Â
"Mari saling menghormati meski ditengah aksi kebebasan berekspresi"
Bagi seorang mahasiswa, kebebasan merupakan hal yang sudah di idam idamkan sedari masih mengenyam di bangku sekolah. Bagaimana tidak? Sekolah sering kali membelenggu siswa dengan aturan aturan yang mengikat. Meski pada kenyataanya peraturan itu disusun oleh pihak sekolah untuk kebaikan murid itu sendiri, namun terkadang murid menganggap itu sebuah pembatasan kebebasan. Misalnya harus memakai sepatu berwarna hitam, tidak boleh gondrong, bagi laki laki pakaian harus dimasukan, dll.Â
Hal ini terkadang membuat murid merasa jengkel dan bahkan ada yang sampai melanggar peraturan demi membebaskan keinginan hati mereka. Berbeda cerita ketika sudah masuk dalam dunia kampus dan menjadi seorang mahasiswa, barulah mereka mampu untuk mengekspresikan kebebasan mereka seperti dengan berpakaian modis, berambut gondrong, dll atau bahkan berpaham dengan apa yang ia yakini. Â
Sebenarnya seberapa bebas sih kita untuk berekspresi?
Ya, bebas banget dong. Namun tentunya harus sesuai dengan moral dan peraturan sekitar. Sebagai contoh kita sebagai seorang muslim. Apakah dengan tidak sholat, minum minuman keras atau bahkan berbicara seenaknya kepada lain golongan itu bisa dinamakan kebebasan berekspresi? Tentu tidak!Â
Contoh lain ketika kita menjadi seorang mahasiswa. Apakah dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi kita mampu melakukan segala hal seperti dengan menyampaikan kritik dengan vandalisme, berorasi sampai mengganggu ketenangan sekitar, dan yang paling fatal adalah beraktifitas dikampus hingga melalaikan tugas utama yakni tugas kuliah.
Lalu bagaimana sih sebenarnya kebebasan itu?
Banyak sekali sudut pandang serta pendapat mengenai suatu kebebasan. Saya mengambil pengertian dan pemahaman yang cukup simpel di sampaikan oleh salah satu filsuf yang hidup dalam buku karya Ichiro Kishimi dan Fumitage Koga yakni Buku Berani Tidak Disukai. Banyak yang mengartikan kebebasan layaknya batu yang menggelinding.Â
Maksudnya? Jadi, kebebasan layaknya batu yang menggelinding turun dan membiarkan dirinya mengikuti kecenderungan diri, hasrat atau impuls untuk menguasainya. Nah, sekarang apakah kita seperti itu? tentu tidak! Nyatanya, kebebasan yang seperti ini tidak lain hanyalah seperti menjalani kehidupan yang diperbudak oleh hasrat dan nafsu.
Lalu dimanakah letak kebebasan yang dimaksud itu?
Batu merupakan benda. Batu tidak berakal. Batu juga tidak berhati. Wajar jika batu hanya mampu untuk menggelinding ke bawah dengan membiarkan kecenderungan diri pada hasrat  yang menguasainya seperti ketika ia ditarik menggelinding oleh gravitasi alam. Tapi apakah kita ini batu? Tentu bukan! Kita adalah manusia. Kita adalah makhluk Tuhan yang mulia. Kita mampu untuk menahan kecenderungan diri kita serta menghentikan tarikan dari hasrat maupun nafsu.
Kita mampu untuk berperilaku dengan prinsip prinsip hidup yang bersemayam pada diri kita meski itu berbeda dengan mayoritas orang. Pada dasarnya manusia memiliki keunggulan, kekurangan serta perbedaan pada setiap diri masing masing individu dan itu memang sudah anugrah yang paten diberikan oleh Tuhan kepada makhluk ciptaanya.Â
Manusia mempunyai kuasa penuh akan dirinya sendiri maka dari itu sudah menjadi fitrah jika manusia harus menjadi bebas dan merdeka. Dengan kita berlaku hidup sesuai dengan diri kita sendiri tanpa meniru ataupun terpengaruh dengan orang lain, maka detik itu juga kita sudah mempergunakan hak  kebebasan yang ada di dalam diri kita.  Â
Namun, sudah selayaknya dalam mengekspresikan kebebasan tersebut kita harus mengetahui batas batas yang ada di sekitar kita. Maka dari itu, penting untuk kita memahami akan realitas diri dan realitas dunia sekitar kita agar kita juga senantiasa semakin paham mengenai diri kita sendiri dan sekitar kita. Dengan begitu kita akan mengetahui mengenai batas batas yang ada.
Kebebasan diri seorang manusia merupakan salah satu hak asasi manusia. Tidak seorang pun dapat atau boleh membedakan, membatasi, mengintoleransi dan mendiskriminasi akan kebebasan seorang manusia. Jika seorang membatasi kekebebasan orang lain, maka sejatinya ia telah mengingkari hakikat dari keberadaan dan hati nurani diri sendiri dengan memaksakan pembatasan dan diskrimasi pada kebebasan seseorang.
Dengan melakukan kebebasan tersebut bukan lantas kita bisa menjadi seseorang yang seolah olah hebat karena mampu hidup dengan dunia kita sendiri. Setidaknya ada biaya yang harus dipersiapkan ketika kita ingin mempergunakan kebebasan dalam diri kita. Ketika kita sudah memutuskan untuk menjadi diri sendiri, mendalami diri sendiri, kita harus menyiapkan diri kita jika nantinya tidak disukai oleh orang lain.Â
Penilaian dan persepsi buruk orang lain mengenai diri kita tentu akan datang. Kita harus siap mengenai semua hal yang nantinya akan terjadi ketika kita mempergunakan hak kebebasan kita, setidaknya itulah harga yang nantinya kita bayar. Tapi bukankah lebih nyaman ketika kita menjadi diri sendiri daripada menjadi diri yang seperti diinginkan oleh orang lain?
Perilaku perilaku seperti ini sudah menandakan jika kita menggunakan hak kebebasan yang ada dalam diri kita. Kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Meski begitu, bukan hanya kita yang menggunakan kebebasan tersebut. Setiap manusia memiliki kesempatan dan hak yang sama. Maka dari itu, sikap hormat dan saling memahami antar sesama sangatlah dibutuhkan dalam berkehidupan sosial untuk saling menjaga ketentraman dan kedamaian yang ada.Â
Kebebasan bukanlah Kejahatan. Kebebasan bukanlah kenakalan. Kebebasan bukanlah kejelekan. Kebebasan bukanlah hal yang dilarang.Â
Kebebasan merupakan fitrah manusia itu sendiri. Manusia memiliki kesempatan dan hak untuk menggunakanya. Namun, syarat dan harga senantiasa melekat pada kebebasan kebebasan tersebut. Agar kebebasan betul betul menjadi sebuah anugrah dan hadiah dari Tuhan, kita harus menggunakan hak kebebasan itu dengan bijak bukan dengan kebablasan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H