Jadi, kalau masih ada yang bilang komunis adalah ajaran untuk tak bertuhan, maka dia termasuk golongan orang-orang yang merugi lahir batin.
Hanya saja terlepas dari itu, saya sempat heran saat bisa dengan bebas membeli buku ini. Padahal ketika itu, pemberangusan buku sayap kiri sedang masif-masifnya di Kota Istimewa.Â
Terakhir, buku Seandainya Saya Wartawan Tempo. Buku ini sama tipisnya seperti buku Manifesto Partai K*munis tadi. Buku karya Goenawan Mohamad ini memberikan pandangan mendalam tentang jurnalisme dan penulisan berita di media yang diasuhnya.
Sebagaimana judul, buku ini mengajak pembaca untuk melihat bagaimana roda media seperti Tempo digerakkan. Dimulai dari pengamatan sederhana terhadap sebuah hal, lalu diperdalam melalui observasi, riset, dan wawancara.Â
Sesederhana dengan menaiki angkutan umum, menyimak anak-anak sekolah yang bergelantungan di gagang pintu. Kemudian si jurnalis menangkap itu lalu menceritakan lewat deskripsi yang genap.Â
Secara garis besar, buku ini mengulas hal-hal teknis yang fundamental bagi seorang jurnalis, seperti cara menulis feature berita dan human interest. Selain aspek teknis, buku ini juga menekankan pentingnya memiliki "modal moral" seperti kejujuran, kepekaan, dan ketelitian dalam jurnalisme.Â
Goenawan Mohamad, melalui buku ini, sembari memberi gambaran dapur redaksi Tempo, turut berbagi pengalaman dan pengetahuannya untuk membantu pembaca memahami dan menguasai seni jurnalisme.
------
Selain ketiga buku itu, tentu masih ada beberapa buku lain yang ikut mengiringi tumbuh kembang saya di perkuliahan dan organisasi. Misalnya, tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer.Â
Koleksi buku-buku yang tersisa ini masih bagus, belum ada yang lapuk. Tapi untuk saya yang kembali membaca koleksi lama, bukan hanya menyegarkan ingatan literatur, namun juga membawa saya mengenang bagaimana saya bertahan hidup disaat membaca buku-buku itu.