seorang pakar hukum Islam asal Amerika, yang dalam bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005) mengkritik interpretasi literal terhadap teks-teks agama yang cenderung mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan. Menurutnya, Islam sesungguhnya memiliki potensi untuk mendukung kesetaraan gender jika dilihat dari perspektif keadilan universal yang diajarkan oleh agama ini. Abou El Fadl menekankan bahwa interpretasi terhadap teks-teks keagamaan harus disesuaikan dengan konteks sosial dan sejarah, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang kaku dan tertutup.
Meskipun ada upaya-upaya ini, tantangan dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim masih sangat besar. Studi yang dilakukan oleh Mernissi (1991) dalam The Veil and the Male Elite menunjukkan bahwa banyak negara dengan mayoritas Muslim tetap mengabaikan hak-hak perempuan, meskipun memiliki dasar ajaran agama yang mendukung kesetaraan. Perempuan di banyak negara tersebut masih dihadapkan pada berbagai bentuk diskriminasi, baik dalam hal perundang-undangan maupun praktik sosial, seperti pembatasan hak waris, kesaksian, hingga kebebasan bergerak. Oleh karena itu, meskipun Islam dapat menyediakan ruang bagi kesetaraan gender, penerapannya sering kali terkendala oleh hambatan budaya, politik, dan ekonomi yang kompleks.
Namun ajaran Islam pada dasarnya mendukung kesetaraan yang mana antara laki-laki dan perempuan, berbagai faktor eksternal, seperti interpretasi teks keagamaan yang patriarkal dan norma sosial budaya yang mendalam, menghalangi implementasi kesetaraan tersebut. Penelitian ilmiah yang ada menunjukkan bahwa meskipun teks-teks agama dapat dibaca dalam perspektif yang lebih egaliter, tantangan dalam mewujudkan perubahan nyata di tingkat sosial dan politik masih sangat besar. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam Islam memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya memperhitungkan aspek teologis, tetapi juga perubahan sosial, politik, dan budaya yang mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H