Mohon tunggu...
Mohammad farid
Mohammad farid Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Dengan membaca dan menulis kita dapat berada ditempat yang belum pernah kita injak.

Professional Lawyer/Counselor at Law || aku tak seperti aku yang dirimu lihat || bin Andi bin Ramli bin Yacoeb.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Permasalahan Hukum Mengenai Batalnya Perjanjian akibat Force Majeure

28 Juni 2020   01:49 Diperbarui: 28 Juni 2020   10:16 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  : https://blog.beeminder.com/sos/

Maraknya pemasalahan hukum mengenai batalnya suatu perjanjian yang diakibatkan karena Force Majeure bukan merupakan suatu permasalahan baru bagi kita. Hal ini justru sering terjadi di lingkungan korporasi, ekstrimnya suatu korporasi atau perusuahaan justru menjadi pihak utama dalam permasalahan ini.

1. Bagaimana Akibat Hukum atas berakhirnya Perjanjian Sewa yang timbul dikarenakan terjadinya Force Majeure?

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antara kedua belah pihak yang dalam hal ini adalah antara Debitur dan Kreditur. Bahwa hubungan hukum antara Debitur dan Kreditur harus dipastikan merupakan sebuah Perjanjian yang jelas dimana waktu serta tempat Perjanjian tersebut disepakati.

pokok-pokok isi dari Perjanjian yang biasa dituangkan pada Perjanjian Sewa antara Debitur dan Kreditur terkait dengan Force Majeure :

  • Force Majeure merupakan keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan Para Pihak, termasuk tetapi tidak terbatas pada huru-hara, epidemic, kebakaran, banjir, gempa bumi, pemogokan, perang, keputusan pemerintah yang secara langsung dan material menghalangi para pihak secara langsung untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan Perjanjian. (pengertian)
  • Dalam hal terjadinya salah satu atau beberapa kejadian dan/atau peristiwa sebagaimana dimaksud Pasal (diatas), pihak yang terkena Force Majeure berkewajiban untuk memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang lainnya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak terjadinya peristiwa tersebut.
  • Perjanjian ini dapat diakhiri apabila ;
    • Jangka waktu sewa telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
    • Terjadi Force Majeure yang mengakibatkan Perjanjian ini tidak dapat dilanjutkan lagi;
    • Penyewa tidak melakukan pembayaran atas Biaya Sewa dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima hari) sejak tanggal jatuh tempo; atau
    • Salah satu dilikuidasi atau dinyatakan pailit oleh Pengadilan

Jika kita berbicara terkait dengan hambatan dalam pencapaian isi perjanjian oleh Debitur ataupun Kreditur yang timbul karena adanya Force Majeure dan menyebabkan kondisi arus masuk serta keluar pada cashflow Debitur dan Kreditur tidak sehat hingga tak mampu lagi untuk memenuhi kewajiban, yang dikarenakan ikut terimbas oleh Pandemi Covid-19. Maka dari itu perlu Penulis jelaskan mengapa Covid-19 dapat dikatakan tergolong bagian dari Force Majeure.

Selanjutnya agar kita pahami bersama, rujukan pada contoh pokok perjanjian diatas guna mendapatkan jawaban atas apa saja yang tergolong dalam Epidemi, Pandemi, dan hingga pada ujungnya menjadi sebuah peristiwa yang merupakan Force Majeure, terkait dengan Epidemi yang masih menjadi tanda tanya kita semua dalam hal apakah peristiwa tersebut masuk kedalam bencana alam atau tidak, kita dapat mengacu pada Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan "Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit."

Pemerintah sendiri juga sudah menerbitkan Kepres Nomor. 12 Tahun 2020 dengan berpedoman pada Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization yang menyatakan bahwa Covid-19 adalah sebuah Pandemi, bukan lagi sebatas Epidemi karena penyebaran wabah tidak hanya dari satu area ke area lain namun angka penyebaran wabah sudah sampai keseluruh dunia, serta Pemerintah juga menetapkan wabah Covid-19 merupakan bencana non alam yang tergolong sebagai Bencana Nasional. 

Dengan merekonstruksikan penjelasan diatas Covid-19 dapat penulis simpulkan telah masuk kedalam kategori Force Majeure, sebab terlihat wabah Covid-19 merupakan situasi yang hadir dalam keadaan terpaksa (Overmacht) yakni tidak dikehendakinya Pandemi ini serta terjadinya peristiwa ini diluar kemampuan manusia, kemudian wabah ini dapat berpotensi menghambat satu pihak di dalam perjanjian untuk menjalankan kewajibannya, serta tidak adanya unsur kesengajaan ataupun kelalaian atas hadirnya Covid-19 ini yang menyebabkan satu pihak pada suatu perjanjian tidak dapat menjalankan kewajibannya.

Selanjutnya pada Pasal 1244 KUHPerdata telah disampaikan "jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya."

Selanjutnya jika kita membaca dengan seksama Pasal diatas secara tersirat sesungguhnya telah memberikan pesan bahwa dalam hal tak terlaksanakannya satu perjanjian harus dipicu oleh suatu hal yang tak terduga (Pandemi), maka pada praktek Pengakhiran Perjanjian dalam tulisan ini kita hanya dapat berpedoman pada Contoh Pokok Perjanjian diatas poin 3 bagian ke 2 yang menyebutkan "Terjadi Force Majeure yang mengakibatkan Perjanjian ini tidak dapat dilanjutkan lagi." Dengan metode merinci setiap aturan yang lebih tinggi dari Perjanjian diatas maka unsur-unsur klausula dalam satu pasal di satu perjanjian dapat terpenuhi sesuai dengan kaidah hukumnya.

Dalam hal lain jika salah satu pihak malah meminta untuk mengakhiri Perjanjian sebagai contoh seorang Debitur, menurut penulis sangat bertendensi dapat terealisasikan tanpa terjadinya Wanprestasi, sebab situasi sekarang yang masih dalam serangan Wabah Pandemi Covid-19 menyebabkan arus kas masuk dan keluar pada Cashflow Perusahaan tidak sehat yang mengakibatkan tak mampunya Debitur memenuhi kewajibannya kepada Pemberi Sewa (kreditur).

Hal-hal yang masih berhubungan dengan ini sesungguhnya masih dapat dipertimbangkan lebih lanjut oleh kedua belah pihak baik Debitur dan Kreditur dengan tujuan itikad baik sebab melihat dari pemisahan Force Majeure oleh Prof. Subekti menjadi dua yakni Absolut dan Relatif, menurut hemat penulis dalam hal Debitur tak mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditur hal ini masuk pada kategori Force Majeure Relatif dimana pemenuhan prestasi secara formil tidak mungkin dapat dilakukan oleh Debitur, walau dengan cara diluar dari ketentuan formil masih dapat dilakukan.

Perjanjian tidak dapat dilanjutkan lagi, jika Perjanjian Sewa oleh Debitur ingin diakhiri potensinya dapat terealisasikan sebab situasi sekarang yang masih dalam serangan Wabah Pandemi Covid-19 menyebabkan arus kas masuk dan keluar pada Cashflow Perusahaan tidak sehat yang mengakibatkan tak mampunya Penyewa memenuhi kewajibannya kepada Pemberi Sewa.

Dalam posisi Debitur pada contoh kasus diatas masuk pada kategori korban Force Majeure yang Relatif dimana akibat hukumnya ialah usaha pencapaian prestasi  secara formil konsekuensinya hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan, namun solusinya dapat berupa mencari jalan diluar dari ketentuan formil yang masih dapat dilakukan.

2. Konsekuensi Hukum terhadap Perjanjian Sewa antara Debitur dengan Kreditur dalam situasi Force Majeure.  

Terkait dengan konsekuensi Hukum ini perlu dijelaskan bahwa Force Majeure dapat dibedakan lagi menjadi dua yakni :

  • Force Majeure Obyektif : Ialah Force Majeure dalam mana seseorang tidak bisa melaksanakan prestasi karena barang tertentu tidak ada (rusak, hancur karena Force Majeure).
  • Force Majeure Subjektif : Ialah keadaan Force Majeure yang mengakibatkan seseorang tertentu tidak dapat melakukan kewajibannya karena ia dalam keadaan di luar kekuatan manusia.

Mengenai Force Majeure Subjektif diatas dikemukakan lagi oleh Houwing dalam teorinya yang disebut Inspaningstheorie yang mengatakan ;

"seorang debitur tidak lagi dipertanggungjawabkan untuk melakukan prestasi, apabila ia telah berusaha sekuat tenaga untuk melakukan prestasi tersebut dan menghindari malapetaka, namun ia tidak dapat memenuhi prestasi tersebut."

Jika dikaitkan berdasarkan analogi kasus antara Debitur yang tak mampu memenuhi kewajibannya kepada Kreditur diatas, maka Debitur jelas tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban atas tak tercapainya prestasi, sebab tak tercapainya prestasi oleh Debitur bukan karena kesengajaan ataupun kelalaian melainkan disebabkan oleh efek Wabah/Pandemi yang menghambat aktivitas kerja Debitur, maka oleh karena itu berdasarkan teori diatas jika Debitur tidak lagi dipertanggungjawabkan untuk melakukan Prestasi maka jelas (jika ada) jaminan yang telah diberikan kepada Kreditur tidak dapat semata-mata menjadi milik Kreditur ataupun hangus, karena tak tercapainya Prestasi bukan karena Debitur mengingkari isi Perjanjian melainkan disebabkan oleh Force Majeure.

Selanjutnya coba kita lihat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung terkait Keadaan Memaksa (Force Majeure) harus memenuhi unsur-unsur tertentu hal mana juga dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung No.409K/Sip/1983/ tertanggal 25 Oktober 1984, dimana Majelis Hakim menetapkan 3 unsur sebagai berikut :

  • Tidak Terduga;
  • Tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian dan;
  • Di luar kesalahan dari pihak tersebut.

Dalam hal ini perlu kita ketengahkan bahwa pada Yurisprudensi diatas telah mengambil 3 unsur poin penting sebagai dasar dari terjadinya Force Majeure, di sisi lain (contoh) Perjanjian Sewa juga menyebutkan bahwa "......dalam hal terjadi pengakhiran Perjanjian yang disebabkan kelalaian Penyewa sebagaimana diatur dalam Pasal (isi perjanjian), Uang jaminan akan dianggap hangus dan menjadi hak milik Pemberi Sewa." Pada angka di dalam pasal dari (contoh) Perjanjian Sewa tersebut juga menyampaikan bahwa maksud dari bentuk kelalaiannya tersebut bukan merupakan akibat dari Pandemi/Covid-19 melainkan berupa "Penyewa tidak melakukan pembayaran atas Biaya Sewa dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari sejak tanggal jatuh tempo."

Yurisprudensi dan contoh isi dari Peranjian Sewa yang tercantum diatas terkait konsekuensi Jaminan yang telah dibayarkan Penyewa, sesungguhnya menurut hemat penulis tidak ada korelasi yang menyebabkan jaminan dari Debitur hangus ataupun menjadi hak milik Kreditur sebab tak terpenuhinya kewajiban Debitur bukan karena tidak melakukan Pembayaran, esensinya ialah sebab-sebab tak tercapainya prestasi Debitur bukan semata-mata disebabkan oleh kelalaian yang dikarenakan keterlambatan pembayaran kewajiban kepada Kreditur, namun melainkan akibat efek dari Force Majeur yang tertuang dalam Yurisprudensi.

Pada situasi seperti ini, idealnya Kreditur dalam hal apapun harus segera memahami hubungan kausalitas antara Wabah Covid-19 dengan segala regulasi Pemerintah dalam menanggulangi Covid-19, selanjutnya terkait dengan ketidakmampuan menjalankan kewajiban dalam suatu perjanjian oleh Debitur sudah sangat harus dimaklumi oleh si Kreditur sebab telah dijaminnya hal tersebut diatas Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Terakhir jika kita berbicara dalam diskursus kekeluargaan terkait solusi alternatif untuk menjawab seluruh konsekuensi dari Kewajiban Penyelesaian Pembayaran Sewa dalam keadaan Bencana Non Alam/Force Majeure, saran penulis dalam hal ini ialah kedua belah pihak baik Debitur dan Kreditur mesti legowo untuk memutuskan akan mengambil langkah apa, sebab bukan tanpa alasan juga Debitur dalam contoh kasus diatas belum memenuhi kewajibannya, ini semua disebabkan oleh efek Pandemi Covid-19 yang tak terduga, bukan merupakan kelalaian serta kesengajaan, dan bukan merupakan maksud tujuan dengan tidak beritikad baik, juga di sisi lain Kreditur .

Salah satu konsekuensi hukumnya atas perjanjian antara Debitur dan Kreditur dalam situasi Force Majeure ialah Debitur tidak lagi dipertanggungjawabkan untuk melakukan Prestasi dalam arti lain apapun jaminan yang telah diberikan tidak dapat menjadi milik Kreditur ataupun hangus, karena tak tercapainya Prestasi bukan karena Debitur mengingkari isi Perjanjian melainkan disebabkan oleh Force Majeure.

Tidak ada korelasi yang menyebabkan Jaminan Debitur hangus ataupun menjadi hak milik Kreditur sebab tak terpenuhinya kewajiban Debitur bukan karena Debitur tidak melakukan Pembayaran, namun melainkan akibat efek dari Force Majeur yang tertuang dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.409K/Sip/1983/ tertanggal 25 Oktober 1984.

Debitur ataupun Kreditur mesti memutuskan akan mengambil langkah apa, bukan tanpa alasan Debitur belum memenuhi kewajiban melainkan ada potensi hal ini disebabkan oleh efek Pandemi Covid-19 yang tak terduga, serta bukan merupakan kelalaian dan kesengajaan, bukan juga merupakan maksud tujuan yang tak beritikad baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun