Bulan November menjadi bulan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, Saat itulah tepatnya pada tanggal 10 1945 para pejuang kemerdekaan yang dipelopori oleh Bung Tomo bertempur  melawan aksi kezaliman para penjajah yang ingin merenggut kemerdekaan setelah beberapa bulan diproklamirkan oleh  Presiden pertama negara Indonesia. Mereka berjuang mati-matian dengan senjata seadanya sekalipun nyawa menjadi taruhannya.  Tak ada kata pamrih dalam aksi mereka apalagi pencitraaan, yang ada hanyalah sebuah kemerdekaaan.
Peristiwa diatas sungguh luar biasa dan menakjubkan. Mungkin, jika pristiwa itu terjadi dimasa sekarang belum tentu kita sanggup berjuang sebagaimana perjuangan mereka, apalagi mempertaruhkan nyawa demi terwujudnya sebuah kemerdekaan yang mana kenikmatannya hanya dirasakan generasi penerus. Sehingga tidaklah ayal, jika mereka menorehkan sejarah hebat yang selalu terabadikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita  yang pada puncaknya mereka mendapat gelar pahlawan nasional.
Gelar pahlawan bukanlah seseuatu yang mudah didapatkan hususnya di era sekarang, era dimana nilai-nilai kemanusiaan mulai tergantikan dengan nilai-niali konsumtifisme dan materialisme berkat digitalisasi seluruh aspek kehidupan. Gelar itu, butuh pengorbanan, keberaniaan, kejujuran dan keiklasan sebagai modal utama mendapatkannya. Namun faktanya, bagaimana kita mendapatkanya sedang kita bersikap acuh terhadap nilai-nilai kepahlawanan untuk dibumikan dalam kehidupan kita, bahkan membaca sejarah kepahlawanan sekalipun juga dirasa telah tidak begitu penting.
Ditengah-tengah keterpurukan kita dari nilai-nilai kepahlawanan, rupaya kita harus sadarkan diri, bahwa ada salah satu hal yang penting digerakkan di era digital ini dengan penuh pengorbanan, keberanian, kejujuran dan keiklasan yaitu minat budaya literasi baca-tulis. Sehingga kita tidak terlalu terlena dengan buaian erotisnya internet dan smartphone semata.
Mengapa hal ini penting, mengingat bangsa kita sejatinya belum merdeka. Bangsa kita dijajah dengan suguhan banjirnya internet dan smart phone. Berjam-jam kita menggunakan smart phone dan internet tanpa merasa bosan. Kemana-mana pasti bawa hp cerdas bahkan kita merasa gundah dan gelisah bilamana keduanya tidak berfungsi sebagai biasanya. Akibatnya, bangsa kita semakin tidak terpandang di negara-negara lain.Â
Bangsa kita terkesan bodoh dimata dunia. Bagaimana mau memajukan peradaban sedang kita tak peduli terhadap budaya literasi baca-tulis yang saya kira semuanya sepakat bahwa budaya ini menjadi syarat mutlaq majunya sebuah peradaban dalam satu negara.
Dikaitkan dengan topik diatas, sepantasnya kita tergugah untuk membumikan niali-nilai kepahlawanan yang berupa pengorbanan, keberanian, kejujuran dan keiklasan melalui kegiatan gerakan membaca dan menulis. Kita harus berkorban dengan penuh usaha mengikuti kegiatan ini guna melahirkan budaya Literasi baca-tulis bangsa ini. Kita harus berani, pantang menyerah sekalipun menemui banyak tantangan dan rintangan dalam perjalanan kegiatan ini. Kita harus jujur utamanya pada diri kita bahwa kita sangat lemah dalam dunia ini. Â
Terakhir,  keiklasan harus selalu terpatri dalam jiwa agar kegiatan yang menjadi titik awal lahirnya kemerdekaan abad ke-21 yang ditandai dengan adanya budaya literasi baca-tulis bukan budaya konsumtif dan materialis  betul bermakna dan tidak kosong dari nilai. Sehingga kita digolongkan sebagai para pahlawan sekalipun tidak secara formal dianugerahakan oleh negara, tapi setidaknya kita sudah pernah melahirkan sejarah yang sarat dengan nilai-nilai kepahlwanan. Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H