Kamu cantik, seperti biasa. Apalagi saat tersenyum seperti itu.Â
Senyum yang biasanya, juga menghantui lamunanku setiap aku ingin pergi tidur. Sedang senang, ya? Baguslah kalau begitu, aku pun begitu kalau kamu senang.
Tapi satu hal yang mungkin kamu tidak sadari, mulutmu itu suka berbohong. Ia sering berkata, "baik-baik saja" Namun nyatanya, matamu mengisyaratkan luka.
Mungkin mulutmu tidak bisa mengartikan luka yang kamu rasakan. Tapi matamu berbeda, dan saat aku melihat matamu, aku seakan akan juga merasakan luka yang kamu rasa.
Jangan pernah berbohong padaku ketika kamu menatapku. Matamu tidak bisa berbohong, tidak seperti mulutmu.
Bersandarlah kalau kamu lelah, lagipula pundakku juga kosong. Kamu bebas bersandar semaumu.
Kalau lelahmu sudah hilang, kamu boleh pergi juga semaumu. Aku tidak pernah memaksa orang untuk tinggal.
Karena memang sekeras apapun menahan, jika seseorang ingin pergi. Kamu hanya bisa membukakan pintu untuknya.
Setidaknya itu yang bisa dilakukan, jika seseorang ingin pergi. Lagipula kenangannya akan tetap tinggal, bukan?
Biasanya itu yang aku lakukan, mengingat-ingat semuanya. Seakan-akan semua kenangan pahit menjadi manis, dan kenangan manis menjadi semakin manis.
Mengingat masa lalu itu candu, sayang. Jangan berlebihan, karena kita tidak hidup disana.
Pegang tanganku, entah kamu akan tinggal ataupun beranjak dan memilih pergi.
Aku akan menggenggam tanganmu, sampai di persimpangan pilihan. Terserah dirimu mau memilih apa.
Aku tak bisa memaksa, karena aku memang bukan siapa-siapa. Membayangkan menjadi seseorang yang spesial untukmu saja aku tak tahu harus apa dan bagaimana.
Ah, sudahlah. Aku hanya malas memikirkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H