Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesendirian, Mikraj, dan Shalat

28 Juni 2011   05:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Khadijah, kenapa aku?” katanya. Dengan penuh kasih sayang dan ketulusan hati, Khadijah memberikan dorongan semangat. “Oh putra pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah tidak akan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka dalam kesulitan atas jalan yang benar.” Mendengar kalimat-kalimat lembut itu, Rasulullah saw merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh rasa kasih.

Memang, kehadiran Khadijah sangat berarti bagi Rasulullah saw. Maka, di saat-saat kepergiannya, Rasulullah saw menunggui di tepi ranjangnya. Dengan hidup dan mati menggeletak samping-menyamping dan hanya dibatasi garis tipis seperti ini, Rasulullah saw barangkali dapat merasakan betapa besarnya nilai Khadijah, secara lebih gamblang dan tajam. Bahwa tujuan akhir kehidupan rumah tangga bukan kekayaan, karena Khadijah telah mengorbanknnya. Bukan reputasi dan keharuman nama, karena ini pun telah luntur sejak mereka diejek dan dinista kaum kafir Quraisy. Di saat-saat begini, mungkin perasaan Rasulullah saw guncang: bagaimana kalau garis tipis ini sirna dan Khadijah meninggalkannya? Tetapi Rasulullah saw sadar betul bahwa Tuhan menciptakan makhluk dengan umur terbatas. Tiada penyesalan karena istrinya telah memberikan segalanya. Rasululah saw menatap wajah pucat istrinya. Sekonyong-konyong pembatas hidup dan mati itu membaur. Khadijah menarik napas terakhir.

Meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah dalam waktu satu bulan, tak pelak menjadi pukulan bagi Rasulullah saw, sampai-sampai tahun itu disebut tahun duka cita. Perlawanan dan penolakan orang-orang kafir semakin keras. Terutama setalah Abu Jahal yang menggantikan Abu Thalib sebagai pimpinan Bani Hasyim memakzulkan (melepaskan perlindungan) pada diri Rasulullah saw.

Maka segala penopang yang mengokohkan perjuangan Rasulullah saw tidak ada lagi. Satu per satu di-pundut oleh Allah SWT. Kini, Rasulullah saw seolah berjuang sendirian.

##

Peristiwa-peristiwa berat yang dialami oleh Rasulullah saw di atas seolah menjadi cermin bahwa dalam perjalanan hidup, ada saatnya manusia teralienasi dalam kesendirian: ketika semua mata menatap dengan tajam dan semua mulut menyemburkan aneka cibiran; ketika semua angkat tangan dan semua kaki lari seribu langkah.

Muhammad, Rasulullah saw, manusia mulia itu kini dalam kesendirian. Orang-orang terdekatnya lebih dulu meninggal dunia, sementara klannya sendiri yang dipimpin Abu Lahab, bukan saja tidak melindunginya, malah justru mengancam dan menistakannya. Ketika beliau hendak berlabuh ke tempat lain, bukan perlindungan yang didapatinya, melainkan cemoohan dan pengusiran.

Tetapi, kesendirian itu sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan, karena sebenarnya kita lahir dalam kesendirian dan mati pun dalam kesendirian. Satu-satunya yang menemani kita hanyalah Tuhan.

Betapa segala “dunia milik(ku)” memang tidak pernah langgeng. Maka, manusia harus kembali dari “dunia milik(ku)” menuju “milik-Mu”, seperti ucapan kita “Sungguh, kami ini milik Allah; yang benar-benar akan kembali kepada-Nya”.

Dalam kesadaran seperti itu Rasulullah saw bersandar sepenuhnya kepada Allah SWT. Tulus dan pasrah. Rela dan ridha. Seperti Ibrahim dan Ismail as yang pasrah ketika “dunia miliknya” diminta oleh Allah SWT.

Mi’raj Menuju Allah SWT
Dalam posisi seperti itu, Allah SWT berkenan memperjalankan beliau ke langit melalui peristiwa Isra’ Mi’raj. Isra Mi’raj adalah perjalanan spektakuler yang pernah dilakukan manusia. Betapa tidak, Rasulullah SAW melakukan perjalanan malam hari dan dalam waktu yang amat singkat dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Dari Al-Aqsa, beliau naik ke langit melalui beberapa tingkat, menuju Baitul Makmur, Sidratul Muntaha (tempat tiada berbatas), Arasy (takhta Allah), hingga beliau menerima wahyu langsung dari Allah SWT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun