Maka kembali pada kenyataan pahit munculnya kontradiksi antara meningkatnya religiusitas di bulan Ramadan dengan tetap tingginya tindakan pelanggaran hukum oleh masyarakat muslim kita menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan terhenti pada dimensi simbolis belaka.
Orang berpuasa hanya sekadar tidak makan dan minum, tetapi melalaikan filosofi puasa sebagai gerakan menahan nafsu. Maka jangan heran jika Ramadan setiap tahun datang membawa kewajiban puasa tapi kejahatan korupsi malah meningkat, karena nafsu serakah tidak benar-benar dijaga sebagai bagian dari filosofi di balik menahan lapar dan dahaga.
Di bulan Ramadan dilantunkan bacaan ayat-ayat suci melalui speaker masjid dan musala. Sayangnya ayat-ayat suci itu dipahami hanya sebagai teks-teks sakral atau simbol religiusitas dan syiar Islam. Sangat jarang dipahami makna atau filosofi di balik teks-teks suci itu sehingga yang terjadi justru tindakan yang kontra-produktif. Contoh sederhana, teks-teks ayat suci itu antara lain bicara tentang rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta) tapi ironisnya kerasnya speaker masjid malah membuat bising dan mengganggu orang lain.
Berbuka bersama dilakukan bukan sebagai bagian menghargai rezeki berupa makanan dan minuman sehingga mempertinggi rasa syukur atas nikmat dan memperkuat dorongan berbagi kepada yang lebih membutuhkan, tapi kini sekadar simbol menandai berakhirnya puasa hari itu. Lebih ironis lagi, buka puasa juga menjadi simbol klas sosial yang tampak dari siapa yang diundang dan tempat acaranya.
Keluar dari rutinitas
Pertanyaanya, bagaimana menjadikan Ramadan benar-benar sebagai bulan yang sangat istimewa, yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW? Pertama, kita harus mengubah siklus rutinitas Ramadan menjadi sesuatu yang berkesadaran. Memang, salah satu kelemahan mendasar atas sebuah rutinitas adalah hilangnya ruh.
Jika Ramadan begitu saja hadir sebagai rutinitas, tanpa kita sapa dengan kesadaran, maka Ramadan tidak akan memberi makna yang mendalam. Seperti kehadiran penjual makanan yang setiap hari melintas di depan rumah kita. Tanpa kita beli, maka kehadirannya berlalu tanpa meninggalkan makna apa-apa.
Kedua, sudah saatnya kita kembali mengintegrasi pemahaman tentang ibadah. Selama ini ibadah hanya kita selami dari satu sisi saja, misalnya dari sudut pandang fikih (esoteris). Ironisnya, pandangan seperti ini menjadi mainstream. Guru-guru ngaji, seringkali hanya menyampaikan teknis-prosedural ibadah tanpa membarengi dengan kajian makna di balik ibadah itu.
Berbagai tanya jawab seputar Ramadan, mayoritas berisi persoalan-persoalan fikih, padahal dalam dimensi ibadah juga terkandung sisi tasawuf (isoteris). Tak banyak diberikan kajian misalnya, tentang korelasi puasa dengan ke-Mahapengawasan Tuhan dan implikasinya dengan tindakan korupsi (mencuri). Atau korelasi salat dengan ke-Mahahadiran Tuhan dan implikasinya dengan etos kerja. Tak banyak pula disentuh korelasi haji dengan ke-Mahabesaran Tuhan dan impilkasinya terhadap relativitas kekuasaan atau kekayaan manusia.
Tak heran, jika ibadah yang kita lakukan menjadi hampa, kering dari makna. Atau dalam jargon lain, ibadah jalan tapi maksiat juga jalan. Jamaah haji membeludak sampai harus antre bertahun-tahun tapi kita tahu juga koruptor telah berhaji beberapa kali. Jadi, Ramadan tak akan banyak bermakna bagi peningkatan kualitas spiritual umat Islam jika kedatangannya hanya disambut oleh rupa-rupa kemeriahan simbolis. Jika pun terkesan religius, maka pada dasarnya adalah religiusitas semu. (*)
Mohammad Nurfatoni, aktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya