Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa dalam Krisis Spiritualitas

16 Juni 2015   08:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJARAH peradaban manusia kini berada dalam zaman modern. Secara harfiah, modern berarti baru. Namun lebih jauh, ciri modern bukan saja dalam arti kebaharuannya, melainkan lebih termaknakan pada pola hidup yang teknikalisme, di mana teknik memegang peran sentral, dan pola hidup materialisme ­suatu pandangan hidup yang memberi tempat sangat tinggi pada kenikmatan lahiriyah.

Tanpa disadari, pola hidup yang demikian itu telah membuat manusia teralienasi, terasing dari kesejatian dan lingkungan sosialnya. Lebih jauh, modernisme bahkan telah melahirkan krisis spiritual. Di antara indikasi tercerabutnya manusia dari nilai-­nilai spiritual adalah terjadinya dekadensi moral, lunturnya nilai humanistik, dan menguatnya individualisme.

Runyamnya, dalam menghadapi krisis tersebut, manusia tidak bisa lagi berpikir jernih untuk secara sadar mengatasinya. Yang lahir justru cara berpikir dan bertindak yang serba panik dan rancu. Hal itu bisa kita lihat dari cara mereka mengatasi krisis spiritualisme itu. Mereka tidak berusaha memungut kembali elemen-elemen spiritualitas, tapi justru membenamkan dirinya lebih jauh ke dalam kubangan materialisme. Fenomena menguatnya hedonisme, menikmati hidup sepuas-puasnya sebelum datang kematian, membuktikan betapa manusia telah semakin terpuruk dalam mengatasi krisis spiritualisme.

Nuttin, seorang pakar psikologi humanistik, menyebutkan bahwa ada tiga aras kesadaran pada diri manusia. Pertama, kesadaran para aras psikobiologis. Kesadaran ini dipicu oleh pengalaman inderawi (biologis). Kesadaran untuk minum misalnya, dipacu oleh keringnya kerongkongan. Kedua, kesadaran pada aras psikososial. Kesadaran ini erat kaitannya dengan kebutuhan sosial: butuh berbagi dengan orang lain atau kebutuhan membina komunikasi sosial. Ketiga, kesadaran pada aras transendental: kesadaran adanya Tuhan, kebutuhan untuk beribadah, kesadaran adanya misteri hidup (kegaiban).

Dalam keadaan normal, ketiga aras itu mewujud menjadi satu dalam diri manusia. Artinya dalam setiap perilaku manusia selalu mengandung tiga aras kesadaran tersebut. Nikah misalnya, (harus) mengandung tiga aras kesadaran tersebut: [I] sebagai sarana pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) [2] sebagai media membangun hubungan komunikasi sosial (menyatukan dua keluarga) [3] sebagai salah satu bentuk perwujudan ketaatan (ibadah) manusia kepada Tuhannya.

Dengan mengacu pada tiga aras kesadaran itu, maka dapat dilihat bahwa pandangan hidup yang memberi tempat sangat tinggi pada kenikmatan lahiriyah (materialisme, atau dalam bentuk khususnya hedonisme) hanya merupakan pemenuhan aras kesadaran psikobiologis. Bukankah seks bebas, pengkonsumsian alkohol dan obat-obatan terlarang, atau korupsi, adalah perilaku-perilaku menyimpang yang tak mengindahkan nilai-nilai sosial, apalagi nilai-nilai transendental.

Yang lebih mencemaskan lagi, perilaku-perilaku tersebut tak jarang dijadikan sebagai pelarian atau pelampiasan dari krisis spiritualisme yang mereka alami. Inilah yang oleh Veronica Suprapti (1997) disebut sebagai hedonisme instan yakni merasakan kenikmatan puncak dengan jalan pintas.

Peran penting puasa

Puasa Ramadan mengajarkan kepada kita betapa pemenuhan hawa nafsu (aras kesadaran psikobiologis) harus dikendalikan. Pengendalian hawa nafsu ini sangat penting untuk menghindari kejatuhan manusia dari makhluk spiritual. Sebab, jika bandul keseimbangan spiritualisme manusia terus terseret pada ekstrem pemenuhan kebutuhan material, maka manusia tak ubahnya seperti binatang, yang sebagian besar hidupnya diabdikan untuk pemenuhan kebutuhan lahiriyah semata.

Identifikasi manusia sebagai binatang sesungguhnya sebuah aib besar. Ini terutama jika dikaitkan dengan “desain” Allah bahwa manusia adalah “puncak” ciptaaan-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan; Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al Isra/17:70; baca juga At Tiin/95:4).

Memang, manusia, seperti kita ketahui dari Al Qur’an, tercipta dari tanah (Al Hijr/15:28; Al Mukminun/23:12). Asal muasal pcnciptaan dari tanah (materi) itulah yang menimbulkan keinginan-keinginan material (biologis) yang dalam beberapa hal, keinginan-keinginan biologis itu sama dengan keinginan biologis yang dipunyai binatang (misalnya, makan-minum dan berhubungan seksual). Tetapi, tentu saja manusia tidak sama dengan binatang, termasuk jika kita kaitkan dengan asal muasal kejadian. Dalam penjelasan Al Qur’an kita dapati keterangan bahwa manusia juga mengandung unsur penciptaan dari ruh (non material): “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)­Ku, maka sujudlah kamu kepadanya” (AI Hijr/15:29; Shaad/38:72; As Sajdah/32:9).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun