Mohon tunggu...
Mohammad Alfin Faza
Mohammad Alfin Faza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Pecinta Film yang suka menyendiri dan lebih suka konten mengenai psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gotong Royong Berbalut Spiritualitas ala Warga Kelurahan Cepoko

14 Agustus 2022   16:39 Diperbarui: 14 Agustus 2022   16:43 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelurahan Cepoko merupakan sebuah kelurahan didaerah Gunungpati, Kota Semarang. Secara geografis Kelurahan Cepoko berada di ketinggian antar 800 hingga 1000 Mdpl, dengan begitu cuaca didaerah ini begitu dingin, Kelurahan Cepoko terkenal akan hasil perkebunannya, dilansir dari web resmi pemerintah kota Semarang, kelurahan Cepoko merupakan salah satu dari beberapa desa wisata yang terkenal akan hasil alamnya,

didaerah inj dapat dijumpai jambu kristal, kelengkeng dan durian. Karnaval durian dan buah buahan sering digelar didaerah kelurahan Cepoko tiap tahunnya, hal itu yang mendasari daerah ini disebut desa wisata.

Sumber daya alam yang subur dan baik, tentunya akan menghasilkan produk yang baik dengan adanya sumber daya manusia yang berkualitas, ungkapan itu bukan sebatas ungkapan saja. 

Menurut Ndraha (1997:12) mengatakan bahwa pengertian kualitas sumber daya manusia, yaitu: sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya manusia yang mampu menciptakan bukan saja nilai komparatif, tetapi juga nilai kompetitif, generative, inovatif dengan menggunakan energi tertinggi seperti intelligence,dan spiritualitas. 

Tingkat keberkualitasan sumber daya manusia dapat diukur melalui 2 cara yaitu cost based atau berdasarkan dari jumlah pengeluaran dan pemasukan per individu, dan dengan cara value based atau berdasarkan dengan nilai, diantara nilai- nilai yang ada yaitu, spiritualitas, kebersamaan, dan motivasi. 

Dalam kehidupan bermasyarakat, warga kelurahan Cepoko tidak jauh dari sisi spiritualitas, adanya pengajian Selapan tiap minggu pon adalah salah satu diantara banyaknya sisi spiritualitas warga Cepoko.

Pengajian selapanan yang dilaksanakan tiap Minggu pon, merupakan buah dari penyebaran Islam pada era Walisongo, dilansir oleh Wikipedia, dsa Cepoko sendiri tidak luput akan penyebaran agama Islam era walisongo, Cepoko sendiri berasal dari kata "cep ga ono opo opo ko?" 

Kata itu terucap dari jamaah sunan Kalijaga disaat sunan Kalijaga mengutus utusannya untuk mencari pohon jati, namun pohon jati tersebut malah menghilang hilang. Tentunya kisah itu berasal dari penuturan warga untuk mengingat perjuangan sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam, selain itu beberapa kiai terkenal juga sempat menginjakkan kaki di Cepoko , 

mbah Soleh darat salah satunya, peninggalan tersirat yang masih berjalan sebagai tradisi hingga saat ini salah satunya pengajian selapanan, dalam pengajian ini sikap gotong royong masyarakat sangat kentara, mulai dari membantu menyiapkan tempat pengajian yang bertempat di masjid Baitul Muttaqin, 

hingga ada yang bahu membahu menyiapkan konsumsi untuk para jamaah, geliat spiritualitas sangat kentara ketika acara sudah dimulai, masjid yang penuh sesak merupakan salah satu dari bukti spiritualitas masyarakat Cepoko, antusias warga juga tidak kunjung surut, semangat ini lah yang dapat dikatakan kebersamaan yang berbalut spiritualitas.

Selain pengajian selapanan yang diadakan setiap minggu pon, kelurahan Cepoko merupakan salah satu dari beberapa daerah tempat kediaman Habaib, di depan kebun buah jambu kristal terdapat rumah megah kediaman habib Umar Muthohar, 

yang tiap Minggunya selalu kebanjiran jamaah, pengajian yang diadakan di kediaman habib Umar Muthohar ini diadakan 2 kali dalam sepekan, pengajian itu dibagi untuk Syarif dan Syarifah jamaah Habib Umar Muthohar,

lagi lagi kelurahan Cepoko memberikan contoh gotong royong berbalut spiritualitas, pengajian di kediaman Habib Umar Muthohar tidak luput dari bantuan para warga Cepoko, seperti bantuan dalam parkir motor, dan pengaturan lalu lintas, 

warga turut membantu meskipun tanpa pamrih, sikap inilah yang diidam idamkan oleh Soekarno dalam pandangannya mengenai gotong royong yang dikutip dalam disertasi Alan Wijaya tahun 2016 mengenai pandanga Soekarno mengenai gotong royong.

Meskipun di beberapa kasus terdapat jurang pemisah antara spiritualitas warga dan gotong royong, karena berbagai alasan seperti kakunya masyarakat dalam memahami arti gotong royong sehingga menimbulkan skeptis etnosentrisme diantara masyarakat,

yang akhirnya berujung konflik SARA, sejatinya hal tersebut dapat ditepis apabila warga daerah memupuk rasa toleransi dalam berbagai segi kehidupan baik ras, suku, agama, dan kepentingan. 

Kelurahan Cepoko sendiri merupakan daerah mayoritas agama Islam, namun dalam bermasyarakat dan bersosialisasi , warga kelurahan Cepoko memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, 

kegiatan natal yang berlangsung pada 25 Desember lalu menjadi bukti akan toleransi warga Cepoko, beberapa relawan yang tergabung dalam organisasi Banser kelurahan Cepoko, 

ikut mengamankan acara yang sarat akan nilai agama tersebut, tidak heran apabila warga kelurahan Cepoko memiliki toleransi yang tinggi, role model di kelurahan Cepoko cukup banyak diantaranya Habib Umar Muthohar yang sering menyuarakan arti toleransi itu sendiri.

Gotong royong yang dibalut spiritualitas warga Cepoko tidak hanya erlihat dari acar acara pengajian rutin, namun juga dapat dilihat dari kedispilinan warga Cepoko dalam menunaikan ibadah sholat lima waktu secara berjamaah,

memang tidak membedakan daerah Cepoko dengan yang lainnya, namun kedisiplinan warga atas ibadah wajib ini dijaga sangat ketat, tidak kuarng dari 15 menit imam masjid sudah datang sehingga tidak membuat jamaah menunggu terlalu lama.

Rasa empati warga atas salah satu warga yang memiliki hajat juga tinggi, contoh kecil yang dada di kelurahan Cepoko adalah sikap gotong royong masyarakat dalam mendoakan dan berusaha semaksimal mungkin tidak menyusahkan salah satu warga yang terkena musibah lelayu, 

dengan sifat kedisplinan warga Yasin tahlil dilaksanan secara rutin selama 6 malam di kediaman warga yang meimiliki musibah, selepas sholat jamaah maghrib ibu ibu warga kelurahan Cepoko secara serentak berkumpul tanpa komando dari seseorang, 

begitu pula bapak bapak warga kelurahan Cepoko yang sama disiplinnya berkumpul tanpa komando di kediaman warga yang terkena musibah, sama seperti pengajian rutin yang ada di kelurahan Cepoko, para warga berkumpul tanpa mengharap suatu apapun bahkan konsumsi tidak diberatkan kepada warga yang terkena musibah.

Beberapa contoh kebermasyarakatan warga Cepoko diatas belum pasti dimiliki oleh daerah lain maka tidak bermaksud mengurangi kehormatan daerah lain dan merendahkan daerah lain, kebersamaan dan gotong royong yang berbalut nuansa spiritualitas warga Cepoko hanya dimiliiki oleh daerah Cepoko, yang seyogyanya dapat ditiru oleh daerah lain di kota Semarang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun