BUKAN hal asing mendengar nasihat agar para orangtua memperlakukan anak-anak mereka layaknya gelas yang kosong. Secara umum, nasihat ini bisa saja benar adanya. Bayi yang baru lahir datang ke dunia tanpa pengetahuan atau pengalaman apa pun. Kita tidak perlu mengajukan klarifikasi kepada para ahli untuk membuktikannya. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan budaya di sekitar mereka yang memberikan contoh.
Namun, mari kita perluas pandangan. Jika anak adalah "gelas kosong," maka orangtua adalah tangan yang memegang gelas tersebut. Tanggung jawab orangtua bukan hanya mengisi gelas dengan pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga membentuk karakter dan moral anak. Seperti seorang seniman yang mengukir patung dari batu, orangtua memiliki peran penting dalam membentuk anak-anak menjadi individu yang berbudi luhur, berempati, dan berdaya saing.
Ibu sering digadang-gadang sebagai sekolah pertama bagi anak-anak. Dalam pelukannya, anak-anak belajar tentang cinta, kehangatan, dan keamanan. Ibu mengajarkan nilai-nilai dasar seperti kesabaran, pengertian, dan kerja keras. Dia adalah penerang pertama dalam kehidupan anak-anak, membimbing mereka melalui setiap langkah pertumbuhan.
Sehingga para orangtua dituntut melulu selektif untuk memberi pendidikan. Sudah barang tentu agar si anak tidak salah jalan. Baik itu dari segi pergaulan, moral pun agama. Tidak salah memang. Namun dalam konteks ini, kita tidak mengikutsertakan orangtua gila, alias orangtua yang memang peduli setan dengan buah hatinya sendiri. Jadi, lebih baik lupakan orangtua macam itu. Suruh pergi ke ujung dunia saja, seperti kata Gita Gutawa.
Lanjut.
Perlu diakui, kita seperti tertampar realita. Kenyataan yang beredar sejauh ini merobek lebar kelopak mata. Ada kasus anak menggugat orangtuanya sendiri, mempermalukan hingga membunuh orangtuanya sendiri. Seperti berita viral belakangan; seorang anak tega memukul Ibunya hingga babak belur hanya karena perkara tak dibelikan motor. Bayangkan saja. Ini baru dalam lingkaran dua pihak, yakni orangtua dan anak. Belum sampai pada anak dan dunia luar. Baru membayangkan dari lingkaran terdalam saja sudah membuat mayoritas kita bergidik.
Beragam perspektif lahir. Sebagian menyalahi anaknya yang tidak tahu terimakasih, sebagian menyalahi orangtua salah didik, sebagian menyalahi lingkungan dan menyalahi lain-lainnya. Lalu, patutkah kita menghakimi siapa yang salah? Oh, bisa jadi patut. Karena ini perkara moral. Bukan tidak mungkin akan menjadi perkara pidana semisal si anak tadi membunuh orangtuanya sendiri.
Kendati demikian, aksi saling menyalahkan semacam itu akan menjadi sebuah dilema. Karena bagaimanapun, karakter seorang anak tak lebih merupakan sebuah produk. Produk dari contoh dan pengalaman diri bagaimana si anak tumbuh kembang. Dan dimana orangtua tak mungkin lepas dalam sepakterjangnya.
Kembali ke ilustrasi gelas kosong. Baik yang sudah menjadi orangtua atau belum, sudah pasti sebagian kita sepakat, si gelas kosong ini harus diisi dengan muatan edukasi yang berkualitas. Sudah pasti demi kebanggaan. Tak cuma bagi sang rahim, tapi juga lingkungan sekitar.
Sampai hari ini kita bisa melihat, mendengar dan meraba. Demi si anak dapat terisi dengan sempurna, tak ayal para orangtua rela merogoh kocek dalam-dalam demi menempatkan anaknya di sekolah favorit. Sekolah terbaik yang dituding mampu membentuk anaknya menjadi anak yang cerdas dan pintar.