Sebagai manusia biasa, aparat / polisi juga manusia yang memiliki empati dengan tingkat yang sama dengan manusia pada umumnya, beragam, tergantung dari tingkatannya. Meskipun demikian, empati aparat saat bertugas akan dibatasi dan direm oleh apa yang namanya tuntutan tugas.
Apabila tuntutan tugas mengamanatkan seluruh aparat untuk menghilangkan sementara rasa "empati" demi sesuatu yang lebih besar dan lebih penting dan yang dapat menentukan terjadinya suatu perubahan maka biasanya aparat memang akan lebih tegas, tidak ada empati, " Dilarang lewat, ya dilarang lewat. Dilarang masuk, maka siapa pun tidak boleh masuk!" mau merengek, menangis pun, biasanya tidak akan mempengaruhi ketegasan aparat.
Biasanya seperti dalam kasus tersebut yaitu kasus biasa yang tidak mengandung kegawatdaruratan maka ketegasan yang ditunjukkan aparat atau Polisi tidaklah mutlak. Polisi atau aparat yang bertugas di lapangan diberi kewenangan terbatas untuk menentukan dan "membelokkan" aturan. Yang penting "pembelokan" atau "keluwesan" aturan dapat dipertanggungjawabkan kepada pimpinan di masing-masing unsur. Dan biasanya pula, penyebab pembelokan dan peluwesan aturan yang utama adalah "Empati".
Terkait empati ini, ada pula sedikit pengalaman penulis ketika menjadi bagian dalam tugas pengamanan pertandingan sepakbola Liga Super Indonesia, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta sekitar bulan Maret 2010 lalu yang mempertemukan tuan rumah Persija dan Persipura.
Saat itu penulis dan aparat pengaman lain menjaga pintu masuk sector 1-4 yang merupakan pintu masuk supporter tuan rumah yaitu Persija. Dari awal tugas, penulis dan rekan-rekan melaksanakan tugas sesuai dengan pakem, sesuai aturan yang ada. Yang boleh masuk adalah mereka yang memegang karcis atau tiket tanda masuk, lainnya tanpa tiket itu disilahkan kembali atau menonton pertandingan dari rumah masing-masing saja. Itulah perintah dan tuntutan tugas yang diarahkan Pimpinan kami sebelum menempati pos penugasan. Dan ini berhasil dilaksanakan dengan baik.
Namun keberhasilan melaksanakan tugas tanpa direcoki empati dan lain-lain itu hanya bertahan sesaat setelah pertandingan baru saja kick of babak pertama. Suara penonton membahana terdengar keras dari pintu masuk yang kami tanggapi dengan rasa sedikit lega, karena pertanda tugas mulai lebih santai, penonton hanya satu dua yang melewati pintu masuk.
Pada situasi seperti itulah, penulis melihat seorang bapak-bapak yang menggandeng seorang anak, sudah dua-tiga kali mondar-mandir di depan pintu masuk. Berjalan ke kiri, lenyap sebentar di gate sebelah, selanjutnya muncul lagi melewati pintu yang kami jaga.
Pada mondar-mandirnya yang ketiga (dalam catatan penulis), di saat kick off babak pertama yang diiringi teriakan membahana dari penonton, penulis lihat sang anak menangis, melelehkan air matanya, berkata-kata sambil tangannya menunjuk-nujuk stadion. Sang bapak terlihat menghibur dengan kata-kata (entah apa yang dikatakan), si anak tetap menangis.
Melihat ini, penulis keluar dari rombongan dan menghampir mereka. Sang Bapak mengaku bernama Chariri (45 tahun), ternyata adalah kakek dari si anak (mengaku bernama Farik, 10 tahun).
Mereka datang dari Cengkareng, ingin menonton pertandingan Persija dan Persipura. Tadinya mereka berempat, dengan dua ponakan mereka yang sudah remaja. Si bapak mengaku terlepas dengan rombongan saat antre beli tiket dan bingung karena uang tiket sudah diserahkan kepada dua keponakannya.
Karena si cucu tetap ingin nonton, si bapak meminta tolong kepada petugas di pintu masuk sebelah untuk bisa masuk tanpa karcis, tapi ditolak. Dalam kondisi seperti itu, si bapak bingung, sehingga mondar mandir di depan pintu. Kebingungannya bertambah ketika cucunya mulai menangis. Ngotot ingin masuk menonton pertandingan.