Mohon tunggu...
Mohamad Rian Ari Sandi
Mohamad Rian Ari Sandi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Pendidikan Pancasila di SMK Negeri Darangdan, Purwakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Simpan Sejenak Kamera

10 April 2018   17:00 Diperbarui: 10 April 2018   17:14 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2007 silam, atau 11 tahun yang lalu, saat saya bersama teman-teman satu sekolah di SMPN 2 Ngamprah Kab.Bandung Barat pergi melaksanakan study tour ke museum Lubang Buaya dan sekaligus wisata hiburan ke Dunia Fantasi Taman Impian Jaya Ancol, saya hanya membekali diri dengan kamera analog pinjaman bibi saya (walaupun saat itu sudah mulai musim penggunaan kamera digital) untuk mengabadikan momen-momen yang berharga.  

Isi roll film kamera tersebut hanya sebanyak 36. Ya, hanya 36 saja, sekali jepret langsung jadi, tak ada preview,  dan tak bisa dihapus, karena gambar yang sudah diambil secara otomatis langsung tersimpan permanen didalam  film  (atau sebagian dari kita menyebutnya klise). Sudah barang tentu saat itu saya harus memastikan bahwa ke-36 gambar yang akan saya ambil adalah momen atau gambar yang benar-benar berharga, sehingga layak dan berguna untuk saya kenang di kehidupan selanjutnya.

Selama perjalanan PP Bandung-Jakarta-Bandung sekitar 16 jam, dari tempat berkumpul sebelum keberangkatan, di dalam bis, di rest area, di Lubang Buaya, di Dufan, di Pantai Marina, sampai kembali pulang ke Bandung, hanya 36 adegan pose yang bisa saya dan atau teman-teman saya lakukan menggunakan kamera tersebut. Mungkin beda ceritanya jika saat itu saya sudah memiliki kamera digital, atau smartphone berkamera canggih dengan ruang penyimpanan yang besar, mungknkah hanya ada 36 pose pengambilan foto?

Saat kita pergi atau berkunjung ke suatu tempat menarik, entah itu karena keindahan pemandangan alamnya atau keunikan tempatnya, hampir setiap dari kita tidak akan melewatkan kegiatan mengambil foto diri menggunakan gawai yang kita punya. Tidak seperti dulu dengan kamera analog yang hanya bisa mengambil 36 foto, kini dengan perkembangan teknologi kamera, baik kamera digital, kamera dslr, atau pun fitur kamera di smartphone, kita bisa lebih leluasa melakukan pengambilan foto berkali-kali lebih banyak dari kapasitas kamera analog disertai kualitas yang lebih baik.

Teknik mengambil foto pun semakin variatif. Tidak hanya cara konvensional dimana dalam pengambilan foto harus selalu ada satu orang sebagai juru kamera, tetapi kini bisa juga dengan cara selfie(foto sendiri) atau wefie (foto dua orang atau lebih) dimana pengambilan foto bisa dibantu menggunakan alat bernama 'tongsis' (tongkat narsis).

Keleluasaan dalam menyimpan, mereview, dan menghapus foto membuat kita sering tak merasa cukup dengan satu kali pengambilan foto di satu momen. Jika ada foto yang dirasa kurang bagus, kita langsung meminta retake. 'Ih akunya ga kobe', 'yah..mata aku merem nih', atau 'gunungnya ga keambil utuh tuh' adalah beberapa dari sekian banyak komentar ketidakpuasan setelah pengambilan foto.  

Jika begitu, pengambilan foto akan terus diulang sampai mendapatkan hasil yang dianggap sempurna. Tidak jarang juga, karena sulitnya mendapatkan hasil foto yang baik, seseorang bisa sampai uring-uringan. Pada akhirnya, kunjungan ke sebuah tempat wisata, misalnya, yang seharusnya menjadi sarana menyegarkan jiwa dan pikiran malah dikontaminasi oleh perasaan-perasaan negatif, hanya karena masalah foto.

Saking banyaknya kegiatan mengambil foto, saya sering merasa bahwa waktu yang kita habiskan untuk melakukan kegiatan tersebut jauh lebih banyak dibanding waktu kita untuk menikmati setiap momen di tempat dimana kita berada.

Contohnya terjadi pada seorang rekan saya yang berasal dari Cikatomas, Tasikmalaya. Suatu waktu saya, bersama rekan saya tersebut, serta rekan-rekan yang lain melakukan wisata edukasi dengan berkunjung ke Museum Pendidikan Nasional UPI. Di dalam museum, kami banyak berfoto di sudut-sudut museum yang dianggap menarik. 

Di suatu ruangan, saat teman saya yang berasal dari Cikatomas tersebut tengah asyik berfoto ria, seorang rekan yang lain yang tak jauh dari tempat ia berdiri dan tengah mengamati koleksi museum mengatakan bahwa ada dokumen sejarah pendidikan yang berasal dari Cikatomas, kampung halamannya. 

Dia sendiri saat itu tak menyadari keberadaan dokumen tersebut karena fokus berpose. Kemudian saat dia diberitahu, dia surprised dan lantas bergegas mengamati dokumen yang bertuliskan kampung halamannya tersebut. Terlalu asyik berfoto ria hampir saja melalaikannya dari hal-hal berharga yang ada di sekitarnya.

Contoh lain yang mungkin pernah kita alami yaitu dalam acara seminar atau kuliah umum. Acara yang seharusnya menjadi sarana memperluas khazanah ilmu pengetahuan tidak luput juga menjadi tempat untuk berfoto ria. Tidak cukup sekedar difoto saja, foto hasil jepretan kamera kemudian diunggah ke media sosial disertai captionjudul, tema, dan pembicara seminar. 

Alhasil, sepanjang seminar, waktu kita menyimak pembicara banyak diganggu oleh aktivitas berfoto, mengunggah ke akun media sosial, melihat like, dan mungkin juga membalas komentar yang masuk. Kalau sudah begitu, berapa persen materi seminar yang bisa kita dapatkan?

Eksistensi Diri

Foto diri disertai membagikannya di media sosial saat ini sedang menjadi candu. Candu tersebut tak hanya melanda anak muda, tapi juga kalangan orang dewasa dan anak-anak. Pun tak terbatas pada golongan atas saja, golongan menengah ke bawah juga tak mau ketinggalan mencandui bernarsis ria di media sosial dengan beragam fotonya.

Dikutip dari detik.com, setidaknya ada tiga alasan mengapa seseorang hobi mengunggah fotonya ke media sosial. Pertama, menurut Rosdiana Setyaningrum, M.Psi, MHPEd, seseorang memiliki pandangan bahwa kesuksesan itu ialah dengan menunjukkan ia ada dimana-mana. Itu dibuktikan dengan check-in di media sosial dia sedang  di mana agar orang tahu posisinya saat itu. 

Kedua, masih menurut Diana, pencapaian seseorang adalah dengan terlihat cantik. Maka dari itu Ia melakukan selfie dan mengunggah fotonya ke media sosial agar orang melihat kecantikannya. Ketiga, menurut dr Azimatul Karimah SpKJ, alasan seseorang mengunggah foto di media sosial karena butuh pengakuan. Sehingga, Ia menampilkan eksistensinya dengan mengunggah foto di media sosial.

Demi mengejar eksistensi di media sosial, banyak orang bahkan  rela melakukan hal gila yang mengancam keselamatan jiwanya demi mendapatkan hasil foto yang bisa membuat orang kagum. Sudah banyak contoh peristiwa selfie yang berujung hilangnya nyawa seseorang. Kejadian di Pura Uluwatu, Gunung Merapi, dan Sungai di Banyumas adalah sedikit dari banyaknya kejadian selfie berujung maut.

Sah-sah saja kita gemar berfoto dengan tujuan mengabadikan sebuah momen atau peristiwa. Namun tentu tidak berlebihan. Kita harus menyadari sepenuhnya tujuan kita berkunjung ke sebuah tempat atau mendatangi sebuah acara. Jika kita sedang berwisata ke sebuah tempat wisata alam misalnya, maka tujuan kita di sana adalah untuk menikmati tempat wisata tersebut, menikmati segar udaranya, menikmati jernih airnya, menikmati hijau rimbun pohonnya, menikmati biru lautnya, dan atau menikmati kemerduan suara ombaknya.  Detik demi detik.

Sungguh sayang jika kita sudah berkunjung ke sebuah tempat wisata alam tapi kita tak sepenuhnya menikmatinya karena terlalu terobsesi dengan kegiatan foto diri. Apalagi jika kita sampai luput menafakuri keindahan alam tersebut dengan meningat dan mengagungkan kebesaran Allah Swt. sebagai Pencipta alam dan segala isi-Nya.

Sah-sah juga bila kita berbagi foto di media sosial dengan keluarga, sahabat, dan rekan-rekan kita lainnya. Namun sekali lagi, tidak perlu berlebihan. Tak perlu setiap waktu update. Sebisa mungkin, foto yang kita unggah selalu memperhatikan nilai dan etika di media sosial. Bahkan sebisa mungkin, foto yang kita unggah bisa memberi pesan positif kepada khalayak dunia maya.

Kita harus menempatkan kembali kamera pada fungsi asalnya. Dia ada hanya untuk mengabadikan sebuah momen atau peristiwa agar kelak bisa kita kenang dan petik hikmahnya. Dan keberadaan media sosial seperti instagram anggap saja hanya sebagai album foto digital yang mesti dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Silahkan ambil foto secukupnya, lalu simpan sejenak kamera. Biarkan pikiran dan jiwa kita larut dalam menikmati setiap momen yang sedang dilewati. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun