Berdasarkan etimologi bahasa, empati merupakan salah satu kata serapan dari Bahasa Yunani "emptheia" yang  berarti "ketertarikan fisik". Kata ini didefinisikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain.  Atau dapat diartikan bahwa empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Menurut Allport (1965), empati didefinisikan sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaa, dan perilaku orang lain. Allport juga menitikberatkan pada peranan imitasi di dalam empati.
Sedangkan kalau kita lihat dalam pemahaman sederhana maka empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, membayangkan diri sendiri berada pada posisi orang tersebut atau juga suatu kemauan dan kemampuan untuk mencoba melihat dari sudut pandang orang tersebut.
Manusia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda empati sejak bayi dan akan semakin berkembang selama masa anak-anak dan remaja. Namun, tingkat empati seseorang bisa saja berbeda dengan orang lainnya. Ada orang yang mudah untuk berempati, ada pula yang sulit untuk melakukan hal tersebut.
Terkait empati ini, penulis tertarik dengan kejadian yang kemarin dan hari ini, Jumat (7/5/2021) masih viral di media di mana ada seorang pemudik wanita yang ngotot ingin mudik, akan tetapi ketika ketika disuruh balik kanan, si pemudik wanita ini justru menangis.
Video ini pertama kali diunggah oleh chanel cnnindonesia di youtube. Meski baru diunggah dua hari lalu, video berdurasi 38 detik dengan judul "Pemudik Menangis Saat Diminta Putar Balik" sudah disaksikan lebih dari 4,2 juta pemirsa.
Deskripsi video dengan kalimat " Diminta putar arah karena tidak memiliki surat bebas covid-19, seorang wanita yang akan mudik ke Lampung menggunakan sepeda motor menangis di pos penyekatan kawasan Jayanti, Kabupaten Tangerang, Banten, selasa siang" juga menjadi daya tarik sehingga mendongkrak video ini menjadi viral.
Dari informasi yang beredar, pemudik wanita pengendara sepeda motor tersebut hendak mudik dari Jakarta ke Lampung. Akan tetapi setibanya di pos penyekataan kawasan Jayanti, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (4/5/2021) dia diberhentikan polisi.
Saat pemeriksaan surat-surat kendaraan dan kelengkapan lainnya sebagai syarat mudik, ternyata si wanita tidak mengantongi salah satu syarat bagi pelaku perjalanan yaitu surat keterangan bebas COVID-19. Sesuai aturan, si wanita tersebut disuruh putar balik oleh petugas. Namun dia tidak langsung mematuhi perintah bapak polisi, bahkan kemudian menangis agar diperbolehkan mudik. Dari video , terlihat jelas matanya mengembang dan meneteskan air mata dari balik wajah yang tertutup masker dan kepalanya tertutup helm, menandakan betapa kepedihan dan kesedihan terpancar dari matanya.
Apalagi didorong dari pernyataannya yang mengaku dirinya sudah tak memiliki pekerjaan karena terimbas PHK. Sehingga tidak lagi memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya di Jakarta, terpaksa harus balik ke kampong halaman di Lampung. Lengkaplah sudah komponen sebuah empati!. Disengaja atau tidak, empati berhasil dipertunjukkan dengan apik oleh sang wanita sehingga akhirnya aparat atau Polisi kemudian mengizinkan sang wanit pemudik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya.
Bila menonton video tersebut, maka dapat dipastikan siapapun, terutama yang memiliki empati tinggi pasti seperti ikut hanyut dan merasakan derita, kesedihan, kedukaan dan kebingungan yang dipertontonkan si wanita pemudik. Inilah empati murni welas asih, bukan sekedar empati kognitif atau emosional. Dan empati inilah yang juga dirasakan oleh aparat atau Polisi sehingga hampir semua komentar dalam tayangan video tersebut mengacungi jempol atas empati sang aparat Polisi.
Sebagai manusia biasa, aparat / polisi juga manusia yang memiliki empati dengan tingkat yang sama dengan manusia pada umumnya, beragam, tergantung dari tingkatannya. Meskipun demikian, empati aparat saat bertugas akan dibatasi dan direm oleh apa yang namanya tuntutan tugas.
Apabila tuntutan tugas mengamanatkan seluruh aparat untuk menghilangkan sementara rasa "empati" demi sesuatu yang lebih besar dan lebih penting dan yang dapat menentukan terjadinya suatu perubahan maka biasanya aparat memang akan lebih tegas, tidak ada empati, " Dilarang lewat, ya dilarang lewat. Dilarang masuk, maka siapa pun tidak boleh masuk!" mau merengek, menangis pun, biasanya tidak akan mempengaruhi ketegasan aparat.
Biasanya seperti dalam kasus tersebut yaitu kasus biasa yang tidak mengandung kegawatdaruratan maka ketegasan yang ditunjukkan aparat atau Polisi tidaklah mutlak. Polisi atau aparat yang bertugas di lapangan diberi kewenangan terbatas untuk menentukan dan "membelokkan" aturan. Yang penting "pembelokan" atau "keluwesan" aturan dapat dipertanggungjawabkan kepada pimpinan di masing-masing unsur. Dan biasanya pula, penyebab pembelokan dan peluwesan aturan yang utama adalah "Empati".
Terkait empati ini, ada pula sedikit pengalaman penulis ketika menjadi bagian dalam tugas pengamanan pertandingan sepakbola Liga Super Indonesia, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta sekitar bulan Maret 2010 lalu yang mempertemukan tuan rumah Persija dan Persipura.
Saat itu penulis dan aparat pengaman lain menjaga pintu masuk sector 1-4 yang merupakan pintu masuk supporter tuan rumah yaitu Persija. Dari awal tugas, penulis dan rekan-rekan melaksanakan tugas sesuai dengan pakem, sesuai aturan yang ada. Yang boleh masuk adalah mereka yang memegang karcis atau tiket tanda masuk, lainnya tanpa tiket itu disilahkan kembali atau menonton pertandingan dari rumah masing-masing saja. Itulah perintah dan tuntutan tugas yang diarahkan Pimpinan kami sebelum menempati pos penugasan. Dan ini berhasil dilaksanakan dengan baik.
Namun keberhasilan melaksanakan tugas tanpa direcoki empati dan lain-lain itu hanya bertahan sesaat setelah pertandingan baru saja kick of babak pertama. Suara penonton membahana terdengar keras dari pintu masuk yang kami tanggapi dengan rasa sedikit lega, karena pertanda tugas mulai lebih santai, penonton hanya satu dua yang melewati pintu masuk.
Pada situasi seperti itulah, penulis melihat seorang bapak-bapak yang menggandeng seorang anak, sudah dua-tiga kali mondar-mandir di depan pintu masuk. Berjalan ke kiri, lenyap sebentar di gate sebelah, selanjutnya muncul lagi melewati pintu yang kami jaga.
Pada mondar-mandirnya yang ketiga (dalam catatan penulis), di saat kick off babak pertama yang diiringi teriakan membahana dari penonton, penulis lihat sang anak menangis, melelehkan air matanya, berkata-kata sambil tangannya menunjuk-nujuk stadion. Sang bapak terlihat menghibur dengan kata-kata (entah apa yang dikatakan), si anak tetap menangis.
Melihat ini, penulis keluar dari rombongan dan menghampir mereka. Sang Bapak mengaku bernama Chariri (45 tahun), ternyata adalah kakek dari si anak (mengaku bernama Farik, 10 tahun).
Mereka datang dari Cengkareng, ingin menonton pertandingan Persija dan Persipura. Tadinya mereka berempat, dengan dua ponakan mereka yang sudah remaja. Si bapak mengaku terlepas dengan rombongan saat antre beli tiket dan bingung karena uang tiket sudah diserahkan kepada dua keponakannya.
Karena si cucu tetap ingin nonton, si bapak meminta tolong kepada petugas di pintu masuk sebelah untuk bisa masuk tanpa karcis, tapi ditolak. Dalam kondisi seperti itu, si bapak bingung, sehingga mondar mandir di depan pintu. Kebingungannya bertambah ketika cucunya mulai menangis. Ngotot ingin masuk menonton pertandingan.
" Adek pengin nonton siapa kalau dibolehkan masuk ke stadion" Tanya penulis waktu itu. Si cucu tetap diam. Â Air matanya masih keluar dan tangisnya masih terdengar lirih.
" Farik ini idolanya Firman Utina. Dia nangis dari rumah pengin lihat Firman Utama main di stadion ini" kata si bapak menjelaskan.
Deg! Firman Utina! pas betul dengan idola saya (kata penulis dalam hati, ikut kaget).
" Betul, adik ngefans Firman Utina dan hari ini pengin lihat ia main?"
Si adik mengangguk, tapi sesenggukannya bertambah kencang. Tangannya memegang erat si bapak, takut kelepas.
"Baik, untuk kali ini kami kasih kesempatan bapak dan adik untuk menonton gratis. Lain kali usahakan jangan sampai terlepas dari rombongan sehingga tidak terjadi hal seperti ini!"
Hebat! Inilah salah satu contoh lain suatu tuntutan tugas yang dapat dibelokkan dan diluweskan oleh sebuah rasa yang dinamakan "empati". Saat itu yang ada dalam bayangan penulis adalah merasakan apa yang dirasakan oleh si anak, sedih, berduka, dan sangat kecewa. Penulis berani mempertanggungjawabkan keputusan itu. Dan memang setelah mereka kami antar masuk ke stadion, pimpinan Tim mendukung apa yang kami lakukan.
Bagi penulis pribad, empati tersebut membuahkan kepuasan yang sangat luar biasa. Betapa bahagia dan senangnya melihat sang anak berhenti menangis, tersenyum dan memeluk kakeknya serta tidak lupa cium tangan penulis sebagai tanda terima kasih yang luar biasa. Â Bagi mereka, walaupun kami anggap itu "kecil" tapi merupakan suatu anugerah dan berkah luar biasa dari Tuhan YME. Benar-benar luar biasa, sihir yang bernama empati ini.
Semoga gambaran di atas dapat menjadi pelajaran bagi kita semua untuk memahami makna empati dan praktek pembelokkannya oleh aparat yang sedang bertugas di lapangan.
(Lihat tulisan kecil lain di https://www.kompasiana.com/mohamadsyafrudin/608e148fd541df417233e3a2/3-kali-tertipu-latihan-denjaka-part-1 atau bisa mampir di https://www.jangkauan.com/category/bang-jangkau/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H