Negara-negara Afrika dan Asia umumnya mencegat lebih banyak lagi dari kasus memperdagangkan untuk mempekerjakan secara paksa, tetapi pemanfaatan atau eksploitasi seksual mungkin sedikit lebih umum di Eropa dan Amerika Serikat. Sejak itu, telah ditemukan di 16 negara di seluruh dunia yang terlibat dalam transaksi pengambilan organ.
Laporan ini berkontribusi pada kekhawatiran tentang hukuman yang rendah.16% dari negara pelapor tidak mencatat hukuman tunggal untuk kasus memperdagangkan manusia antara tahun 2007 dan 2010. Hingga Februari 2018, 173 negara telah meratifikasi Protokol PBB tentang Perdagangan Manusia. Wali Amanat Protokol ini adalah UNODC. Hukum telah berjalan jauh. Pada tahun 2012, 83% negara memberlakukan undang-undang yang mengkriminalisasi perilaku yang memperdagangkan manusia sesuai dengan protokol (Anna 2014: 30).
Kemudian sekarang ini di zaman atau di masa pandemi COVID-19 yang telah berlangsung hampir 2 tahun tidak hanya menyebabkan eksploitasi pada sistem kesehatan, tetapi juga dalam banyak bidang terutama bidang sosial, politik, dan ekonomi. Sementara itu dunia sedang berusaha untuk menghentikan penyebaran virus corona, ratusan atau bahkan ribuan orang, baik orang dewasa atau anak dibawah umur, yang sedang berjuang untuk keluar dari kesulitan pandemik ini yang mempengaruhi ekonomi dan jatuh menjadi sasaran dalam perangkap perilaku seseorang yang memperdagangkan manusia. Lembaga yang memberdayakan perempuan dan perlindungan terhadap anak (KPPPA) memberikan penjelasan bahwa, dibandingkan periode sebelumnya, terjadi peningkatan signifikan jumlah eksploitasi anak dan perdagangan manusia yang terlibat dalam pandemi.
Bahkan, dibandingkan dengan kasus kekerasan lainnya, jumlah ini juga dikatakan meningkat. Berdasarkan data yang diolah melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak pada 4 Oktober 2021 dan sejak 2019 hingga September 2021, terdapat 106 kasus eksploitasi anak pada 2019. Jumlah ini meningkat menjadi 133 pada 2020 dan 165 pada 2021. Untuk kasus perdagangan manusia, data yang sama masih disebut, yaitu sebanyak 111 kasus yang dilaporkan pada tahun 2019. Ini akan meningkat menjadi 213 kasus pada tahun 2020 dan 256 kasus pada tahun 2021.
Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur anti perdagangan manusia No. 21 yang disahkan dan setujui pada tahun 2007. UU tersebut merupakan pegangan pemerintah dalam melawan perilaku kejahatan yang memperdagangkan manusia dengan cukup komprehensif dan dapat diancam menggunakan hukuman penjara hingga 15 tahun. Dibandingkan dengan tahun 2006, jumlah pelaku perdagangan yang ditangkap pada tahun 2007 meningkat dari 142 menjadi 252, meningkat 77%. Pada saat yang sama, jumlah kasus yang dituntut meningkat sebesar 94%, dari 56 menjadi 109. Dari 46 kasus sayangnya, hanya 36 kasus yang divonis pada 2007.
Kemudian daripada itu, Indonesia juga telah meratifikasi “Protokol Pencegahan, Penanggulangan, dan Hukuman Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak” yang memenuhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Menentang Kejahatan yang Terorganisir Lintas Negara pada Maret 2009, yaitu sembilan tahun setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa mencapai kesepakatan pada sidang umum yang dilakukan oleh PBB. Walaupun ada yang berubah, Indonesia diyakini masih belum melakukan transisi bertahap dalam mencegah dan menindak perilaku memperdagangkan manusia.
Kemudian mengenai laporan mengenai perilaku perdagangan orang pada tahun 2020 di bawah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Indonesia masih memasui stagnasi urutan ke-2, yang berarti Indonesia masih belum mencapai standar minimal untuk menghilangkan perdagangan manusia, tetapi telah menunjukkan upaya yang signifikan.
Menurut laporan tersebut, alasannya terletak pada berlanjutnya penurunan prosedur hukum dan penuntutan terhadap pelaku perdagangan manusia. Kasus perdagangan manusia juga akan hilang bila ditangani sesuai dengan norma yang berlaku. TIP mencatat, sedikitnya ada 205 orang terpidana selama tahun 2019 berlangsung, hal itu disebabkan karena ada nya penurunan dari 280 orang yaitu pada tahun 2018. Informasi tersebut memandang bahwasannya undang-undang anti perdagangan manusia sanat tidak sesuai dengan hukum internasional yang telah ada. Diantaranya, dalam kasus perdagangan anak, harus ada unsur penipuan dan pemaksaan agar bisa diadili sesuai dengan hukum. (Adi Renaldi 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H