DALAM kancah politik Indonesia, Dwifungsi ABRI telah lama menjadi topik yang menimbulkan perdebatan sengit. Bagi iklim demokrasi, dia seperti memposisikan diri sebagai momok. Konsep yang menggabungkan peran militer dalam fungsi pertahanan dan fungsi sosial-politik, telah mengalami pasang surut seiring dengan dinamika politik nasional. Dalam konteks terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia, membuka babak baru dalam diskursus tentang dwifungsi ABRI, memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai potensi kebangkitannya dan implikasi yang mungkin timbul.
Dwifungsi ABRI, yang berakar pada era Orde Baru, merupakan doktrin yang memberikan wewenang dan peran kepada angkatan bersenjata untuk terlibat langsung dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Doktrin ini telah mengalami transformasi dan reinterpretasi sejak reformasi 1998, namun masih menyisakan jejak-jejak pengaruh yang signifikan.
Terpilihnya Prabowo, seorang figur militer yang karismatik dan kontroversial, menjadi presiden, menandai titik penting dalam sejarah politik Indonesia. Hal ini memunculkan spekulasi tentang kemungkinan kembalinya pengaruh militer dalam pemerintahan dan dampaknya terhadap demokrasi dan kebebasan sipil.
Sebagai pengingat saja, akar sejarah Dwifungsi ABRI tertanam dalam pergolakan politik pasca kemerdekaan. Lahirnya TAP MPRS No. XXIII/PPU/1966 tentang Penataan Kembali Kehidupan Politik di Angkatan Bersenjata, menandai titik awal pengesahan peran ganda ABRI. Keputusan ini lahir dari situasi genting pasca G30S dan kekacauan politik, di mana ABRI dianggap sebagai kekuatan stabilisator negara.
Konsep Dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Abdul Haris Nasution pada pidato di Akademi Militer Nasional tanggal 13 November 1958, diperkenalkan dengan istilah "Jalan Tengah". Konsep ini kemudian diresmikan sebagai kebijakan politik era Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982. Dwifungsi ABRI mengacu pada peran ganda militer sebagai kekuatan pertahanan dan sosial-politik, yang mencerminkan tanggung jawab ABRI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara serta keterlibatannya dalam aspek sosial dan politik untuk menciptakan stabilitas nasional.
Selama era Orde Baru, ABRI memegang peranan penting dalam mempertahankan kepemimpinan Soeharto. ABRI terlibat dalam politik dan mengelola dinamika pemerintahan, yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. Konsep ini memungkinkan ABRI mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif, dengan banyak perwira ABRI yang menjabat sebagai anggota DPR, MPR, dan pejabat pemerintahan. Namun, penerapan Dwifungsi ABRI juga memberikan dampak negatif, seperti berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan dan tidak transparannya sistem pemerintahan.Â
Pasca reformasi, peran ABRI mengalami pergeseran signifikan. ABRI bertransformasi menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan fokus pada tugas pertahanan negara. Pembangunan nasional menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Penghapusan Dwifungsi ABRI merupakan salah satu tuntutan Reformasi 1998, yang bertujuan untuk menghapuskan fungsi sosial politik militer dan mendorong profesionalisme militer. Menurut kajian dari BalairungPress, peran ganda itu, meskipun diklaim demi stabilitas, menuai kritik pedas. Dwifungsi ABRI dianggap mengekang demokrasi dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru
Potensi Bangkitnya Dwifungsi ABRI
Dalam konteks kepemimpinan Presiden Prabowo, potensi kebangkitan dwifungsi ABRI menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Dwifungsi ABRI, yang pada masa Orde Baru memberikan peran ganda kepada militer dalam pertahanan dan politik sosial, mungkin mengalami reinkarnasi dalam bentuk baru. Kebijakan-kebijakan terkini yang memungkinkan TNI/Polri mengisi jabatan sipil menimbulkan spekulasi tentang kembalinya pengaruh militer dalam pemerintahan (Tempo, 21 Maret 2024). Namun, perlu ditekankan bahwa transformasi ini harus dijalankan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan pemisahan kekuasaan untuk menghindari dominasi militer yang dapat mengganggu keseimbangan institusional negara.Â
Keamanan nasional Indonesia, yang mencakup rasa aman, damai, tenteram, dan tertib, merupakan fondasi bagi stabilitas nasional. Reformasi sektor keamanan yang berlangsung sejak era reformasi telah mengindikasikan adanya pergeseran dari konsep tradisional keamanan menuju pemahaman yang lebih inklusif dan demokratis. Dalam konteks ini, peran TNI sebagai penjaga stabilitas nasional harus dijalankan dengan mengedepankan kepentingan nasional dan menghindari intervensi dalam politik domestik yang dapat mengancam demokrasi (Antara, 9 Januari 2021).
ABRI, yang kini dikenal sebagai TNI, memiliki sejarah panjang dalam berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia. Meskipun dwifungsi ABRI telah dihapus, tak bisa dipungkiri,peran TNI dalam pembangunan masih relevan, terutama dalam konteks pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. TNI dapat berperan sebagai agen pembangunan yang mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.Â
Ancaman yang Dihadapi
Salah satu ketakutan dari eksisnya Dwifungsi ABRI ialah penyalahgunaan kekuasaan militer. Hal itu dapat terjadi ketika institusi militer melebihi wewenang konstitusionalnya, mengintervensi dalam urusan sipil dan politik negara. Sejarah Indonesia mencatat beberapa contoh penyalahgunaan ini, seperti pada masa Orde Baru ketika ABRI memegang peranan penting dalam struktur politik dan pemerintahan, sering kali mengarah pada tindakan represif (Republika). Dengan begitu, menghidupkan Dwifungsi ABRI membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan militer.Â
Selama masa berlakunya Dwifungsi ABRI di era Orde Baru, terdapat beberapa contoh penyalahgunaan kekuasaan militer yang tercatat dalam sejarah Indonesia, seperti kasus Trisakti (1998) berupa penembakan demonstran oleh aparat keamanan di Universitas Trisakti dan Universitas Atmajaya. Sebelumnya, kasus Semanggi (1993) lewat penculikan dan pembunuhan aktivis HAM. Berkaca dari dua tragedi tersebut, peran ganda militer memiliki peluang dampak terhadap pelanggaran HAM dan hilangnya nyawa, ketakutan dan represi terhadap masyarakat sipil, hingga lemahnya penegakan hukum.Â
Belum lagi masalah dominasi politik. Menyadur laporan Kompas, semasa kejayaan Orde Baru, ABRI dianggap sebagai salah satu mesin pelanggeng kekuasaan Presiden Soeharto lewat keterlibatan militer dalam upaya memenangkan Golkar dalam pemilihan umum. Tak ada jaminan, skema serupa kembali diaplikasikan pada masa pemerintahan Prabowo. Dominasi militer dalam urusan politik dan sosial ini memiliki dampak negatif lantaran mengorbankan prioritas pertahanan dan keamanan demi kepentingan politik (Tirto, 15 Maret 2024).
Dalam jangka panjang, penerapan Dwifungsi ABRI akut akan mengaburkan batasan antara militer dan sipil menyangkut tata kelola pemerintahan, yang pada gilirannya dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan antara institusi-institusi di negara.Â
Instabilisasi yang muncul bukan tak mungkin melahirkan ketegangan. Ketegangan politik dan potensi konflik sering kali diakibatkan oleh polarisasi politik yang tajam, dugaan kecurangan pemilu, dan gesekan antara aparat dan warga sipil atau antara sesama aparat itu sendiri. Misalnya, ketegangan antara TNI dan Polri dalam hal perebutan peran dan pengaruh di berbagai sektor. Berlanjut konflik dengan kelompok separatis yang berujung penggunaan kekuatan militer yang berlebihan. Disamping itu, konflik-konflik berkepanjangan di Timur Tengah juga berpotensi menciptakan ketegangan politik yang meluas, memberikan dampak signifikan terhadap geopolitik di Indonesia.
Menjinakkan Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI yang pernah menjadi doktrin penting dalam politik dan sosial Indonesia, memiliki potensi untuk kembali muncul dalam bentuk yang berbeda. Namun apapun formulanya, dia akan tetap eksis sebagai koin dengan dua sisi. Di satu sisi, ia menawarkan potensi stabilitas dan akselerasi pembangunan. Di sisi lain, ia menyimpan risiko penyalahgunaan kekuasaan, otoritarianisme, dan pelanggaran HAM. Potensi ini niscaya muncul seiring dengan peraturan baru yang memungkinkan personel TNI/Polri mengisi posisi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dapat diinterpretasikan sebagai langkah menuju Dwifungsi ABRI. Ancaman yang mungkin timbul dari kebangkitan Dwifungsi ABRI termasuk dominasi militer terhadap sipil, yang dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan dan prinsip demokrasi.Â
Untuk meminimalkan risiko yang mungkin timbul dari Dwifungsi ABRI, pemisahan kontras antara fungsi militer dan sipil tetap harus dipelihara. Ini menekankan kembali pemisahan antara peran militer dan sipil dalam struktur pemerintahan dan administrasi negara.Â
Masyarakat sipil juga patut meningkatkan pengawasan terhadap keterlibatan militer dalam pemerintahan dan memastikan transparansi dalam setiap penunjukan posisi ASN hingga personel TNI/Polri.
Lalu diperkuat lewat penebalan supremasi sipil. Demikian baru bisa terwujud hanya dengan cara memutus keterlibatan militer dalam kehidupan sipil, sehingga militer bisa sepenuhnya lepas dari kehidupan politik dan demokrasi.Â
Potensi Dwifungsi ABRI di era Prabowo sarat dengan peluang dan tantangan. Pertimbangan untuk memutuskan harus diiringi dengan pertimbangan matang, partisipasi publik, dan kontrol yang ketat. Masa depan bangsa bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan kekuatan militer dengan demokrasi dan supremasi hukum.
Namun berkaca dalam konteks Indonesia saat ini, penting untuk mempertimbangkan kembali peran dan wewenang TNI sesuai dengan UUD 1945. Dwifungsi ABRI telah dihapus dan tidak boleh kembali lagi, bagaimanapun bentuknya. Pasalnya reformasi ABRI bukanlah perubahan, melainkan pemurnian kembali peran dan wewenang TNI. Pandangan ke depan harus berfokus pada pembangunan nasional yang inklusif dan demokratis, di mana militer memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas keamanan tanpa mencampuri urusan sipil dan politik negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H