Gelap menepis terik, mendung telah menukik dan suara-suara guntur mulai lirih berbisik.
Namun bulir air urung dijatuhkan, bak harapan-harapan yang enggan dikepakkan.
Sejauh apa nazar langit ketika sanggup mendekap bumi? Â Sedangkan hujan adalah penghubung di antara keduanya.
Sekalipun semesta menjelma kalam, tak ada satu bait pun yang terukir, Sebab, semua akan tunduk pada hari akhir.
Hingga aku menengadah dengan jemari tersanggah, Lembayung yang merajai langit ingin raibkan.
Ohh Yang Maha Perkasa, Â kudekap semua ujianmu dengan tegap, sekalipun berangkap tak sudi aku berpaling dan terus menghadap.
Tahun ini, takdir begitu bengis menyiratkan kisah yang begitu sadis.
Malam kutumpahkan air mata hingga tak bisa lagi kuseka.siang berisi keringat dengan hati tersayat.
Jiwa tak lagi berhasrat untuk bermufakat dengan jasad. Bak tabiat, takdir mengikat semua derita dengan lamat, hingga membuatku berfirasat bahwa aku berdiri di ujung hayat.
Hari demi hari kulalui dengan senyum yang diingkari, Bulan demi bulan kupijakkan tanpa harapan mengendus angan. Aku tertegun dengan derita beruntun hingga tiba di penghujung tahun.
Ohh Yang Maha Perkasa, Â tahun yang baru akan menjelang, ia mengerang mengganti cangkang. Sudikah Kau meraibkan derita yang kian mengekang?
.
.
Cbt.pnggrmm2100,251222, akuinginhidup,akuinginmelihatmasadepan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H