Mohon tunggu...
M Zein Rahmatullah
M Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di Kompas Group

Kadang menulis, kadang jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Angkringan, Sepak Bola, dan Pesan Bung Karno

1 Mei 2024   02:45 Diperbarui: 2 Mei 2024   16:28 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau dipikir-pikir, pernyataan itu ada benarnya. Pasalnya pada pertandingan sepakbola dalam negeri seperti Liga 1 belum tentu mampu memproduksi atmosfer seperti saat Timnas Indonesia mengarungi laga u-23. Alih-alih menyatukan, sering terjadi gesekan antar suporter yang mirisnya menelan korban jiwa. 

Tragedi Kanjuruhan, misalnya. Tak sedikit nyawa melayang sia-sia karena karakter egoistik sejumlah oknum suporter. Sebuah peristiwa yang dikenang sebagai duka bagi perjalanan sepak bola di Indonesia. 

Maka itu, betul saja. Menurut bakul angkringan, fenomena sosial dimana para garuda membawa nama Indonesia di kancah internasional patut dirayakan karena suasana kebersamaan dan kekompakan bisa terjalin begitu saja tanpa aba-aba. Meski bukan fanatik sepakbola, saya merasakan gejolak euforia yang paripurna.

Kemenangan Indonesia sebelumnya melawan Korea Selatan menjadi gambaran bahwa Indonesia masih memiliki persatuan. Perseteruan horizontal seolah reda begitu saja. Teman, kerabat, tetangga, menyuarakan kemenangan yang sama. Dari sepak bola ini, saya baru bisa merasakan makna "NKRI Harga Mati" yang sebenar-benarnya. 

Pertandingan berakhir mengecewakan. Timnas Indonesia pulang dengan tangan kosong usai dibenamkan Uzbekistan. Reaksi kita beragam, ada yang menerima saja, ada yang menyalahi pemain, dan yang paling santer terdengar mengutuk wasitnya. 

Saya yang tak paham sepak bola, tentu tak etis kalau sekonyong-konyong ikut mengambil sikap. Saya hanya paham, pertandingan ini membuat jalanan relatif lengang, sehingga tak perlu kesal-kesal berkutat dengan kemacetan. Kemudian kursi angkringan lebih lega lantaran sebagian orang memilih merapat ke tempat yang menyediakan nobar alias nonton bareng. Namun intinya, respons kita senada: sama-sama kecewa. 

Hal itu membuktikan lagi, persatuan dalam segi rasa masih ada. Ia terikat kekompakan yang barang tentu istimewa. Apalagi kebersamaan ini tidak berlandaskan pada masalah finansial. Murni dukungan dan hasrat membela tanah air. 

Ibarat euforia Ramadan yang terlepas dari keyakinannya dapat bisa ikut berburu takjil, saya berharap Indonesia tidak pernah absen dari pertandingan mancanegara. Terlepas dari efek keseganan negara lain yang terdongkrak, interaksi sosial di tengah masyarakat turut terimbas.

Kembali ke bakul angkringan dan ucapannya, saya terkenang lagi pernyataan Presiden Indonesia pertama, Bung Karno, perihal betapa mudahnya perjuangan jika melawan bangsa lain. Termasuk dalam hal sepak bola ini. 

Jika berkaca dari masa perebutan kemerdekaan, Indonesia akhirnya bisa mendaulatkan kemerdekaannya meski dengan perlengkapan sederhana, setelah melampaui jalan dan waktu yang panjang. Mungkin saja, Timnas Indonesia mengalami nasib yang sama. 

Namun menang-kalah Timnas Indonesia, saya meyakini, akan tetap mengantongi dukungan--sepanjang tidak ada skandal. Seperti halnya kemerdekaan Indonesia, Timnas kita hanya butuh kerja ekstra dan pengembangan, lalu dikunci dengan harapan dari para suporter yang telah membuat jalanan lebih lengang karena nobar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun