Mohon tunggu...
Muhammed Gazi
Muhammed Gazi Mohon Tunggu... Jurnalis - Manusia Biasa

Diciptakan dengan kebaikan dan kembali dengan kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme, Sebuah Konspirasi Busuk Internasional

11 Juli 2020   21:06 Diperbarui: 11 Juli 2020   21:05 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
magazine.utoronto.ca

Memasuki abad ke 21, nasionalisme bukan lagi sebuah barang baru. Kini telah menjadi idelogi resmi di sebagian besar negara dunia termasuk Indonesia. 

Pemimpin besar kita Bung Karno sengaja memilih ajaran nasionalisme sebagai landasan berpancasila setiap warga negara Indonesia. Dengan nasionalisme, kita dapat lebih mencintai dan berbangga atas tanah air kita sendiri. 

Simpelnya, Presiden Soekarno melancarkan aksinya menyebarkan ideologi pancasila dengan dibantu nasionalisme agar bisa menyebar kepada seluruh rakyat Indonesia. Tapi apa sebenarnya dan darimana asalnya nasionalisme yang sekarang kita kenal?

Nasionalisme dimulai sekitar abad ke 18, dimana saat itu kerajaan adalah sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan negara dunia. Sejatinya konsep satu identitas telah ada sejak masa Yunani kuno yang menjadi cikal bakal nasionalisme. 

Nasionalisme sendiri adalah sikap yang dimiliki oleh anggota suatu bangsa ketika merasa peduli tentang identitas mereka selaku anggota bangsa itu dan tindakan yang dilakukan oleh anggota suatu negara dalam upaya mencapai suatu kedaulatan politik.   

Nasionalisme pun adalah buntut dari perjanjian Westfalen di tahun 1648 yang menginginkan adanya negara berdaulat yang menyesuaikan keinginan rakyat. 

Dilanjutkan dengan revolusi Perancis di tahun 1789-1799 yang menginginkan kebebasan dari monarki absolut dan atas penguasaan siapapun yang kemudian melahirkan demokrasi modern. 

Di tahun-tahun ini pula banyak negara yang melakukan revolusi meninggalkan sistem kerajaan yang cenderung feodalis dan memihak menuju negara republik yang lebih demokratis. 

Dengan asas nasionalisme mereka memberontak pada kerajaan dan membentuk suatu pemerintahan sendiri seperti yang terjadi pada kekaisaran Tsar Rusia, Wilhem Jerman, Turki Utsmani dan lainnya. 

Dan sebagian kecil nasionalisme berubah menjadi fasisme. Sebuah ideologi yang terlalu fanatik dengan bangsanya sendiri sehingga merendahkan bahkan memerangi bangsa yang tak sama dengannya seperti yang terjadi di Jerman.                               

Dibalik semua revolusi itu, bukanlah murni keinginan rakyat sendiri melainkan sebuah adu domba. Hal ini dibuktikan dengan tentramnya rakyat dibawah naungan kerajaan selama berabad-abad dan baru menginginkan revolusi di abad 18-20. 

Suatu yang tak masuk akal. Jika rakyat tak puas dan sistem kerajaan adalah sistem yang rusak, mengapa baru di abad itu rakyat meminta adanya revolusi. Ini sejatinya hanyalah bagian dari rencana elit dunia yang menginginkan dunia tunduk pada suatu kekuasaan dengan ajaran demokrasi modern mereka yang cenderung liberal.                                           

Sebelum perang dunia, rakyat berada dibawah kekuasaan monarki absolut (kerajaan). Maka satu-satunya cara untuk mengambil kekuasaan adalah dengan menghasut rakyat agar lepas dari kerajaan tersebut. 

Semata-mata bukan iming-iming demokrasi murni yang mereka akan dapatkan. Melainkan sebuah penguasaan elit global yang dibalut rapih dengan demokrasi modern. 

Jika rakyat tak berhasil dihasut, mereka akan mengadu domba antara dua tiga lebih kerajaan sehingga secara berangsur kerajaan akan kehilangan wilayah dan rakyatnya. 

Itulah yang terjadi pada dua perang dunia. Dimana terdapat dua kubu tetapi berada dalam satu penghasut yang sama. Mereka membuat seakan diri mereka baik dengan memberikan hutang. Tetapi sebenarnya hutang adalah jebakan sehingga mereka dapat menguasai ekonomi suatu negara. Dengan berutang secara tidak langsung kita memberikan kekuasaan terhadap kelompok yang memberikan hutang.

Hal yang sama terjadi pada khilafah Utsmani yang awalnya seluruh negara muslim berada dibawah naungan satu khilafah. Tetapi karena banyak penyusup, intel, penghasutan, adu domba dan lain lain kekhilafahan yang satu ini terpecah menjadi banyak negara. 

Mereka mengatasnamakan nasionalisme dan kebebasan demokrasi sebagai alasan terkuat untuk memisahkan diri menjadi satu negara yang berdiri sendiri. Akhirnya khilafah dengan cerita masa lalu yang gemilang itu kehilangan kekuatannya dan hilang dengan sendirinya.

Kini kegemilangan negara-negara besar dahulu tinggal sebuah kenangan. Kita harus menerima kenyataan bahwa kita sekarang berada di bawah satu kekuasaan elit dunia. 

Cara mereka sangat licik dan kotor dalam mengambil keuntungan di seluruh dunia. Sesuatu yang kita kira baik sebenarnya menyimpan segenap rahasia yang amatlah buruk. 

Satu-satunya cara yang dapat kita lakukan adalah memberikan pemahaman pada masyarakat atas apa yang sebenarnya terjadi sehingga mereka paham jika kita sedang dibohongi. 

Dengan pemahaman, kita dapat mengambil kekuatan besar dari masyarakat yang akan mengambil kekuasaan dari elit dunia. Karena satu-satunya kekuatan yang dapat mengalahkan kekuatan tersebut adalah kekuatan milik rakyat itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun