Mohon tunggu...
M Zein Rahmatullah
M Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di Kompas Group

Kadang menulis, kadang jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Soeharto ke Prabowo, Menimbang Potensi Kebangkitan Dwifungsi ABRI

21 Maret 2024   23:55 Diperbarui: 22 Maret 2024   12:05 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DALAM kancah politik Indonesia, Dwifungsi ABRI telah lama menjadi topik yang menimbulkan perdebatan sengit. Bagi iklim demokrasi, dia seperti memposisikan diri sebagai momok. Konsep yang menggabungkan peran militer dalam fungsi pertahanan dan fungsi sosial-politik, telah mengalami pasang surut seiring dengan dinamika politik nasional. Dalam konteks terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, membuka babak baru dalam diskursus tentang dwifungsi ABRI, memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai potensi kebangkitannya dan implikasi yang mungkin timbul.

Dwifungsi ABRI, yang berakar pada era Orde Baru, merupakan doktrin yang memberikan wewenang dan peran kepada angkatan bersenjata untuk terlibat langsung dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Doktrin ini telah mengalami transformasi dan reinterpretasi sejak reformasi 1998, namun masih menyisakan jejak-jejak pengaruh yang signifikan.

Terpilihnya Prabowo, seorang figur militer yang karismatik dan kontroversial, menjadi presiden, menandai titik penting dalam sejarah politik Indonesia. Hal ini memunculkan spekulasi tentang kemungkinan kembalinya pengaruh militer dalam pemerintahan dan dampaknya terhadap demokrasi dan kebebasan sipil.

Sebagai pengingat saja, akar sejarah Dwifungsi ABRI tertanam dalam pergolakan politik pasca kemerdekaan. Lahirnya TAP MPRS No. XXIII/PPU/1966 tentang Penataan Kembali Kehidupan Politik di Angkatan Bersenjata, menandai titik awal pengesahan peran ganda ABRI. Keputusan ini lahir dari situasi genting pasca G30S dan kekacauan politik, di mana ABRI dianggap sebagai kekuatan stabilisator negara.

Konsep Dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Abdul Haris Nasution pada pidato di Akademi Militer Nasional tanggal 13 November 1958, diperkenalkan dengan istilah "Jalan Tengah". Konsep ini kemudian diresmikan sebagai kebijakan politik era Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982. Dwifungsi ABRI mengacu pada peran ganda militer sebagai kekuatan pertahanan dan sosial-politik, yang mencerminkan tanggung jawab ABRI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara serta keterlibatannya dalam aspek sosial dan politik untuk menciptakan stabilitas nasional.

Selama era Orde Baru, ABRI memegang peranan penting dalam mempertahankan kepemimpinan Soeharto. ABRI terlibat dalam politik dan mengelola dinamika pemerintahan, yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. Konsep ini memungkinkan ABRI mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif, dengan banyak perwira ABRI yang menjabat sebagai anggota DPR, MPR, dan pejabat pemerintahan. Namun, penerapan Dwifungsi ABRI juga memberikan dampak negatif, seperti berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan dan tidak transparannya sistem pemerintahan. 

Pasca reformasi, peran ABRI mengalami pergeseran signifikan. ABRI bertransformasi menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan fokus pada tugas pertahanan negara. Pembangunan nasional menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Penghapusan Dwifungsi ABRI merupakan salah satu tuntutan Reformasi 1998, yang bertujuan untuk menghapuskan fungsi sosial politik militer dan mendorong profesionalisme militer. Menurut kajian dari BalairungPress, peran ganda itu, meskipun diklaim demi stabilitas, menuai kritik pedas. Dwifungsi ABRI dianggap mengekang demokrasi dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru

Potensi Bangkitnya Dwifungsi ABRI

Dalam konteks kepemimpinan Presiden Prabowo, potensi kebangkitan dwifungsi ABRI menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Dwifungsi ABRI, yang pada masa Orde Baru memberikan peran ganda kepada militer dalam pertahanan dan politik sosial, mungkin mengalami reinkarnasi dalam bentuk baru. Kebijakan-kebijakan terkini yang memungkinkan TNI/Polri mengisi jabatan sipil menimbulkan spekulasi tentang kembalinya pengaruh militer dalam pemerintahan (Tempo, 21 Maret 2024). Namun, perlu ditekankan bahwa transformasi ini harus dijalankan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan pemisahan kekuasaan untuk menghindari dominasi militer yang dapat mengganggu keseimbangan institusional negara. 

Keamanan nasional Indonesia, yang mencakup rasa aman, damai, tenteram, dan tertib, merupakan fondasi bagi stabilitas nasional. Reformasi sektor keamanan yang berlangsung sejak era reformasi telah mengindikasikan adanya pergeseran dari konsep tradisional keamanan menuju pemahaman yang lebih inklusif dan demokratis. Dalam konteks ini, peran TNI sebagai penjaga stabilitas nasional harus dijalankan dengan mengedepankan kepentingan nasional dan menghindari intervensi dalam politik domestik yang dapat mengancam demokrasi (Antara, 9 Januari 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun